Cinta Istiqomah

Cinta Istiqomah

Part 1. Bangkit

Assalaamu 'alaikum Readers

Selamat datang di cerita cinta istiqomah

Vote dan komenmu jangan lupa ya

🌹🌹🌹

Hembusan angin yang menenangkan meleburkan ketenangan sepucuk bunga kamboja yang melambai-lambai hingga perlahan jatuh ke tanah. Bunga kamboja itu jatuh tepat pada sebuah gundukan tanah, tempat peristirahatan seorang insan yang namanya telah tersematkan di sebuah batu nisan.

Seorang perempuan muda berumur dua puluh enam tahun dengan balutan pakaian muslimahnya sedang tersenyum tegar menatap ukiran nama "Fahril Ramadhan bin Jazir Muzaffar" di batu nisan yang nampak jelas di pandangan matanya. Air matanya meluruh lirih. Tidak dapat dibendung lagi. Ia duduk di samping pusara itu tidak seorang diri melainkan di sampingnya terdapat gadis kecil berumur tujuh tahun dengan balutan pakaian muslimahnya sedang tersenyum ke arahnya. Menguatkan dirinya yang mudah rapuh jika berada di tempat ini. Tempat peristirahatan terakhir sang suami.

Perempuan muslimah itu bernama Filzah Banafsah. Dan gadis kecil di sampingnya bernama Zaura Azkiya, putri sematawayangnya bersama suaminya yang telah kembali lebih dulu di sisi sang Khaliq.

"*Mas Fahril aku datang lagi ke sini Mas, aku datang bersama Zaura, anak kita." Filzah berucap dalam hati. Seakan sedang berbicara dengan suaminya yang sudah tiada. Sesekali ia menoleh dan tersenyum ke arah sang putri.

"Mas yang tenang ya di sisi Allah, in syaa Allah aku akan menjaga Zaura, aku akan menjaga buah hati kita yang belum pernah melihat Ayahnya sama sekali." Lanjutnya dalam hati*.

Seketika Filzah teringat akan sesuatu hal. Ia teringat kembali akan kejadian yang menyakitkan serta meremukkan hatinya. Kejadian yang telah merenggut nyawa suaminya.

*Flashback

Tujuh tahun yang lalu...

Filzah dan seorang laki-laki yang tak lain adalah suaminya yang bernama Fahril baru saja keluar dari rumah sederhana mereka. Filzah sedang hamil besar. Usia kandungannya sudah menginjak sembilam bulan itu artinya tinggal menunggu beberapa hari lagi untuk melahirkan buah cintanya dengan suaminya, Fahril.

"Sayang, aku berangkat kerja dulu ya." Ucap Fahril berpamitan kepada istrinya.

Filzah mengangguk pelan seraya tersenyum hangat. "Iya Mas, kamu yang semangat ya kerjanya." Balas Filzah memberikan semangat kepada suaminya.

Fahril mengangguk sangat bersemangat. "Pastinya dong Sayang, kan aku kerja untuk kamu dan buah hati kita ini." Fahril mengelus lembut perut buncit istrinya. Seakan sedang mengelus buah hatinya yang sebentar lagi akan meramaikan kehidupannya. Tidak sabar rasanya bagi Fahril untuk menunggu buah hatinya terlahir ke dunia.

"Ya sudah kalau begitu Mas berangkat kerja dulu ya, kamu jaga diri baik-baik ya, jaga anak kita baik-baik ya, Aku mencintaimu, aku juga mencintai anak kita." Seketika Fahril sangat serius dalam ucapannya. Bahkan tatapan matanya juga berubah. Menjadi serius dan tidak main-main.

"Mas... Kok Mas bicaranya seperti itu?, Mas kan hanya pergi sebentar, kenapa berpamitannya seperti mau pergi lama?." Perasaan Filzah mulai terasa tidak enak. Ia merasa ada yang aneh dengan suaminya kali ini. Tidak biasanya ia berpamitan dengan kata-kata seperti itu.

Perlahan Fahril tersenyum. Menenangkan hati istrinya yang baru saja berkecamuk hebat akibat perkataanya yang dirasa aneh.

"Iya Sayang maaf ya, aku nggak bermaksud membuat kamu jadi berpikiran yang aneh-aneh, tapi nggak salah kan kalau aku bilang seperti itu, aku kan mau berangkat kerja jadi kamu harus jaga diri kamu baik-baik dan jaga anak kita juga ya."

Akhirnya Filzah dapat bernapas lega. Ia sudah tenang kembali. Pikiran aneh-anehnya sudah ia tepis jauh-jauh. Kini ia kembali fokus menatap wajah meneduhkan sang suami yang akan berangkat kerja. Mencari rezeki untuk dirinya dan untuk anak mereka yang sebentar lagi akan terlahir ke dunia.

"Mas in syaa Allah aku dan anak kita akan baik-baik saja, lagi pula di rumah kan aku nggak sendirian, ada Ibu sama Bapak."

"Iya Sayang, kamu istirahat saja ya di rumah, kamu jangan melakukan aktivitas yang berat-berat, kalau butuh sesuatu kamu minta bantuan Ibu saja, ya."

"Iya Mas in syaa Allah aku akan baik-baik saja, Mas juga hati-hati ya, kalau Mas lelah Mas istirahat saja dulu, jangan dipaksa ya Mas, aku nggak mau Mas kenapa-kenapa, sebentar lagi kita akan punya anak, jadi Mas harus selalu sehat."

Fahril mengangguk. Meyakinkan sang istri agar tidak terlalu mencemaskan dirinya yang akan pergi bekerja.

"Ya sudah kalau begitu aku berangkat dulu ya, takutnya aku terlambat, nanti malah kena semprot Pak Mandor." Fahril terkekeh diakhir ucapannya.

Filzah ikut terkekeh. Namun di detik berikutnya ia terkejut ketika Fahril mencium keningnya dengan cukup lama. Dan akhirnya Fahril menyudahinya.

"Aku pergi dulu ya." Pamit Fahril lirih.

Filzah ragu. Ia seperti merasakan keganjalan dengan sikap suaminya saat ini. Tidak biasanya Fahril berangkat kerja dengan mencium keningnya bahkan cukup lama.

"Mas nggak apa-apa kan?" Tanya Filzah cemas.

Fahril menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa kok Sayang, ya sudah aku pergi dulu ya."

Akhirnya Filzah mengizinkan suaminya untuk pergi berangkat kerja lebih tepatnya dengan berat hati. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba merasa berat untuk melepaskan suaminya pergi padahal ini bukan pertama kalinya ia melepaskan kepergian suaminya untuk berangkat kerja namun kali ini Filzah merasa berbeda sekali dengan hari-hari sebelumnya.

"Assalaamu 'alaikum."

"Wa 'alaikumus salaam."

Fahril benar-benar sudah pergi menuju tempat kerjanya. Sebagai seorang kuli bangunan setiap hari Fahril berangkat pagi dan pulangnya sore hari saat matahari hendak tenggelam dari bumi.

"Mas Fahril kenapa aneh sekali ya?, nggak seperti biasanya, dia tadi pamitan seolah-olah nggak akan kembali lagi, astaghfirullahal adzim." Filzah buru-buru menepis pikiran negatif yang baru saja terlintas di benaknya.

"Ya Allah lindungilah suami hamba di manapun ia berada, lancarkan pekerjaannya hari ini, dan izinkan ia kembali pulang ke rumah dalam keadaan sehat wal afiat, seperti saat ia pergi berangkat kerja. Aamiin."

Fahril sudah pergi ke tempat kerjanya. Namun Filzah masih saja kepikiran dengan sikap Fahril yang seperti tidak biasanya.

"Filzah."

Bahkan Filzah sampai tidak sadar bahwa Ibu mertuanya sudah berada di sampingnya serta sedang memanggil dirinya.

"Filzah?"

Akhirnya Filzah tersadar dan langsung menoleh ke arah Ibu mertuanya yang sedang mengelus pundaknya. Menyadarkan dirinya dari gemuruh hebat pikirannya tentang suaminya.

"I-iya Bu, ada apa?" Tanya Filzah sempat terbata-bata.

"Kamu baik-baik saja kan Nak?." Sang Ibu mertua yang bernama Uzmah menanyakan keadaan menantunya yang sejak tadi ia panggil namun tidak memberikan reaksi apapun.

Filzah mengangguk lirih. "Iya Bu Filzah baik-baik saja."

Uzmah dapat bernapas lega setelah mengetahui bahwa menantu yang sedang mengandung cucu pertamanya itu dalam keadaan baik-baik saja.

"Alhamdulillah kalau kamu baik-baik saja, ya sudah sekarang kita masuk ya, Fahril juga sudah berangkat kerja kan?"

Filzah kembali mengangguk lalu mengikuti ajakan Uzmah untuk masuk ke dalam rumah mereka yang terlihat sederhana. Maklum mereka tinggal di desa jadi rumahnya sederhana saja sama seperti rumah-rumah tetangga di sekitarnya.

Sementara di tempat kerjanya, Fahril nampak semangat sekali dalam bekerja. Maklum sebentar lagi ia akan resmi menjadi seorang Ayah maka sudah seharusnya ia berkerja dengan giat untuk membiayai persalinan serta perlengkapan yang lainnya.

"Aku harus semangat bekerja karena sebentar lagi aku akan punya anak dan kebutuhan pasti akan semakin banyak." Fahril menyemangati dirinya sendiri.

Cucuran air keringat yang membanjiri seluruh tubuhnya termasuk wajahnya tidak memudarkan semangatnya untuk bekerja. Bahkan saat ini Fahril semangat sekali mengaduk-aduk semen.

Namun tiba-tiba saja tanpa Fahril sadari besi-besi besar yang tertata di atasnya mau roboh. Seketika itu juga besi-besi besar itu terjun bebas ke bawah dan langsung menimpa Fahril.

Brugghh

Tubuh Fahril terlunglai lemas beserta besi-besi besar yang menutupi seluruh tubuhnya. Semua teman kerjanya yang berada di sekitarnya langsung terkejut dan menghampirinya.

"Astaghfirullahal adzim Mas Fahril."

"Ayo kita angkat besi-besi ini."

Dengan sekuat tenaga teman-teman kerja Fahril mengangkat besi-besi yang berada di atas tubuh Fahril. Dan akhirnya besi-besi itu dapat diangkat dan dijauhkan dari tubuh Fahril.

Darah segar keluar dari kepala dan hidung Fahril. Tubuhnya terlunglang lemas tak bertenaga bahkan kedua matanya menyipit. Menahan rasa sakit yang maha dasyat mendera tubuhnya.

"Cepat telepon ambulans." Ucap salah satu teman kerja Fahril kepada temannya yang lain.

"Mas Fahril yang kuat ya sebentar lagi ambulans datang untuk membawa Mas Fahril ke rumah sakit."

Fahril menggeleng pelan. Rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya termasuk kepalanya telah membuatnya antara sadar dan tidak sadar. Besi-besi yang mengahantamnya sangat membuat tubuhnya lumpuh total. Tidak bisa digerakkan lagi.

"Pa-Pak saya su-sudah tidak ku-at la-gi." Ucap Fahril terbata-bata menahan rasa sakit yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Mas Fahril harus kuat, ingat istri dan orang tua Mas Fahril di rumah, apalagi istri Mas Fahril saat ini sedang hamil, Mas Fahril harus kuat ya." Salah satu teman Fahril menguatkan Fahril yang sudah tidak sanggup menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.

Fahril kembali menggeleng pelan. "Pa-Pak sa-saya..." Tiba-tiba tubuh Fahril bergetar hebat. "Laa i-laaha illallah, mu-muhammadur Ro-sulu-llah." Perlahan tubuh Fahril melemas. Dan kedua matanya tertutup. Untuk selamanya.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun."

"Mas Fahril sudah meninggal dunia, ayo kita beritahu keluarganya."

Salah satu teman kerja Fahril sudah memberitahu keluarga Fahril. Memberitahu Filzah yang seketika langsung pecah tangisannya. Kedua orang tua Fahril juga demikian.

"Inna lillahi wa inna ilaihi roojiun." Ucap Uzmah dan suaminya dengan rasa ketidakpercayaan bahwa putra sematawaya mereka mereka telah pergi untuk selamanya.

"Nggak, nggak mungkin, Mas Fahril nggak mungkin meninggal, Mas Fahril masih hidup, tadi dia cuma pamit untuk bekerja, bukan pamit untuk..." Ucapan Filzah terhenti. Ia tidak sanggup lagi untuk melanjutkannya.

Uzmah langsung memeluknya. Memberikan ketenangan yang saat ini Filzah butuhkan. Kehilangan suaminya untuk selamanya tidak pernah terbesit dalam pikirannya selama ini namun takdir berkata lain. Allah telah mengambil suaminya dari kehidupannya.

"Mas Fahril." Tiba-tiba Filzah jatuh terlunglai. Untungnya Uzmah dan Jasir, Ayahnya Fahril langsung menahannya sehingga Filzah tidak terjatuh yang mana akan membahayakan kondisi bayi yang ada di dalam kandungannya.

***

Kini jasad Fahril sudah dikebumikan. Para pelayat perlahan meninggalkan tempat peristirahatan Fahril untuk selamanya. Hanya tersisa Filzah, Uzmah dan Jasir.

Filzah mengelus pelan pusara yang tertera nama suami yang sangat dicintainya. Rasanya seperti mimpi bagi Filzah. Baru saja tadi pagi ia mencium tangan suaminya namun kini ia mengelus pusara yang menjadi tempat peristirahatan sang suami tercinta.

"Mas, kenapa kamu pergi secepat ini, kenapa Mas?, aku nggak sanggup hidup tanpa kamu, Aku nggak sanggup..." Filzah menangis tersedu-sedu diakhir ucapannya.

"Mas kita kan mau merawat dan membesarkan anak kita, tapi kenapa kamu malah pergi meninggalkan aku, bahkan kamu belum melihat anak kita terlahir ke dunia..." Filzah kembali menangis. Rasanya saat ini Filzah seperti kehilangan separuh nyawanya. Filzah telah kehilangan separuh semangat hidupnya. Saat ini Filzah merasa kehidupannya hampa. Kebahagiannya terhenti begitu saja. Secepat ini kebahagiannya berganti menjadi keterpurukan. Ajal menjadi begitu dekat dengannya. Sangat dekat.

"Filzah...kuatkan hati kamu Nak, kuatkan demi anak di kandungan kamu, ya." Uzmah mencoba untuk menguatkan menantunya meskipun dirinya tidak bisa menguatkan dirinya sendiri. Seorang Ibu mana yang tidak terpukul ketika kehilangan putra tercintanya. Pelita dalam kehidupannya. Begitulah yang saat ini sedang Uzmah rasakan.

Jasir tiada henti-hentinya menguatkan istri dan menantunya yang terlihat sangat terpukul atas kepergian Fahril untuk selamanya.

Disela-sela tangisannya tiba-tiba saja Filzah merasakan sakit yang luar biasa di sekitar perutnya. "Astaghfirullahal adzim, perutku."

Uzmah terkejut mendapati menantunya sedang merintih kesakitan sembari memegangi perut buncitnya.

"Ya Allah Filzah kamu kenapa Nak?"

"Ibu, perut Filzah sakit sekali Bu."

"Kamu mau melahirkan Nak, Pak ayo kita bawa Filzah ke rumah sakit."

"Iya yo Bu."

Filzah segera beranjak dari posisi duduknya dengan bantuan Uzmah dan Jasir yang memapahnya untuk menuju rumah sakit karena sebentar lagi ia akan melahirkan anak pertamanya, namun tanpa suami yang menemaninya.

***

"Owek... owek... owek..."

Bayi mungil yang baru saja dimandikan oleh seorang Suster menangis dengan lantang. Kemudian Suster memberikan bayi mungil itu kepada Filzah yang sedang terbaring lemas usai melakukan proses melahirkan anak pertamanya yang berjenis kelamin perempuan.

Uzmah yang berdiri di samping suaminya tidak kuat menahan tangisnya yang pecah seketika. Ia tidak sanggup melihat cucu pertamanya yang baru saja lahir ke dunia namun sudah kehilangan sosok Ayah dalam hidupnya.

"Assalaamu 'alaikum Sayang, selamat datang ke dunia ini Nak, kamu adalah penyemangat hidup Bunda, semoga kamu panjang umur dan sehat selalu." Diciumnya pipi mungil sang bayi yang masih merah kulitnya karena baru saja dilahirkan*.

*Flash on*

Filzah mengusap air matanya yang sudah kesekian kalinya terjatuh membasahi wajah senduhnya.

"Mas maaf ya mungkin besok-besok aku akan jarang berkunjung ke sini, karena aku dan Zaura akan pergi dari sini, aku ingin memulai kehidupan baruku di kota lain, aku nggak mau merepotkan Ibu dan Bapak lagi, sudah cukup selama bertahun-tahun ini aku merepotkan mereka apalagi saat ini Bapak sedang sakit dan Ibu harus berjualan kue untuk menghidupi kami, semoga kamu setuju dengan keputusan aku ini ya Mas."

Filzah berharap keputusannya untuk bangkit dari masa lalu serta memulai kehidupannya yang baru adalah keputusan yang terbaik untuk dirinya juga putrinya.

"Zaura..."

"Iya Bunda." Jawab polos gadis kecil yang terlihat sangat menyejukkan dengan balutan pakaian muslimah yang dikenakannya.

"Zaura mau ikut Bunda ke mana saja kan Sayang?"

Zaura terlihat sedang berpikir. Ia terdiam sejenak. Filzah yang melihatnya hanya tersenyum untuk menunggu jawaban yang akan diucapkan oleh sang putri tersayang.

"Memangnya kita mau ke mana Bunda?, kita akan pergi dari sini Bunda?"

Filzah mengangguk pelan seraya menebarkan senyuman kepada sang putri yang terlihat kebingungan atas pertanyaannya tadi.

"Iya Sayang kita akan pergi dari sini,  Bunda sama Zaura akan tinggal di kota lain, Zaura mau kan?"

"Kakek sama Nenek ikut juga kan Bunda?" Tanya Zaura dengan penuh harap. Berharap Kakek dan Neneknya ikut pergi bersamanya.

"Nggak sayang, Kakek sama Nenek tetap di sini, Bunda sama Zaura saja yang pergi."

"Yahhh." Zaura nampak sedih lantaran Kakek dan Neneknya tidak ikut pergi bersamanya.

"Zaura dengarkan Bunda ya, kita harus pergi dari sini Sayang, Bunda harus mencari pekerjaan, sekarang Kakek sedang sakit, Kakek butuh biaya supaya bisa sembuh dan bisa berjalan lagi seperti semula, dan Zaura juga mau sekolah kan?, nanti kalau kita sudah pindah ke kota lain in syaa Allah Zaura bisa sekolah." Filzah mencoba memberikan penjelasan kepada putrinya yang seketika bersedih karena Kakek dan Neneknya tidak akan ikut bersamanya.

Zaura terdiam sejenak. Ia memikirkan ucapan Bundanya yang ada benarnya. Saat ini Kakeknya sedang sakit dan membutuhkan biaya. Serta diumurnya yang sudah menginjak tujuh tahun Zaura memang ingin sekali bersekolah seperti anak-anak yang seumuran dengannya. Dan Filzah tidak mempunyai uang untuk membiayai Zaura sekolah hingga akhirnya Filzah memutuskan untuk pindah ke kota lain. Mencari perkerjaan serta membanting tulang untuk membantu Uzmah yang saat ini menjadi tulang punggung keluarga mereka semenjak satu tahun yang lalu Jasir kecelakaan saat mengojek hingga menyebabkan kakinya lumpuh dan tidak bisa bekerja lagi.

Perlahan Zaura menganggukkan kepalanya. Menyetujui ajakan Bundanya untuk pergi dan memulai hidup yang baru di kota lain.

"Alhamdulillah, sini Sayang peluk Bunda Nak."

Zaura langsung berhambur ke dalam pelukan hangat sang Bunda. ia begitu menyayangi Bundanya apalagi Zaura hanya memiliki orang tua tunggal yaitu Bundanya saja.

Filzah berkali-kali menciumi puncak kepala putri tersayangnya. Air mata tidak pernah absen menghiasi wajah senduhnya.

Kini tatapan Filzah dan Zaura tertuju ke arah pusara Fahril. Suami Filzah sekaligus Ayah dari Zaura. Mereka saling tersenyum memandangi pusara itu. Seakan-akan mereka sedang tersenyum kepada Fahril yang sudah tujuh tahun meninggalkan mereka.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Assalaamu 'alaikum Warohmatullaahi Wabarokaatuh

Hay Readerssss 👋👋👋

Apa kabar kalian semuaaaa

Semoga sehat selalu

Dan bahagia selalu

Serta jangan lupa untuk selalu bersyukur ya

Alhamdulillahirobbil 'Aalamiin

Ukhfira hadir kembali

Dengan cerita yang baruuuuu

Yang judulnya "Cinta Istiqomah" yang tidak lain dan tidak bukan adalah Novel ke-3 di noveltoon Ukhfira

Maa Syaa Allah Walhamdulillah Ukhfira terharu sekali dan nggak nyangka bisa menulis novel ke-3 ini tentunya berkat Allah subhanahu wata'ala serta berkat dukungan kalian para Readers yang baik hati memberikan semangat kepada Ukhfira baik melalui vote dan komen serta memfollow akun @ukhfira

Jazakumullah khoiron untuk kalian semua kawan Readersnya akohhhh💖💖💖

Tapi ngomong-ngomong yang mampir di lapak ini sudah baca lapak-lapak cerita Ukhfira sebelumnya kannn???

Kalau sudah dong, Alhamdulillah

Ukhfira ucapkan terima kasih

karena sudah membaca semua oret-oretannya Ukhfira dari awal sampai yang saat ini

Semoga kalian suka ya dengan cerita "Cinta Istiqomah" ini

Dan jangan lupa Vote dan komen juga yak

Jangan lupa juga doain Ukhfira ya semoga diberikan kesehatan dan waktu ulang untuk menyelesaikan cerita "Cinta Istiqomah" ini TAMAT

Tentunya ini berkat doa dan dukungan kalian

Readerssss

🤗🤗🤗

Sudah dulu ya

Sampai bersapa kembali di part selanjutnya

Mohon bersabar ya

Untuk menunggu part selanjutnya

🤗🤗🤗

Salam sayang untuk kalian Readers setianya Ukhfira 💞

Dan

Salam kenal untuk kalian Readers yang baru bergabung 👋

Wassalamu 'alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh

Ttd

Madura, 26 Juli 2020

18.59 WIB

~Ukhfira~

Terpopuler

Comments

Nnek Titin

Nnek Titin

air mata melincuuuurrr bebas
ini Bab pertama udah bikin mewek

2023-03-02

0

Erna Binardy

Erna Binardy

😭😭😭😭

2021-07-22

0

Erna Binardy

Erna Binardy

wa'alaikum salam thoor

2021-07-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!