Indira duduk terpaku di sofa menatap keluar jendela kamarnya dengan mata sembab. Sudah hampir 1 jam airmatanya sulit untuk dihentikan. Sama halnya dengan hujan yang juga masih membasahi bumi. Di dekatnya tergeletak sebuah undangan pernikahan berwarna hitam dengan tulisan dan pita warna emas.
1 jam sebelumnya.
“I.. Ini apa, Yah?” Tanya Indira dengan tangan gemetar memegangi sebuah undangan dan dia membaca namanya sendiri di sana dengan nama cowok yang sangat dia kenal.
“1 bulan dari sekarang, kamu akan menikah dengan Devian.” Jawab lelaki yang sudah menginjak umur 55 tahun, namun ketampanannya diwaktu muda masih tergambar jelas. Dia adalah Haris Pradana, ayah dari Indira.
“Ta.. tapi, Yah, aku sama Ian gak ada hubungan apa-apa, gimana bisa aku menikah sama cowok yang sama sekali gak aku sayang. Aku sayangnya sama Gilang, bukan Devian!” Indira terdengar semakin histeris.
Nadia merangkul Indira, berharap bisa menenangkan anak gadis satu-satunya itu. “Ibu, tahu, Nak, tapi Ayah dan Ibu yakin, Ian bisa menjadi suami yang baik untuk kamu.”
“Tapi, Bu, aku masih mau kuliah, kerja, aku gak mau menikah muda, apalagi dipaksa seperti ini!”
Apa-apaan mereka?! Jeritnya dalam hati.
“Tapi undangan sudah disebar, Ndi.”
“Kalian menyebar undangan ini tanpa tanya dulu aku setuju apa gak?! Apa Ian yang memaksa kalian untuk melakukan ini semua?!”
“Gak, Sayang, Ian pun gak tahu masalah ini, Ibu yakin dia pasti sama terkejutnya seperti kamu, karena ini semua rencana Ayah, Ibu dan orang tua Ian.”
“Iya tapi kenapa Bu? Yah?” Indira menatap bergantian orang tuanya dengan bercucuran airmata. “Apa kalian punya hutang ke orang tua Ian dan aku yang ditumbalkan untuk melunasi hutang kalian? Iya?”
“Bukan begitu, Nak.”
“Lantas apa, Yah? Kenapa kalian memaksa aku buat menikah sama Ian?”
“Karena 1 tahun kemarin, Ian yang bisa bantu kamu melewati masa sulit kamu saat putus dengan Gilang. Dan kami lihat, Ian amat menjaga kamu, ditambah lagi, Papanya Ian, sahabat lama Ayah.”
“Tapi aku gak sayang sama Ian, kita cuma berteman baik dan gak lebih. Dan aku juga masih sayang banget sama Gilang. Kita juga ada rencana balikan, jadi aku gak mau pernikahan ini diteruskan.”
"Indi, Ibu harap kamu mau memikirkan ini baik-baik. Undangan dan persiapan pernikahan kalian sudah disebar dan 80% sudah siap, kamu gak maukan membuat malu Ayah sama Ibu?"
"Tapi kalian yang mau ini semua! Bukan aku!"
Indira lalu beranjak pergi menuju kamarnya yang ada di lantai 2. Haris dan Nadia hanya bisa menghela nafas.
"Kita biarkan Indi tenang dulu, Yah. Karena dia pasti shock sekali."
Haris hanya bisa mengangguk menyetujui perkataan istrinya.
Indira menyeka airmata yang masih meleleh di pipinya. Pandangannya pun teralihkan keundangan yang ada di dekatnya. Dia mengambil lalu memandangnya masih dengan tangan yang sedikit gemetar karena menahan rasa marah dan terkejut. Dia meraba tulisan namanya dan Devian yang terukir indah di sana berikut tanggal pernikahan mereka. Indira menghela nafas dan mengalihkan pandangannya keluar jendela dengan airmata yang masih bercucuran di pipinya.
Ya, Devian Adhibrata. Anak tunggal pemilik perusahaan jual beli properti yang sangat maju. Jadi bisa dipastikan dia akan mewarisi perusahaan raksasa tersebut dan karena kenyataan itulah banyak cewek-cewek yang mencoba menarik perhatiannya namun tidak ada satupun yang bisa mendekatinya, kecuali Indira. Dan 3 tahun lalu jadi kilas balik pertemuannya dengan Devian.
3 tahun sebelumnya.
Indira melangkahkan kakinya di kampus dihari pertama dia resmi menjadi mahasiswi bersama Viana, bestienya dari SMP. Untungnya mereka berhasil masuk ke salah satu kampus favorit di Jakarta, dan sama-sama mengambil jurusan Ekonomi & Bisnis. Di sinilah juga, Indira bertemu dengan Gilang Raditya, seniornya,-yang terpaut 2 tahun di atasnya dan dia mengambil jurusan Hukum-, dihari pertama masa orientasi kampus dan Gilang menjadi ketua pelaksana kegiatan.
Saat itu, Gilang sudah merebut sebagian perhatian Indira karena insiden “bertabrakan” di belokan lorong kampus yang menuju kantin dan dengan baik hatinya, Gilang membantu membereskan barang-barang Indira yang tercecer di lantai. Dan semenjak itulah, Gilang dan Indira pun menjadi dekat tanpa menyadari, kalau ada seseorang yang juga menaruh perhatian kepada Indira.
"Biasa saja dong melihatnya." Sahut Farel pelan sambil menyikut Devian yang duduk di sampingnya sewaktu kuliah pertama mereka sedang berlangsung.
Devian tersadar lalu tersenyum dan memalingkan mukanya kembali menatap dosen yang sedang menjelaskan konsep dasar ilmu manajemen. Dia lalu menulis sesuatu di buku catatan yang langsung disodorkan ke Farel. Farel pun membacanya lalu tersenyum dan kembali berbisik.
"Masalah kecil."
Devian pun tersenyum lalu sesekali melihat ke arah Indira yang duduk tidak jauh dari tempatnya dan karena posisi tempat duduk mereka berbentuk setengah lingkaran dengan whiteboard di tengah mereka yang sedang menampilkan catatan yang diproyeksikan dari mesin proyektor yang tergantung di langit-langit ruang kelas mereka.
I wanna know about you (Gue mau tahu siapa lo.)
Beberapa hari kemudian.
Karena terlalu asyik mengerjakan tugas di perpustakaan, Indira sampai lupa kalau ada mata kuliah selanjutnya. Dia tidak sadar kalau Viana berkali-kali menelepon dan mengirimkan pesan. Alhasil, dengan terburu-buru dia membereskan buku dan laptopnya lalu keluar dari perpustakaan.
Dia berlarian di tangga sampai-sampai dia tersandung. Namun tanpa dia duga, ada sebuah tangan yang memeganginya sehingga dia tidak sampai terjatuh. Indira menoleh dan melihat cowok yang memegangi lengannya tersenyum sambil membantunya kembali menyeimbangkan tubuhnya.
"Hati-hati."
Indira pun tersenyum. "Makasih ya."
"Sama-sama. Lo mau ke kelas Bu Gina?"
"Kok lo tahu?"
"Kan kita sekelas. Ayo, kita sudah telat banget."
Indira dan Devian pun kembali menaiki tangga dan kembali berlarian di lorong mencari ruang kelas mereka. Dan benar saja, dosen mereka sudah memulai perkuliahan.
"Maaf, Bu, kita telat." Sahut Devian dengan Indira yang ikut berdiri di sampingnya ketika masuk ke dalam kelas.
"Saya paling tidak suka ada mahasiswa yang terlambat."
"Maaf, Bu, kita sedikit kesulitan mencari kelasnya."
"Untuk hari ini saya ijinkan kalian masuk, namun tidak ada lain kali."
Setelah mengucapkan terimakasih, Devian dan Indira pun duduk di bangku paling belakang.
"Gue Devian." Bisik Devian ke Indira yang duduk di sampingnya.
"Indira. Makasih ya lo sudah menolong gue tadi."
"Anytime."
Farel hanya bisa tersenyum dari tempatnya duduk setelah melihat Devian dan juga Indira karena merasa rencananya sukses besar. Dia lalu menulis sesuatu di secarik kertas lalu digeser ke seseorang yang duduk di sebelahnya.
Viana tersenyum membaca tulisan di kertas yang diberikan oleh Farel lalu membalasnya juga dengan tulisan di kertas yang sama lalu kembali diberikan ke Farel. Farel tersenyum lalu menganggukkan kepala ke arah Viana. Viana pun ikut tersenyum lalu kembali memperhatikan dosen mereka.
“Memangnya Gilang belum punya cewek?” Tanya Viana sambil mengunyah spageti yang ada di piringnya. Setelah perkuliahan selesai, mereka mampir ke cafe yang tidak terlalu jauh dari komplek rumah mereka biarpun mereka tidak tinggal di komplek yang sama.
“Yang gue tahu, cewek yang suka bareng dia cuma teman sekelasnya saja sih.”
“Tapi kok kaya akrab banget ya? Coba lo cek dulu, jangan sampai lo sudah kepalang bucin, tapi nyatanya dia punya cewek.”
Indira terdiam lalu menyeruput cappucinonya perlahan.
“Tapi, Ndi, cowok yang tadi siang bareng lo.. lumayan juga.”
Indira sedikit tersedak lalu meletakan cangkirnya. “Tadi itu gara-gara lo tahu gak, gue jadi telat dan pas di tangga, gue hampir jatuh, dan untungnya ada dia. Namanya Devian.”
“Devian?” Viana menyudahi makannya lalu mengelap mulutnya dengan serbet yang ada di pangkuannya. “Gue kaya pernah dengar nama itu.” Viana lalu mengambil ponselnya dan terlihat mengetik sesuatu.
“Nyari apa lo?”
“Wait.. Nah ketemu. Dengar. Devian Adhibrata, pewaris tunggal Adhibrata’s Real Estate, yang diramalkan akan lebih memajukan perusahaan raksasa tersebut, mulai tertarik untuk terjun menekuni bisnis.”
“Seriusan, Vi?”
“Apa gara-gara itu ya, dia kaya magnet di kampus? Lo ingat gak waktu orientasi dia jadi center of attention (pusat perhatian) banget dan gue yakin karena fakta ini.”
Indira lagi-lagi terdiam. “Tapi, Vi.. Dia memang ganteng banget sih.”
Viana tertawa. “Pikirin tuh Gilang.”
Indira pun tersenyum lalu kembali terdiam sambil memainkan cangkirnya dengan pikiran yang tidak menentu.
Kenapa gue jadi kebayang-bayang Devian?
To be continued.....
Indira masih menyandarkan punggungnya dan membuang pandangannya ke luar jendela. Tetesan air hujan juga dengan setia menghiasi jendela kamar yang didesain khusus menyatu dengan sofa yang sedang dia duduki sekarang. Dan di rumah, ini merupakan spot yang paling disukai olehnya.
Pikirannya kembali lagi ke sosok tinggi, badan sedikit atletis yang menandakan kalau Devian suka berolahraga, dan gaya rambut undercutnya semakin menambah kemaskulinan Devian yang memang terlihat sangat cool. Kalaupun dia bukan seorang anak dari pengusaha sukses, dia tetap akan digandrungi cewek-cewek.
Selama mereka dekat, Indira tidak memungkiri kalau dia merasa nyaman berada di dekat Devian. Dan dia merasa Devian tidak pernah mengambil kesempatan lebih karena dekat dengan Indira sehingga Indira tidak pernah berpikiran kalau Devian juga menaruh hati terhadapnya, karena hati dan pikiran Indira sudah tertuju kepada Gilang.
"Iannn..!! Gue senang banget!"
Devian sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga karena mendengar suara histeris Indira sewaktu di telepon.
"Tumben, kenapa lo?" Jawab Devian datar.
"Gilang nembak gue, Yan."
Devian terdiam.
"Yan, lo dengar gue gak sih?"
"Iya gue dengar, terus hubungannya sama gue apa? Gak penting."
"Besok lo gue traktir ya."
"Gak perlu."
"Kok lo kaya gak senang banget gue jadian sama Gilang? Jangan bilang lo gak suka gue sama Gilang ya?"
"Memangnya cowok lo gak bakal bermasalah kalau lihat ceweknya dekat sama cowok lain?"
"Gue yakin sih gak, kaya gue yang gak keberatan dia dekat sama Lusi."
Lagi-lagi Devian terdiam.
"Besok lo bilang gue ya, mau makan apa dan dimana, gue yang traktir. Bye, Ian."
"Bye, Ndi." Devian mematikan ponselnya lalu terdiam menatap langit malam dari balkon kamarnya.
Lo tuh kaya langit, Ndi, terlihat dekat tapi gak bisa gue gapai. Dan gue butuh usaha makin keras buat menyembunyikan perasaan gue selama gue bisa selalu lihat lo bahagia.
Seorang wanita memasuki kamar Devian lalu mendapatinya sedang duduk di balkon kamar. Dia lalu menghampiri dan duduk di sampingnya.
"Kamu kenapa, Sayang?"
Devian tersadar lalu menoleh ke Kinar sambil tersenyum dan menggeleng perlahan. "I'm good, Mom." (Aku gak pa-pa, Ma.)
"Mama yang paling kenal kamu, Yan. Cerita sama Mama, kamu kenapa? Karena kamu kelihatan kaya lagi.. patah hati."
Sontak Devian tertawa. "Aku belum pernah pacaran Ma, jadi darimana mana Mama berpikiran aku patah hati?"
"Feeling saja sih, tapi benarkan?"
Devian menghela nafas. "Dia gak tahu kalau aku suka sama dia, dari pertama kali aku melihat dia, jadi aku gak menyalahkan dia kalau lebih suka sama cowok lain."
"Dia sudah pacaran sama cowok lain?"
"Tadi dia bilang ke aku kalau dia sudah jadian."
Kinar tersenyum. "Cinta itu harus diungkapkan sih, Yan, tapi kalau pada akhirnya kasus kamu seperti ini, kamu bisa dekat dengan dia dengan cara lainkan. Tanpa harus jadi pacar."
"Aku dekat kok sama dia, tapi apa iya, someday, kita gak bakal saling baperan, karena gak ada sejarahnya cowok sama cewek sahabatan. Dan aku khawatir kalau dia pacaran, cowoknya bakal gak suka sama kedekatan kita."
"Tapi seenggaknya kamu bisa menunjukkan perasaan kamu dari sana dulukan? Jodoh gak akan kemana-mana, Sayang. Mau serumit apapun jalannya, kalian pasti akan dipertemukan."
Devian terdiam menatap langit. Kinar mengelus kepala Devian.
"Jangan galau lagi ya, dan jangan tidur malam-malam."
"Gudnite, Ma."
"Gudnite, Sayang." Kinar keluar dari kamar Devian setelah mencium kepala anak semata wayangnya dan membiarkan Devian kembali dengan lamunannya.
***
Gilang menghentikan mobilnya di depan pagar sebuah rumah bergaya klasik minimalis berlantai 2. Di depan terasnya terhampar rerumputan hijau yang terawat dengan bermacam bunga beraneka warna yang terlihat cantik.
"Kamu mau mampir, Kak?"
Gilang tersenyum. "Aku langsung saja ya, sudah sore dan kamu pasti capek."
"Kalau gitu, kamu hati-hati ya. Makasih sudah mengantar aku."
"Iya, Sayang."
Indira tersenyum lalu keluar dari mobil. Gilang kembali menjalankan mobilnya dan Indira masih menatapnya sampai hilang dari pandangannya. Ponselnya pun berbunyi dan ada nama Devian di layarnya.
"Dimana lo?"
Indira tersenyum sambil berjalan masuk menuju rumahnya. "Baru sampai rumah, kenapa? Lo kaya takut banget Gilang gak mengantar gue sampai rumah."
"Gue malah khawatir dia yang gak bisa pulang karena kesasar."
Indira tertawa sambil meletakan tasnya di atas tempat tidur dan dia menuju sofa dan duduk di sana sambil menatap keluar jendela.
"Kunci pintu yang benar, kalau ada yang bertamu malam-malam cuekin saja."
"Siap, Bos. Kalau ada apa-apa, lo bakal jadi orang pertama yang gue repotin."
"Glad to hear that (Senang mendengarnya). Bye, Ndi."
"Bye, Ian."
Indira mematikan ponselnya sambil tersenyum. Semoga Gilang gak bakal bermasalah sama kedekatan kita, Yan. Karena gue gak bakal tahu harus memilih siapa antara lo atau Gilang.
***
Keesokan harinya, terlihat Indira, Viana, Farel dan Devian duduk di salah satu meja kantin yang siang itu tidak terlalu ramai sambil membahas sesuatu karena beberapa buku berserakan di atas meja.
"Kalau tahu Ekonomi rada buat pusing, gue mending ambil Bahasa Perancis saja kemarin."
"Gaya lo." Timpal Farel sambil mengacak rambut Viana yang duduk di sampingnya dan Viana pun tertawa. Indira dan juga Devian yang duduk di hadapan mereka hanya bisa tersenyum.
"Lo tulis semua istilahnya baru pengertiannya masing-masing."
Indira terlihat menulis sesuatu dan Devian kembali membaca buku yang dipegangnya sambil sesekali memberi instruksi kepada Indira. Viana dan Farel sesekali hanya bisa tersenyum melihat kedekatan Devian dan Indira tanpa mereka sadari, Gilang sedang menatap mereka dari sudut lain di kantin.
"Ndi, aku boleh tanya sesuatu?"
Indira menoleh ke Gilang yang sedang menyetir. "Boleh, Kak, tanya apa?"
"Kamu.. sedekat itu ya sama.. Devian?"
"Bisa dibilang, Ian sahabat aku sih, Kak. Dan mungkin juga karena kita satu kelas dan satu kelompok, jadi kamu lihatnya kita dekat banget."
"Spesial banget ya, sampai kamu panggil dia, Ian."
"Kamu cemburu sama dia?"
"Mana ada cowok yang gak cemburu lihat pacarnya dekat sama cowok lain."
"Tapi aku gak bermasalah kok kamu juga dekat sama Kak Lusi. Karena aku tahu, sebelum kamu kenal aku, kalian sudah dekatkan. Karena apa? Karena aku percaya banget kalau kamu gak akan macam-macam dibelakang aku."
"Tapi, Ndi.."
"Please, Kak. Aku tuh sayang sama kamu, dan aku bisa memposisikan diri aku sewajarnya sama Ian."
Gilang terdiam.
Indira mengelus pundak Gilang. "Aku cuma mau kamu percaya sama aku kalau aku gak mungkin mengkhianati kamu."
Gilang tersenyum lalu meraih tangan Indira dan digenggamnya. "Aku percaya sama kamu."
Indira pun tersenyum.
***
"Tuhkan benar." Indira meletakan segelas sirup jeruk dingin di meja lalu duduk di samping Devian. "Dia gak suka sama kedekatan kita."
"Wajar sih kalau dia cemburu. Emang kita sedekat itu ya, Yan?"
Devian mengangkat kedua bahunya sambil menyeruput minumannya. "Jujur sama gue, Ndi. Lo cemburu gak lihat cowok lo sama cewek lain?"
"Lusi maksud lo? Ya karena gue tahu mereka sudah dekat sebelumnya, jadi gue gak overthinking."
"Lo mau kita gimana?"
Indira terdiam.
"Lo mau kita pisah biar cowok lo gak overthinking sama gue?"
"Gue gak mau."
"Kalau gitu, kita jaga jarak saja ya. Di kampus saja, kalau gue lagi main sih, gue tetap bisa ngunyeng-ngunyeng kepala lo." Sahut Devian sambil mengacak rambut Indira.
"Rese lo."
Dan mereka pun asyik mengobrol sambil sesekali tertawa.
Gue gak akan mungkin mau pisah sama lo, Yan, karena gue nyaman banget sama lo.
Ini yang jadi ketakutan gue, Ndi, kalau suatu saat Gilang bakal menjauhkan kita. Dan lo lebih memilih dia.
To be continued.....
"Vi, kayanya Gilang gak suka gue dekat sama Ian." Kata Indira melalui sambungan telepon ketika Devian sudah berpamitan pulang.
"Kok bisa? Lo sama Iankan cuma teman, Neng. Dan yang gue lihat Ian menghormati hubungan lo sama Gilang."
"Gue juga gak mengerti si, Vi."
"Tapi wajar sih, mungkin Gilang takut kalau someday ceweknya diambil cowok lain."
"Gua sayang banget sama Gilang, gimana bisa saat ini gue berpaling dari dia."
"Jaga jarak sama Ian."
"Gak bisa. Gue nyaman banget sama Ian."
"Hati-hati baper."
"Ngaco. Sudah ya, gue mau mandi bye." Indira mematikan ponselnya lalu terdiam sejenak seakan mencoba mencerna kata-kata Viana.
***
Bibi meletakkan 2 gelas minuman dingin di meja. “Diminum Mas.”
“Makasih ya, Bi.” Sahut Farel tanpa berpaling dari stik game dan matanya melekat ke layar TV.
“Mama sudah pulang, Bi?”
“Belum, Mas, mungkin malam, soalnya tadi berangkatnya gak lama sebelum Mas Ian pulang.”
“Makasih ya, Bi.”
Bibi pun pamit keluar dari kamar. Devian merubah posisi telentangnya menjadi tengkurap menatap Farel yang sedang bermain Playstation.
“Gilang kayanya jealous gue dekat sama Indi.”
“Cuma cowok gak normal yang gak merasa cemburu lihat ceweknya dekat sama cowok lain.”
“Tapikan gue sama Indi bisa memposisikan diri kita masing-masing.”
“Jaga jaraklah sama ceweknya.”
“Lokan tahu ini satu-satunya cara biar gue bisa dekat sama Indi.”
“Tapi gue beneran gak bisa bantu lo kalau someday Indi tahu lo suka sama dia dan lo gak jujur.”
Devian kembali terlentang dan menatap langit-langit kamarnya.
“Gue gak peduli, karena gue mau menikmati ini semua dulu.” Devian pun terpejam.
Beberapa hari kemudian.
Devian yang duduk di atas motor sport yang dia parkir di depan rumah Indira tersenyum ketika melihat Indira datang dan turun dari boncengan motor ojek. Setelah membayar ojeknya, Indira membuka pintu pagar berbarengan dengan Devian yang turun dari motornya.
“Sejak kapan lo di sini?”
“Baru kok.”
“Berani banget, lo gak takut gue pulang bareng Gilang?”
Devian tertawa. “Gue sama lo cuma teman biasa, Ndi, jadi harusnya dia gak perlu khawatir dan lagian hari ini dia kuliah sampai malamkan?"
“Ya sudah, ayo masuk.”
Devian lalu memindahkan motornya ke dalam pagar rumah Indira dan mengikutinya masuk ke dalam.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam.” Nadia menoleh dan melihat Indira dengan Devian yang berjalan di belakangnya. “Hai, Sayang, hai, Ian, kalian lagi pulang bareng?”
“Gak, Bu, aku sampai dia sudah di depan rumah.” Indira mencium tangan Nadia.
Devian tertawa sambil ikut mencium tangan Nadia.
“Kamu kenapa gak langsung masuk saja, Yan? Jadikan bisa temani Tante nonton TV, sini duduk.”
Devian duduk di sofa di samping Nadia.
“Gue ambil minum dulu ya, Yan.”
“Makasih ya, Ndi.”
Indira menuju dapur. Nadia dan Devian pun terlihat mengobrol dengan akrab.
Pertama kali Indira memperkenalkan Devian ke ibunya, ada rasa yang tidak biasa karena Nadia termasuk orang yang susah sekali menerima teman lelaki anak gadisnya. Mungkin itu dia lakukan untuk lebih memproteksi Indira dalam hal pergaulan dengan lawan jenis.
Namun tidak berlaku untuk Devian. Dia bisa langsung mengambil hati Nadia dengan sangat mudah. Beda halnya dengan Gilang yang awal pendekatan dengan Indira, Nadia terlihat tidak suka, walaupun pada akhirnya, Nadia mengijinkan Gilang dan Indira berpacaran dengan banyak syarat termasuk tidak diijinkannya Gilang masuk ke dalam rumah.
Tapi anehnya, Devian bisa leluasa masuk ke dalam rumah dan mengobrol dengan Nadia ataupun Haris. Ditambah, Devian bisa menjadi security khusus apabila orang tua Indira sedang tugas ke luar kota yang mengharuskan meninggalkan Indira sendirian di rumah. Jadi Devian harus jadi orang pertama yang dihubungi Indira apabila ada sesuatu yang darurat terjadi.
"Gue pamit ya." Sahut Devian sambil naik ke atas motor dan memakai helmnya.
"Hati-hati lo, maaf Nyokap malah jadi merepotkan lo."
"Tenang saja, selagi gue bisa, gue bakal bantu kok. Istirahat ya."
"Lo juga."
Devian menyalakan motornya lalu pergi dan Indira masuk ke dalam rumah tanpa tahu kalau Gilang memperhatikan mereka dari dalam mobil yang dia parkir tidak jauh dari rumah Indira.
***
"Devian sering banget ke rumah kamu ya?" Tanya Gilang keesokan harinya saat mereka sedang makan siang di kantin kampus.
"Gak juga sih, Kak. Kenapa?"
"Aku lihat dia pergi dari rumah kamu kemarin."
"Kamu ke rumah? Kok aku gak tahu?"
"Tadinya mau mampir sebentar, cuma aku lihat ada motor dan ternyata itu motor Devian."
"Ibu lagi ada perlu sama dia."
"Ibu kamu atau malah kamu yang ada perlu sama dia."
Indira menyudahi makannya dengan kesal lalu menatap Gilang. "Perlu ya kita bahas masalah ini terus?"
"Ya karena aku gak suka sama kedekatan kamu sama Devian."
"Apa aku juga boleh bilang kalau aku juga gak suka kamu dekat sama Lusi?"
"Tapikan aku sama Lusi teman biasa saja."
"Oh iya, teman biasa, tapi kayanya dia care banget sama kamu ya?"
"Maksud kamu?"
"Aku pernah lihat, bukan cuma pernah tapi sering gak sengaja lihat ada chat dia masuk dan nanya kamu sudah makan apa belum?"
Gilang terdiam dan berusaha menutupi rasa terkejutnya.
"Asal kamu tahu ya, Kak. Sedekat-dekatnya aku sama Ian, aku gak pernah sekalipun chat seperti itu ke Ian. Kamu boleh periksa ponsel aku kalau memang kamu gak percaya."
Indira lalu meraih tas dan ponselnya lalu beranjak tanpa menghiraukan panggilan Gilang.
"Kenapa lo? Bete banget." Farel duduk di samping Indira sewaktu kuliah selanjutnya akan dimulai setelah makan siang.
"Biasa, Gilang selalu mempermasalahkan kedekatan gue sama Ian."
"Ya lo jaga jaraklah sama Ian."
"Gue bucin banget sama temen lo."
Farel tertawa. "Jadian saja."
Sontak Indira pun tertawa. "Ngaco."
"Tapi gue nanya serius deh, Ndi. Perasaan lo ke Ian gimana sih? Kenapa lo gak bisa jauhin dia buat menjaga perasaan cowok lo?"
"Karena sama Ian, gue selalu bisa jadi diri gue sendiri, Rel."
"Maksud lo, sama Gilang lo gak bisa jadi diri lo?"
"Terkadang. Ya lo tahulah, Gilang tuh jabatannya apa di kampus ini, dan gue sebagai ceweknya kudu jaga sikaplah, jaga omonganlah, gak boleh sembarangan, buat menjaga nama baik dia."
Farel mendengus sinis. "Baru juga jadi ketua BEM sombong banget."
"Tapi kalau sama Ian, gue gak bisa kudu jaga image, istilahnya kalau gue mau kentut depan dia pun, dia gak akan keberatan."
Farel tersenyum. "Gimana kalau misalnya pada akhirnya nanti, Ian jatuh cinta sama lo? Lo bakal memilih siapa?"
Indira terdiam sejenak menatap beberapa teman sekelasnya mulai berdatangan termasuk Devian yang duduk agak jauh dari tempatnya bersama Viana.
"Kayanya gak mungkin dia suka cewek kaya gue. Gue yakin dia butuh cewek yang jauh lebih baik dari gue buat mendampingi cowok kaya dia."
"Tapi Ian cuma butuh cewek yang bisa menerima dia apa adanya tanpa status yang bakal dia terima nanti."
Indira lagi-lagi terdiam menatap Devian yang sedang mengobrol bersama Viana. Saat mata mereka bertemu pun, mereka sama-sama saling melempar senyum.
Tapi sepertinya gak bakal butuh waktu lama sih buat jatuh cinta sama dia.
To be continued.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!