Indira masih menyandarkan punggungnya dan membuang pandangannya ke luar jendela. Tetesan air hujan juga dengan setia menghiasi jendela kamar yang didesain khusus menyatu dengan sofa yang sedang dia duduki sekarang. Dan di rumah, ini merupakan spot yang paling disukai olehnya.
Pikirannya kembali lagi ke sosok tinggi, badan sedikit atletis yang menandakan kalau Devian suka berolahraga, dan gaya rambut undercutnya semakin menambah kemaskulinan Devian yang memang terlihat sangat cool. Kalaupun dia bukan seorang anak dari pengusaha sukses, dia tetap akan digandrungi cewek-cewek.
Selama mereka dekat, Indira tidak memungkiri kalau dia merasa nyaman berada di dekat Devian. Dan dia merasa Devian tidak pernah mengambil kesempatan lebih karena dekat dengan Indira sehingga Indira tidak pernah berpikiran kalau Devian juga menaruh hati terhadapnya, karena hati dan pikiran Indira sudah tertuju kepada Gilang.
"Iannn..!! Gue senang banget!"
Devian sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga karena mendengar suara histeris Indira sewaktu di telepon.
"Tumben, kenapa lo?" Jawab Devian datar.
"Gilang nembak gue, Yan."
Devian terdiam.
"Yan, lo dengar gue gak sih?"
"Iya gue dengar, terus hubungannya sama gue apa? Gak penting."
"Besok lo gue traktir ya."
"Gak perlu."
"Kok lo kaya gak senang banget gue jadian sama Gilang? Jangan bilang lo gak suka gue sama Gilang ya?"
"Memangnya cowok lo gak bakal bermasalah kalau lihat ceweknya dekat sama cowok lain?"
"Gue yakin sih gak, kaya gue yang gak keberatan dia dekat sama Lusi."
Lagi-lagi Devian terdiam.
"Besok lo bilang gue ya, mau makan apa dan dimana, gue yang traktir. Bye, Ian."
"Bye, Ndi." Devian mematikan ponselnya lalu terdiam menatap langit malam dari balkon kamarnya.
Lo tuh kaya langit, Ndi, terlihat dekat tapi gak bisa gue gapai. Dan gue butuh usaha makin keras buat menyembunyikan perasaan gue selama gue bisa selalu lihat lo bahagia.
Seorang wanita memasuki kamar Devian lalu mendapatinya sedang duduk di balkon kamar. Dia lalu menghampiri dan duduk di sampingnya.
"Kamu kenapa, Sayang?"
Devian tersadar lalu menoleh ke Kinar sambil tersenyum dan menggeleng perlahan. "I'm good, Mom." (Aku gak pa-pa, Ma.)
"Mama yang paling kenal kamu, Yan. Cerita sama Mama, kamu kenapa? Karena kamu kelihatan kaya lagi.. patah hati."
Sontak Devian tertawa. "Aku belum pernah pacaran Ma, jadi darimana mana Mama berpikiran aku patah hati?"
"Feeling saja sih, tapi benarkan?"
Devian menghela nafas. "Dia gak tahu kalau aku suka sama dia, dari pertama kali aku melihat dia, jadi aku gak menyalahkan dia kalau lebih suka sama cowok lain."
"Dia sudah pacaran sama cowok lain?"
"Tadi dia bilang ke aku kalau dia sudah jadian."
Kinar tersenyum. "Cinta itu harus diungkapkan sih, Yan, tapi kalau pada akhirnya kasus kamu seperti ini, kamu bisa dekat dengan dia dengan cara lainkan. Tanpa harus jadi pacar."
"Aku dekat kok sama dia, tapi apa iya, someday, kita gak bakal saling baperan, karena gak ada sejarahnya cowok sama cewek sahabatan. Dan aku khawatir kalau dia pacaran, cowoknya bakal gak suka sama kedekatan kita."
"Tapi seenggaknya kamu bisa menunjukkan perasaan kamu dari sana dulukan? Jodoh gak akan kemana-mana, Sayang. Mau serumit apapun jalannya, kalian pasti akan dipertemukan."
Devian terdiam menatap langit. Kinar mengelus kepala Devian.
"Jangan galau lagi ya, dan jangan tidur malam-malam."
"Gudnite, Ma."
"Gudnite, Sayang." Kinar keluar dari kamar Devian setelah mencium kepala anak semata wayangnya dan membiarkan Devian kembali dengan lamunannya.
***
Gilang menghentikan mobilnya di depan pagar sebuah rumah bergaya klasik minimalis berlantai 2. Di depan terasnya terhampar rerumputan hijau yang terawat dengan bermacam bunga beraneka warna yang terlihat cantik.
"Kamu mau mampir, Kak?"
Gilang tersenyum. "Aku langsung saja ya, sudah sore dan kamu pasti capek."
"Kalau gitu, kamu hati-hati ya. Makasih sudah mengantar aku."
"Iya, Sayang."
Indira tersenyum lalu keluar dari mobil. Gilang kembali menjalankan mobilnya dan Indira masih menatapnya sampai hilang dari pandangannya. Ponselnya pun berbunyi dan ada nama Devian di layarnya.
"Dimana lo?"
Indira tersenyum sambil berjalan masuk menuju rumahnya. "Baru sampai rumah, kenapa? Lo kaya takut banget Gilang gak mengantar gue sampai rumah."
"Gue malah khawatir dia yang gak bisa pulang karena kesasar."
Indira tertawa sambil meletakan tasnya di atas tempat tidur dan dia menuju sofa dan duduk di sana sambil menatap keluar jendela.
"Kunci pintu yang benar, kalau ada yang bertamu malam-malam cuekin saja."
"Siap, Bos. Kalau ada apa-apa, lo bakal jadi orang pertama yang gue repotin."
"Glad to hear that (Senang mendengarnya). Bye, Ndi."
"Bye, Ian."
Indira mematikan ponselnya sambil tersenyum. Semoga Gilang gak bakal bermasalah sama kedekatan kita, Yan. Karena gue gak bakal tahu harus memilih siapa antara lo atau Gilang.
***
Keesokan harinya, terlihat Indira, Viana, Farel dan Devian duduk di salah satu meja kantin yang siang itu tidak terlalu ramai sambil membahas sesuatu karena beberapa buku berserakan di atas meja.
"Kalau tahu Ekonomi rada buat pusing, gue mending ambil Bahasa Perancis saja kemarin."
"Gaya lo." Timpal Farel sambil mengacak rambut Viana yang duduk di sampingnya dan Viana pun tertawa. Indira dan juga Devian yang duduk di hadapan mereka hanya bisa tersenyum.
"Lo tulis semua istilahnya baru pengertiannya masing-masing."
Indira terlihat menulis sesuatu dan Devian kembali membaca buku yang dipegangnya sambil sesekali memberi instruksi kepada Indira. Viana dan Farel sesekali hanya bisa tersenyum melihat kedekatan Devian dan Indira tanpa mereka sadari, Gilang sedang menatap mereka dari sudut lain di kantin.
"Ndi, aku boleh tanya sesuatu?"
Indira menoleh ke Gilang yang sedang menyetir. "Boleh, Kak, tanya apa?"
"Kamu.. sedekat itu ya sama.. Devian?"
"Bisa dibilang, Ian sahabat aku sih, Kak. Dan mungkin juga karena kita satu kelas dan satu kelompok, jadi kamu lihatnya kita dekat banget."
"Spesial banget ya, sampai kamu panggil dia, Ian."
"Kamu cemburu sama dia?"
"Mana ada cowok yang gak cemburu lihat pacarnya dekat sama cowok lain."
"Tapi aku gak bermasalah kok kamu juga dekat sama Kak Lusi. Karena aku tahu, sebelum kamu kenal aku, kalian sudah dekatkan. Karena apa? Karena aku percaya banget kalau kamu gak akan macam-macam dibelakang aku."
"Tapi, Ndi.."
"Please, Kak. Aku tuh sayang sama kamu, dan aku bisa memposisikan diri aku sewajarnya sama Ian."
Gilang terdiam.
Indira mengelus pundak Gilang. "Aku cuma mau kamu percaya sama aku kalau aku gak mungkin mengkhianati kamu."
Gilang tersenyum lalu meraih tangan Indira dan digenggamnya. "Aku percaya sama kamu."
Indira pun tersenyum.
***
"Tuhkan benar." Indira meletakan segelas sirup jeruk dingin di meja lalu duduk di samping Devian. "Dia gak suka sama kedekatan kita."
"Wajar sih kalau dia cemburu. Emang kita sedekat itu ya, Yan?"
Devian mengangkat kedua bahunya sambil menyeruput minumannya. "Jujur sama gue, Ndi. Lo cemburu gak lihat cowok lo sama cewek lain?"
"Lusi maksud lo? Ya karena gue tahu mereka sudah dekat sebelumnya, jadi gue gak overthinking."
"Lo mau kita gimana?"
Indira terdiam.
"Lo mau kita pisah biar cowok lo gak overthinking sama gue?"
"Gue gak mau."
"Kalau gitu, kita jaga jarak saja ya. Di kampus saja, kalau gue lagi main sih, gue tetap bisa ngunyeng-ngunyeng kepala lo." Sahut Devian sambil mengacak rambut Indira.
"Rese lo."
Dan mereka pun asyik mengobrol sambil sesekali tertawa.
Gue gak akan mungkin mau pisah sama lo, Yan, karena gue nyaman banget sama lo.
Ini yang jadi ketakutan gue, Ndi, kalau suatu saat Gilang bakal menjauhkan kita. Dan lo lebih memilih dia.
To be continued.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments