Hilangnya Gairah Hidup.

"Dari mana saja kamu?!" tanya Mamanya begitu tegas. Bola mata Rania berputar, mencari-cari alasan yang cukup masuk akal. Jika dirinya ingin lehernya masih aman di kepala.

"Da-dari rumah te-teman, Ma–” jawab Rania terbata.

Dia meneguk ludah dengan susah payah. Tatapan mata Retno yang begitu tajam membuat Rania tak mampu Melanjutkan ucapannya.

Retno bukanlah Ibu yang mudah dikibuli oleh anak-anaknya. Rania saat ini seperti berhadapan dengan singa di dunia nyata. Salah sedikit saja, dia bisa kena terkam dan di mangsa.

Thalia sang adik berdiri di belakang sambil mengejek dirinya. Gadis mungil itu bersorak riang di dalam hati melihat kondisi kakaknya yang terintimidasi.

Jika kata orang memiliki saudara sesama perempuan akan jauh lebih menyenangkan ketimbang saudara laki-laki, karena bisa bertukar aksesoris atau bertukar pengalaman serta cerita.

Maka beda halnya dengan Rania dan Thalia. Mereka seperti dua kutub magnet yang saling dorong-mendorong saat didekatkan, seperti dua orang yang berada di sebuah kompetisi. Saling berebut menunjukkan siapa yang paling terbaik.

Thalia yang tidak terlalu cantik menganggap sang kakak egois, karena terlahir lebih sempurna dalam segala hal darinya.

Cantik, tinggi, putih dan pintar. Semua Rania borong jadi satu tanpa disisakan sedikit pun untuknya. Entah dari mana datangnya pemikiran konyol itu di benak Thalia. Apa yang tidak dia dapatkan semua karena Rania.

"Dari rumah teman. Kenapa ponsel kamu susah dihubungi? Astagfirullah al'azim Rania ... kamu ini anak perempuan! Tak baik anak perempuan tidur diluar rumah semalaman. Tanpa kabar dan tanpa berita seperti ini. Kamu mau buat Mama dan Papa jantungan, kamu benar-benar kelewatan sebagai seorang anak."

Mulai terdengar omelan panjang yang penuh dengan rentetan-rentetan kata-kata kramat. Seperti kereta api ekpress yang berjalan, berisik! Kuping Rania mulai serasa berdenging mendengarkan semua ocehan ibunya.

Rasanya Rania ingin berlari ke kamarnya dan langsung mengunci pintu kamar sekarang juga. Namun apa daya, singa betina yang ada di hadapannya ini pasti akan menerkamnya lebih dulu dan memotong uang jatah bulanannya jika dia berani kabur di saat mamanya belum selesai bicara.

Apalagi kalau sampai Retno menyita kunci mobil yang ada di tangannya saat ini. Bisa-bisa Rania hanya naik angkot untuk pergi ke kampus. Rania masih ingat dengan pasti, bagaimana Mamanya yang tegas menghukum dia untuk  menarik semua fasilitas yang dia nikmati kala itu.

Dari ponsel, TV, uang saku dan yang lainnya. Saat ia ketahuan membolos, senang sehari sakitnya sebulan. Sejak itu Rania menyesal. Hidupnya terasa di penjara yang terkekang.

"Kamu dengar Mama tidak Rania?!" sentak Retno lagi. Tampaknya dia belum puas untuk mengomel. Rania mengangkat kepalanya, sudut matanya melihat Thalia yang berjoget-joget di belakang Retno sambil mengejek dirinya.

"Dengar Ma, dengar. Aku dengar kok apa yang Mama bilang. Tapi anak kesayangan Mama yang ada di belakang itu yang membuyarkan lamunanku," tunjuk Rania pada adiknya yang asik berjoget mengejeknya. Hatinya kesal namun tak dapat berbuat apa-apa saat ini.

Thalia langsung terdiam saat pandangan sang Mama kini berbelok ke arahnya. Dia tersenyum canggung sambil memamerkan gigi putih tersusun rapi miliknya.

"Piss Ma, jangan Marah sama aku," Thalia mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V.

"Sama Kakak saja, Mama benar. Perempuan itu nggak boleh nginap diluar ramah tanpa izin orang tua. Jika ada apa-apa bagaimana? Iya kan Ma," dalih gadis manis itu.

Dia mulai mengingatkan kembali Mamanya tentang kesalahan sang Kakak. Bu Retno mengalihkan kembali pandangan matanya. Betapa terkejutnya dia saat putri sulung yang dia omel sudah menghilang dalam pandangan mata.

Rania lebih memilih kabur dari pada harus di hadapkan dengan ocehan sang Mama. Rania menganut prinsip diam adalah emas saat berhadapan dengan Ibunya. Dari pada dia di kutuk jadi ikan cupang. Kan repot!

Setelah kabur dan sampai ke kamar dengan selamat. Rania mengunci pintu kamarnya dengan rapat. Berbaring di atas ranjang sambil memandang langit-langit kamar yang dia tempel stiker berbentuk bintang yang bercahaya saat gelap.

Untung saja, sebelum pulang Rania mandi dan mengganti pakaiannya lebih dulu. Jika tidak, mungkin dia akan mendapatkan omelan yang lebih ekstrim lagi dari pada tadi.

Di villa itu terdapat lemari yang berisi penuh pakaian wanita. Karena Lili kerap menginap di villanya saat akhir pekan.

Jangan pernah sendiri, karena saat sendiri jiwa yang kuat akan rapuh. Kesedihan yang telah terkubur akan terkenang kembali.

Rania kembali menangis. Apa dia lemah? Sebegitu rapuhkah dia?

Rania sedang menghabiskan air matanya, saat nanti dia bertemu Bara kembali, tak ada lagi alasan dirinya untuk menangis. Tak ada lagi alasan untuknya sakit hati.

Senja sudah muncul di ufuk cakrawala sebelah barat. Mendampingi matahari untuk pulang ke peraduan. Membiarkan sang rembulan beralaskan gelap malam yang di tabur gemerlap bintang. Malam ini cuaca tampak cerah sekali.

Denting sendok saling beradu. Aroma aneka masakan yang terhidang di atas meja menggoda indra penciuman. Semua yang ada di meja makan pun makan dengan lahapnya. Kecuali Rania. Gadis itu tampak mengaduk-aduk makanannya tak berselera.

Thalia yang sedang menyuapkan nasi ke dalam mulutnya menatap sang Kakak heran. Salah satu alisnya terangkat.

"Kenapa dia? Tumben banget ekspresinya seperti itu. Sakit gigi, kah? Eh ... tunggu, kalau sakit gigi mah dia uring-uringan bukannya seperti orang yang baru dicabut nyawanya," batin Thalia bertanya.

Retno yang duduk di samping suaminya pun ikut melihat ke arah putrinya. Raut wajahnya pun juga sama bingungnya dengan raut wajah Thalia.

"Kamu kenapa, Nia? Apa makanannya tidak enak?" tanya Retno lembut.

"Tidak, Ma! Enak kok," Rania langsung menyuapi makanan itu ke dalam mulutnya. Mengunyahnya perlahan, bahkan balita berumur satu tahun saja lebih cepat menggerakkan mulutnya dibandingkan dirinya.

"Apa kamu tak sehat badan?" timpal Papanya. Lagi-lagi gadis itu menggelengkan kepala.

"Tidak kok, mungkin karena lagi sariawan saja. Makannya nggak bisa makan dengan nyaman," ujarnya berbohong dan thalia tahu akan itu.

Gadis bertubuh mungil itu cukup tahu bagaimana persis tentang kakaknya. Kapan Rania merasa tak nyaman dan kapan Rania tak suka akan sesuatu hal.

Bisa dibilang Thalia ada  secret admirer Rania. Gadis itu mengagumi semua yang ada pada kakaknya tapi dia juga membenci Rania di saat yang bersamaan.

Thalia menyukai apa yang Rania suka, apa yang Rania pakai dan apa yang Rania beli. Thalia suka semua yang melekat di tubuh kakaknya.

Rania mulai tak nyaman. Dia menutup sendok yang digunakan di atas piring. Nasi yang dia ambil sedikit itu pun masih tersisa setengahnya.

Jika ada lagu yang berbunyi lebih baik sakit hati, daripada sakit gigi. Maka orang itu bohong, karena keduanya sakit, tak ada enaknya. Bikin tak selera makan.

"Ma–pa, aku sudah selesai. Aku duluan ke atas, ya. Ada tugas makul yang belum aku selesaikan," ujarnya.

Walaupun heran melihat perubahan sikap putri sulungnya malam ini. Namun Papanya hanya diam dan mengizinkan.

"Ada apa dengannya?" tanya Martin pada istrinya.

"Paling putus cinta, Pa. Kan semalaman Kak Rania gak pulang ke rumah," adu Thalia. Dia menikmati makanannya dengan santai.

"Apa? Rania tidak pulang ke rumah?" ujar Martin kaget. Intonasi suaranya terdengar meninggi.

Thalia tersenyum tipis penuh kemenangan melihat amarah di wajah papanya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!