"Sampai kapan kamu mau menangis begitu? Nggak sayang sama tu mata. Sudah merah, bengkak lagi,” tegur Liliana iba.
Satu jam lebih Lili diam menampung semua keluh kesah Rania agar wanita itu bisa sedikit lebih tenang.
Selain sebagai pendengar yang baik. Wanita cantik bertubuh tanggung itu juga memiliki mulut yang tajam dan pedas, walau dia cukup paham kapan harus bersikap seperti itu dan kapan harus diam.
"Dari pada nangis, mending kamu dandan dan pergi hang out. Masih banyak cowok tampan dan mapan di dunia ini. Bukan cuma Bara saja. Lagian nih, ya ... kamu itu cantik, bukan kamu yang rugi ditinggalin. Tapi pria cabul itu! Bego banget sih!" umpat Lili kasar.
Liliana kesal setiap menyebut nama Bara tetapi dia lebih kesal lagi melihat Rania yang cengeng dan terus menangis hanya karena cinta. Seakan dunianya sudah runtuh saja karena ditinggal lelaki tersebut.
Lili cendrung selalu mengatakan sesuatu secara blak-blakan, membuat orang yang baru mengenal dirinya akan tersinggung dan salah paham. Namun walaupun sifatnya begitu. Rania bisa bersahabat baik dengan Lili yang menurut Rania jujur dan tidak bermuka dua.
“Mau gimana lagi, ini air mata nggak mau berhenti dengan sendirinya. Sudah dihapus masih aja turun lagi,” dalih Rania bagai bocah polos.
Lili ingin tertawa mendengar penuturan gadis itu yang terdengar begitu menggemaskan. Tapi sekuat hati dia tahan. Begitupun dengan lelaki yang duduk di belakang Rania.
Kupingnya menajam mendengarkan perbincangan mereka yang menarik perhatiannya sedari tadi. Saat ini dua wanita itu berada di sebuah Cafe milik Lili. Mereka berdua duduk di bangku yang paling pojok.
Sandaran kursi beberapa baris di bagian belakang ini memang dibuat agak tinggi. Agar ada kesan sekat antara meja satu dan meja yang lainnya, untuk memberi kesan privasi bagi sebagian pengunjung yang ingin berbicara empat mata atau saling bercerita dengan sahabatnya tanpa takut di awasi oleh orang lain.
“Kamu juga jadi perempuan itu jangan bego-bego amatlah ... cinta boleh tapi jangan cinta mati. Jadinya gini, saat cinta hilang, bodoh kamu abadi! Sekarang repot sendiri, kan. Mana yang kamu cinta pria semacam itu lagi. Itu mata diciptakan untuk melihat dengan jelas. Jangan merem saja!” balas Lili tajam.
Rania kembali menangis tanpa suara, bukan hanya sakit diduakan Bara, tapi juga sakit hati karena perkataan Lili.
“Jahat banget sih, Li. Teman lagi sedih malah dibego-begoin. Hati kan nggak bisa memilih pada siapa dia mau berlabuh,” dalih Rania tergugu.
Rania mengambil tissue di atas meja untuk mengusap air matanya yang mengalir membuat matanya bengkak kembali menciptakan cekungan kawah hitam yang dalam.
“Nggak usah berpuitis deh, Lo. Makanya mau aja dikadali buaya darat. Dari awal aku tu sudah bilang sama kamu, pacaran itu cari yang sebaya aja. Jangan yang lebih tua kalau kamu belum siap. Pikiran pria dewasa itu pasti tak jauh-jauh dari bagian bawah."
Lili emosi. Rania yang mengalami tapi dia yang kesal setengah mati, ingin rasanya memukul wajah Bara saat itu juga andai lelaki itu ada di hadapannya saat ini.
“Nggak semua pria dewasa gitu. Lagi pula aku pikir, jika berhubungan dengan pria yang lebih dewasa. Bisa lebih mengayomi dan memanjakan aku dengan kasih sayang,” jelas Rania.
Hatinya kembali sakit jika terus mengingat hal itu. Dia kembali mengambil tissue untuk mengelap hidungnya yang berair.
“Dasar dia saja yang brengsek,” ucapnya kembali pilu.
Lili menghela napas berat, mengambil gelas yang berisi minumannya dan meminumnya hingga tandas. Lelaki tidak setia dan wanita bucin. Dua kombinasi yang memusingkan kepala jika dihadapkan pada posisi yang sama seperti saat ini.
“Jadi sekarang kamu maunya bagaimana?” tanya Lili akhirnya.
Dia berusaha melembut. Walau sebenarnya hatinya Lili masih geram.
Rania yang dia kenal adalah gadis yang tegas dan ceria. Dapat menunjukkan keanggunan dan keangkuhannya saat ada yang merendahkan dirinya. Tapi saat ini, gadis itu bagai seekor anak itik yang menangis terciap-ciap karena ditinggalkan oleh induknya.
“Sudah jangan nangis terus! Apa kamu mau menangis sampai pagi seperti ini. Ikut aku, aku akan mengajakmu ke suatu tempat untuk melepas kesedihanmu. Tapi kamu harus janji padaku. Setelah matahari terbit esok pagi. Lupakan Bara dan nikmati hidupmu yang baru. Memangnya kenapa jika tak ada Bara? Kamu cantik, masih banyak pria tampan dan mapan diluaran sana yang bisa kamu jadikan kekasih hati."
"Memangnya mau kemana?"
"Gak usah banyak tanya, ikut saja!" ajak Lili.
Rania mengangguk patuh. Memang yang dibutuhkannya saat ini adalah hiburan untuk dia bisa melupakan Bara sejenak.
Jika waktu sepertiga malam banyak digunakan orang untuk melakukan ibadah agar doa mereka bisa cepat diijabah. Namun berbeda dengan apa yang dilakukan dua gadis itu.
Lili mengajak Rania ke sebuah rumah yang ada di pinggir pantai. Sebuah villa kecil miliknya yang dia beli dari jerih payahnya sendiri. Bagian belakang villa itu langsung menjorok ke pantai. Hembusan ombak yang begitu kencang menyapu wajahnya yang putih dan cantik.
Kedua wanita itu duduk manis di teras balkon yang berada di lantai dua. Kamar yang selalu Lili tempati saat dia menenangkan diri di Villa tersebut.
“Nih minum! Jangan melamun terus, nanti kesambet baru tahu rasa!” Lili menyodorkan sebuah gelas kecil yang berisi cairan merah dari botol yang dia pegang.
“Alkohol?!” tanya Rania ragu.
“Hmm ... jangan bilang kamu nggak pernah meminumnya?” ucap Lili mengejek.
Rania menerima gelas itu sambil menggelengkan kepala. Seumur hidupnya, dia memang tidak pernah mencicipi benda haram itu.
Rania memang terkadang bersikap pemberontak tapi tak pernah melakukan hal-hal yang diluar batas. Berbeda dengan Lili yang terbiasa hidup mandiri sejak kecil.
Di umurnya yang masih muda, Lili berhasil menjadi seorang pengusaha muda dan membiayai hidupnya sendiri. Memiliki beberapa cabang kafe yang tersebar di beberapa daerah.
Kedua orang tua Lili hidup berpisah sejak dia kecil. Membuat Lili yang manis kekurangan kasih sayang dan hidup dengan Neneknya saja. Sejak neneknya meninggal dua tahun yang lalu. Kini LiLi hidup sebatang kara.
Rintik-rintik kecil hujan jatuh. Hembusan angin bersatu dengan ombak berhembus begitu kencang. Suara ombak bagai alunan musik sedih yang menemani mereka berdua malam ini.
“Cobalah! Selama ini cairan itu cukup membantuku saat aku mengalami masalah atau kesedihan yang tak dapat aku bagi dengan orang lain. Aku akan minum dan memandangi ombak yang berkejaran. Berharap rasa sakit dan kesepianku pergi terseret ombak yang datang,” ucap Lili terdengar sedih.
Suaranya mulai serak. Namun dengan cepat dia menenggak habis cairan merah yang ada di tangannya.
Rania mulai mencoba apa yang Lili lakukan. Menuangkan cairan merah itu ke dalam mulutnya dengan mantap. Saat cairan itu mulai masuk ke dalam tenggorokannya.
Rania merasakan pahit sejenak yang disusul rasa panas yang menjalar di kerongkongannya. Tubuhnya yang tadi dingin diterpa angin ombak mulai terasa menghangat.
Rania tak begitu familiar dengan rasa minuman itu,tetapi sensasi yang disebabkan oleh minuman itu mulai membuatnya menikmati dengan perlahan.
Setidaknya kini dia bisa sedikit melupakan segala kecewa yang hadir di hatinya.
Rasa kecewa terkadang hadir karena kita terlalu percaya, memberikan segenap hati untuk orang yang tak mampu menjaga. Jika tahu rasanya akan sesakit ini, maka Rania akan memilih untuk tidak memberikan hatinya pada orang lain. Dia akan menjaga hatinya sendiri, agar dirinya tidak perlu merasakan sakit yang membuat raganya seakan tak mampu bergerak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Mukmini Salasiyanti
kok alkohol sih??
2024-08-22
0
Susi Akbarini
lili memang sahabat baik..
tapi sebaiknya tidak kasih alkohol...
❤❤❤❤❤
2024-03-10
1