Sensasi yang tidak pernah Rania rasakan. Semakin membuatnya tergoda. Dada yang hangat, tubuh yang seakan terasa ringan. Dia mulai merasakan tubuhnya melayang. Beban yang ada di hatinya seakan terangkat.
Rania menyodorkan kembali gelasnya pada Lili. Meminta satu gelas lagi untuk kembali dia nikmati.
Minuman itu seperti candu. Semakin diminum semakin nikmat. Tubuhnya meminta lagi dan lagi. Mereka berdua menikmati setiap tetes cairan merah yang masuk ke dalam kerongkongan.
Bibir merah dua gadis itu terlihat begitu menggoda. Untung saja saat ini hanya ada mereka berdua tengah menikmati terhanyut dalam sensasi panas terbakar oleh minuman yang mereka teguk.
"Apa kamu pernah patah hati, Lili?" tanya Rania penasaran memulai percakapan. Dia mulai mengorek tentang kehidupan pribadi sahabatnya yang selama ini ditutup rapat darinya.
Walau mereka dekat sebagai sahabat sejak pertama kali mereka masuk kuliah. Namun Rania tak tahu banyak tentang kehidupan sahabatnya secara menyeluruh. Terutama tentang percintaan. Lili cendrung tertutup terhadap lelaki.
Lelaki yang dekat dengannya pun bisa di hitung pakai jari. Kebanyakan dari lelaki itu bagi Lili hanya sebatas hubungan senang-senang semalam saja. Entah apa yaang mereka lakukan berdua. Rania tidak tahu. Gadis itu begitu polos dan naif soal hal yang begituan.
"Pernah, bahkan lebih sakit dari yang kamu rasakan," jawab Lili jujur. Dia mulai mau terbuka.
"Seberapa sakit? Maukah kamu berbagi denganku?" pinta Rania.
Lili menatap Rania dalam dan kemudian menghela napas berat. Tangannya meletakkan botol yang dia tuang dan kini tinggal sedikit itu ke sebelah tubuhnya. Sebagian isi dalam botol itu lebih banyak berpindah di lambung Lili dibandingkan dengan Rania.
"Sangat perih, jika kamu menjadi aku. Aku tak yakin kamu akan kuat menahannya," jelas Lili.
Rania merenggut masam mendengar ucapannya yang seakan meremehkan dirinya. Tubuh kedua wanita itu mulai sempoyongan, bahkan untuk menegakkan kepala saja mereka memerlukan sebuah media untuk bersandar.
Lili mulai menceritakan kisah hidupnya di masa lalu. Bagaimana dirinya yang dulu adalah gadis kecil yang begitu disayang dan dimanja.
Secepat ombak yang menerpa dan menggulung bebatuan, hingga membuat posisinya terbalik menjadi gadis kecil yang dibuang dan ditelantarkan.
Kedua orang tuanya bercerai. Memiliki pasangan hidup mereka masing masing dan membangun keluarga kecil yang bahagia, tentu saja tanpa dirinya. Tanpa Lili kecil yang selama ini mereka sayang.
Mendengarkan kisah Lili yang cukup panjang dan berliku serta pahit membuat Rania kembali menitikkan air matanya. Dia bersyukur masih memiliki orang tua yang lengkap.
Orang tua yang selalu memberikan kehangatan serta rumah tempat ia kembali.
Terkadang kita terlalu mudah mengambil kesimpulan bahwa penderitaan yang kita alami adalah ujian yang paling berat.
Mengeluh dan menggerutu. Padahal sesungguhnya, masih banyak orang yang mengalami lebih sakit lagi, tapi masih tetap berusaha untuk semangat hidupnya.
Semilir ombak pantai kian menerpa. Langit yang begitu gelap kini mulai perlahan bewarna abu-abu terang. Menandakan bahwa sebentar lagi sang surya sedang bersiap-siap untuk memamerkan keangkuhannya.
"Ayo masuk! Lihat rintik hujan mulai turun!" ajak Lili. Dia mengadahkan tangannya untuk merasakan percikan hujan yang begitu kecil.
Lili berdiri kemudian menyeret tubuhnya masuk dengan terseok-seok karena tubuh yang terasa berat. Alkohol membuatnya kehilangan tenaga tetapi nyalinya begitu kuat.
Begitu pun Rania. Gadis bersurai panjang itu masuk dan langsung berbaring di atas ranjang begitu saja. Tanpa menutup pintu balkon yang terbuat dari kaca itu terlebih dahulu.
~~
Rinai hujan jatuh begitu deras pagi ini. Udara yang dingin membuat gadis cantik itu masih tetap bergelung manja di bawah selimutnya yang tebal. Bengkak di mata akibat semalaman menangis juga membuat mata bulat dengan bulu mata lentik itu enggan terbuka.
Deburan ombak yang begitu kencanglah yang membuatnya terjaga. Rania baru sadar jika saat ini dirinya sedang tidak berada di kamarnya seperti biasa dia bangun setiap paginya.
Pintu balkon kaca yang sedari tadi terbuka membuat angin pantai masuk menyapu tirai putih yang menutupi menjadi bergoyang-goyang.
Tak ada siapa pun di kamar ini. Hanya ada dia yang dalam keadaan kacau balau. Rania bangkit dari tidurnya. Menyenderkan kepalanya pada senderan ranjang.
Sebelah tangannya memegang kepalanya masih berdenyut nyeri dan terasa berat. Jika tahu efek dari alkohol akan seperti ini. Mungkin Rania tak akan pernah mau menikmati benda terkutuk tersebut.
"Lili! Bisa tolong ambilkan aku air. Tenggorokanku sakit sekali!" pinta Rania sedikit menjerit dengan suaranya yang serak. Tenggorokan yang kering membuat dia kehausan. Tapi tak ada sahutan dari wanita yang dia panggil menghampiri. Sunyi dan sepi.
"Lili?!" teriaknya lagi. Lagi-lagi tak ada suara balasan. Gadis itu mengedarkan matanya. Pandangan matanya menatap secarik kertas kecil yang menempel di atas nakas yang ada di sebelahnya. Jari rampingnya menggapai kertas tersebut dan membacanya.
'Aku pergi dulu, ada urusan yang harus aku kerjakan. Jika kamu mau sarapan, minta saja pada pengurus Villa. Maaf tak membangunkanmu. Kau tidur seperti orang mati.' tulis wanita itu.
Rania tertawa geli. Dia seperti pasangan yang ditinggalkan setelah malam panjang mereka saja.
"Dasar Lili sialan!" umpatnya seorang diri.
Pukul tiga sore akhirnya Rania pulang ke rumah. Dia mengendap-endap bagaikan pencuri memasuki rumahnya sendiri, melalui bagasi menuju tangga belakang. Semalaman tak pulang membuat dia yakin akan diomel habis-habisan oleh orang tuanya. Apalagi sang Mama yang begitu over protective padanya.
Rania berjalan perlahan sambil melirik kekiri dan kekanan. Bagai seorang pencuri amatiran yang muncul di siang hari. Bunyi langkah kakinya dibuatnya sepelan mungkin.
Biasanya sore segini, Bu Retno ada di taman belakang sedang membelai tanaman kesayangannya. Atau memanen aneka sayuran ataupun menanam bibit tanaman baru.
Sedangkan Thalia, jika tidak masih di kampus paling gadis itu sedang hangout atau mungkin bermalas-malasan di kamarnya.
“Rania Ivory Malvinia!” teriak sebuah suara mengagetkan Rania. Membuat langkah kakinya terhenti. Tubuhnya menegang dan terdiam di tempat. Rania mencoba menenangkan hatinya, lalu memutar tubuhnya menatap sang Mama yang sudah melipat tangan di dada dengan tatapan tajamnya.
Degh.
Jantungnya berdetak cepat. Ada kekhawatiran yang terselip di hatinya. Bukan takut dipukuli seperti anak kecil. Tapi Rania takut semua fasilitas yang dia miliki dicabut. Dia tak semandiri Lili, Rania murni beban keluarga penikmat harta orang tua.
"Eh ...ada Mama. Habis dari kebun mini, Ma. Banyak panen sayurannya, Ma?" tanya Rania berbasa-basi.
Wajah Bu Retno memerah, seperti pengawas asrama yang sedang memarahi anak didiknya. Retno menyipitkan matanya, menelisik putrinya dari ujung rambut hingga ujung kepala. Bu Retno juga mendekat pada Rania. Membuka sedikit kerah gaun berpotongan kemeja bagian atas, tanpa lengan yang dikenakan anak gadisnya.
Mencari sesuatu di sana, namun kemudian langsung bernapas lega. Saat apa yang dia cari tidak dia temukan. Dahi Rania berkerut, dia sedikit tersinggung dengan sikap Mamanya yang over protective dan sedikit berlebihan ini.
"Mama apa-apaan sih? Seperti apa saja diperiksa seperti ini. Kenapa bajuku dibuka-buka seperti ini!" protes gadis itu kesal.
Bu Retno mencubit lengan putrinya cukup kencang hingga meninggalkan warna kemerahan dan sedikit lebam di sana. Rania meringis kecil, mengusap lengannya yang terasa perih.
"Sadis banget jadi Ibu, nggak ada manis-manisnya menyambut anak pulang," gumam Rania hanya di dalam hati.
Tak berani dia keluarkan. Jika tidak jatah bulanannya akan dibabat habis oleh Retno yang tegas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Susi Akbarini
😀😀😀😀😀❤❤❤❤
2024-03-10
1