3. PYTD

Keheningan seketika tercipta di antara keduanya. Bagas mendekati Lea lalu memeluk erat sang istri.

“Kenapa kamu berkata seperti itu?” bisik Bagas.

“Anggap saja itu sebagai balas budiku padamu. Sebagai seorang wanita, aku sangat mengerti perasaan Mbak Melissa. Diduakan itu nggak enak, Mas. Ketahuilah, nggak ada wanita yang rela dimadu, apalagi kamu menikahiku tanpa seizinnya kala itu.”

Lea mengurai dekapan Bagas. Ia kemudian kembali berbaring karena merasakan kepalanya masih terasa pusing.

Sedangkan Bagas hanya memandangi Lea yang kini kembali memejamkan mata.

‘Tubuhnya panas banget, apa dia belum pernah ke dokter?’ batin Bagas tanpa mengalihkan tatapannya pada Lea.

“Istirahatlah, jika kamu membutuhkan sesuatu panggil saja aku,” saran Bagas lalu membelai pipi Lea.

Gadis itu hanya mengangguk pelan tanpa membuka kedua matanya.

Bagas beranjak dari ranjang lalu menuju ruang ganti pakaian. Setelah membersihkan diri, ia lanjut melaksanakan shalat dhuhur kemudian turun ke lantai satu.

“Nak Bagas,” sapa bik Yola saat Bagas menghampirinya di dapur.

Pria itu mengukir senyum lalu duduk di kursi yang kosong. Menatap makanan yang telah ditata dengan rapi di atas meja makan.

“Mah, apa Lea sudah makan?”

“Sudah, Nak, dan sudah minum obat juga. Mudahan-mudahan akan ada perubahan. Sebenarnya pagi tadi kami baru pulang dari rumah sakit.”

“Rumah sakit?” Kening Bagas berkerut tipis sekaligus terkejut. “Berapa hari Lea dirawat di rumah sakit? Kenapa Mama nggak memberitahu?!” cecar Bagas sedikit kesal. Ia lalu menghela nafas kasar.

“Nak Lea nggak sampai dirawat inap. Dia hanya berobat saja. Itu pun mama dan paman Saleh yang memaksa karena dia enggan ke dokter. Mama khawatir dia kena demam berdarah. Tapi, Alhamdulillah kata dokter dia demam biasa saja,” jelas mama Yola sambil menunduk.

Bagas hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar penjelasan Bik Yola. Sedetik kemudian ia memijat kening turun ke pangkal hidung.

‘Lea, ternyata dia keras kepala juga.’

.

.

.

Ba'da isya ....

Bagas yang sejak tadi berada di ruangan kerja, menghentikan gerakan jemarinya dari mouse juga keyboard laptop.

Melepas kacamata yang bertengger di hidungnya lalu bersandar di kursi kerja. Pikirannya kembali terusik mengingat ucapan Lea siang tadi.

“Apa maksud Lea berkata seperti itu? Apa setelah melahirkan dia akan menggugat cerai? Nggak ... nggak ... ini nggak boleh terjadi,” gumam Bagas merasa getir. Ia kemudian beranjak dari kursi lalu meninggalkan ruangan kerja menuju kamar Lea.

Alisnya seketika bertaut saat mendapati sang empunya kamar tak berada di tempat.

Namun, saat mendengar gemericik air dari dalam kamar mandi, sudut bibir Bagas seketika melengkung.

Ketika akan menghampiri ranjang, ekor matanya tak sengaja tertuju ke arah ponsel milik Lea di atas meja. Karena penasaran, ia pun mengambil benda itu.

“Nggak terkunci?” gumam Bagas sesaat setelah menggeser layar ponsel. Yang pertama ia buka adalah galeri foto.

Kekecewaan seketika menyelimuti dirinya ketika mendapati foto-foto Panji yang masih tersimpan apik di galeri itu.

“Apa kamu masih berharap pada pria ini!” ucap Bagas dengan perasaan geram disertai rahang yang mengetat.

“Mas!”

Suara yang menyapa gendang telinga Bagas, seketika membuat pandangannya beralih kepada Lea.

Bagas kembali meletakkan ponsel Lea di tempat semula. Sedangkan sang pemilik benda pipih hanya geleng-geleng kepala memandang Bagas.

“Apa yang ingin kamu ketahui dari benda itu, Mas? Nggak ada rahasia di dalamnya.”

“Apa kamu sudah merasa baikkan? Siang tadi aku merasakan hawa tubuhmu panas banget,” tanya Bagas dengan nada dingin sembari menghampiri Lea.

“Alhamdulillah, sekarang aku merasa jauh lebih baik, Mas. Hanya saja kepalaku masih terasa pusing,” tutur Lea kemudian akan melangkah. Namun, dengan cepat Bagas menahannya.

“Mas, kamu membatalkan wudhu ku!” Lea menjadi kesal.

“Wudhu lagi, apa susahnya,” sahut Bagas seraya mengarahkan Lea mundur ke belakang sehingga punggung sang istri menempel tepat di pintu kamar mandi.

“M—mas, mau apa kamu?” Dengan wajah getir Lea menahan dada Bagas. Ia paling benci berada di situasi seperti saat ini. Hal sama yang dilakukan Bagas sebulan lalu, sebelum ia ikut dalam penerbangan menuju Rusia.

“Meminta hakku yang sering kamu tolak!” Tatapan tajam mengintimidasi dari Bagas membuat Lea memejamkan mata tak sanggup menatap iris sang suami.

‘Maafkan aku, Lea. Aku sama sekali nggak bermaksud menyakitimu. Aku benci pria yang masih bertahta di hatimu itu!’ batin Bagas dengan rahang mengetat tak kalah mengingat sosok Panji.

“Maaf, aku nggak bisa, Mas,” tolak Lea dengan suara lirih.

“Maaf, aku nggak bisa, Mas?” Bagas mengulangi kalimat itu. “Bukan jawaban itu yang aku inginkan!” balas Bagas tegas lalu mengetatkan rahang.

Seolah tak peduli dengan kondisi Lea yang baru saja membaik, Bagas langsung menggendong paksa sang istri.

Membawanya menuju ranjang lalu menghempas tubuh mereka ke atas benda empuk itu. Dengan cepat Bagas melepas handuk yang melilit ditubuh Lea.

“Mas, hentikan!”

“Aku suamimu! Kenapa kamu sering menolak berhubungan denganku! Apa aku kurang perkasa?! Nggak membuatmu puas?! Katakan!” bentak Bagas merasa sangat kesal, meski di sisi lain ia tak tega membentak juga memperlakukan Lea dengan kasar.

“Karena aku nggak mencintaimu, Mas!”

Deg!

Dalam kungkungan Bagas, Lea kini bergeming. Sepasang mata gadis itu mengalirkan kristal bening. Bentakan sang suami membuat sekujur tubuhnya membeku.

Melihat tetesan air mata Lea, Bagas kembali merasa bersalah. Ia menyeka tetesan bening itu lalu membenamkan bibirnya yang lama di kening wanitanya.

“Maafkan aku,” ucap Bagas sembari membelai wajah Lea. Tatapan tajam tadi kini berubah menjadi sendu penuh harap. “Aku menginginkanmu, Lea.”

“Mas ....” Lea kembali menahan dada suaminya dengan wajah memelas. “Pulanglah dan lakukan dengan Mbak Melissa,” pinta Lea dengan suara tercekat.

Penolakan Lea kembali membuat Bagas emosi merasa frustasi. Tak ingin ada penolakan lagi, ia tetap memaksa Lea. Sehingga pergumulan itu pun terjadi di bawah kendali Bagas.

Sedangkan Lea bak sebuah boneka dengan tatapan kosong. Sesekali ia meringis sambil memejamkan mata disertai buliran bening yang ikut berjatuhan.

Setelah menuntaskan hasratnya, Bagas tetap berada di atas tubuh sang istri seraya berbisik, “Terima kasih, Lea. Maafkan aku karena tetap memaksa.” Ia mendaratkan kecupan di kening juga bibir Lea.

Diam seribu bahasa dipilih Lea. Air matanya terus menetes. Begitu Bagas berbaring di sampingnya, ia memilih merubah posisi membelakangi suaminya.

Selang beberapa detik kemudian, tanpa sepatah kata pun Lea bangkit dari tempat tidur kemudian menuju ke kamar mandi. Sedangkan Bagas hanya bisa menatap nanar sang istri hingga menghilang dari pandangan mata.

“Lea, maafkan aku,” ucap Bagas dengan lirih.

.

.

.

Di kediaman Bagas, Melissa yang sejak tadi mondar-mandir di kamar, merasa sangat jengkel. Bukan tanpa alasan, sejak meninggalkan kantor Bagas, ponsel sang suami tak bisa dihubungi.

“Argh! Menyebalkan!” Melissa membanting ponselnya ke atas kasur lalu berkacak pinggang. “Apa dia pergi ke rumah perempuan itu!”

Ia mengarahkan pandangan ke jam dinding yang kini sudah menunjukkan jam sebelas malam. Membayangkan suaminya sedang bergumul dengan Lea saja, ia merasa frustasi.

Takut kalau-kalau Lea hamil dan otomatis ia akan diabaikan. Melissa mengepalkan kedua tangannya.

“Aku nggak akan membiarkan kamu hamil dari Bagas. Pokoknya nggak boleh! Jika itu terjadi maka aku nggak segan-segan berbuat sesuatu!” ucap Melissa dengan perasaan geram.

...----------------...

Terpopuler

Comments

Masfaah Emah

Masfaah Emah

emang laki2 klau udah punya yg baru lupa yg lama 🤭

2024-05-26

0

YuWie

YuWie

maaf mu hanya di bibir saja gas bagas..perlakuanmu gak menghargai lea.

2024-04-27

0

Bu Kus

Bu Kus

wah kata susah hamil apa iya ya

2024-04-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!