NovelToon NovelToon

Memori Kelabu

Keping ke-1

Tanpa sadar, ada getar sekaligus senyum yang melengkung di bibir Amira. Apa yang dilihatnya memang tidak salah. Sosok yang berdiri di panggung itu memang Vian, yang tampil fokus namun tetap terlihat cool dengan bass yang tersampir.

Ya, Vian Frediansyah. Pemuda jangkung yang entah sejak kapan memiliki potongan rambut ala Harajuku yang diwarna sedikit kecoklatan. Pemuda itu makin menarik. Kalau masalah tampan, Vian memang memiliki porsi yang lumayan, meski dulu Amira tak pernah menyadarinya. Bagaimana bisa Amira menyadarinya? Vian dulu tak lebih dari seorang pemuda lugu. Tiap hari hanya mengenakan kemeja bergaris atau kotak-kotak lengan panjang.

“Mereka semua tampan.” Venus menyodok lengan Amira. Yang hanya direspon dengan bola mata yang memutar oleh Amira. Sepertinya ini bukan saatnya membahas mahasiswa-mahasiswa peserta band beraliran J-Rock itu. Amira dan Venus datang ke sini demi meliput acara untuk media berita online iNewsia, tempat mereka bekerja. Tapi, bisa jadi rencana awalnya memang meleset sejak Amira menangkap sosok Vian.

Mendadak ada rasa sesak di dada Amira. Rasa yang membuat gadis itu reflek mencengkeram bagian depan bajunya. Wajah Vian yang tampak lebih segar memang membuat Amira merasa lebih lega, tapi itu tidak membuat kesedihan itu pergi begitu saja. Masa lalu terus saja menjadi beban pikirannya.

Nyaris genap satu tahun Amira tidak melihat sosok itu lagi. Banyak perubahan pada diri pemuda itu. Barangkali, Vian yang dulu terlalu pemalu untuk bisa naik ke panggung besar seperti ini. Kuper dan membuat Amira tak jarang melontarkan maki. Si pengecut lah, si letoy lah… Amira hanya mengurut kening jika ingat perlakuannya pada Vian di masa lalu.

“Hey, kenapa kita malah sibuk nonton perform mereka? Bukannya ambil gambar buat artikel kita…”

Amira baru tersadar dari lamun setelah sekali lagi Venus menyodok lengannya. Kamera DSLR milik kantor masih menggantung di leher Amira. Dengan sigap, ia meraih kameranya, menyorot satu titik yaitu pemuda dengan kaos putih longgar dengan lambang L di bagian depan, Vian. Hanya Vian. Tanpa member yang lain.

Tugas meliput acara festival Bunkasai di kampus UNISMA itu tidak akan ia sia-siakan. Hari ini, dan esok akan jadi hari tersibuk.

Sejenak Amira mengamati hasil jepretannya. Sudut bibirnya melengkung ke bawah, kurang puas setelah melihat hasil jepretan di layar kameranya. Gadis itu kembali menyorotkan kameranya ke arah Vian, mencari fokus dan menekan shutter, bukan hanya sekali, namun berkali-kali.

“Ambil gambarnya yang banyak, ya. Bisa buat kenang-kenangan pribadi.” Venus nyengir. Hari ini ia memang sengaja tidak membawa kamera. Karena selain kurang suka dengan memotret, Venus juga lebih suka melakukan wawancara.

Amira menurut dan mengambil banyak sekali potret. Dan ketika makan siang di kantin, Venus baru sadar jika ada yang salah fokus.

Venus terdiam beberapa saat, menatap Amira yang menenggak jus melonnya tanpa dosa, sementara gadis itu sama sekali tidak menyadari jika ada tatapan aneh yang terus menyorotnya.

“Kamu, naksir yang pakai kaos putih ini?”

Amira terbatuk, tersedak minumannya sendiri saat mendengar respon Venus. Rekan kerjanya itu masih mengutak-atik kameranya, melihat hasil jepretan Amira. Mendadak Amira merasa tenggorokannya tercekat. Barangkali ini memang sebuah kesalahan besar, kenapa tidak sejak tadi Amira menyadari kesalahannya? Fatal dan sangat memalukan.

“Yang pakai kaos putih emang lumayan. Tapi yang luar biasa tampan itu si vokalis, Mir.”

Amira menepuk kening. Ia pikir Venus akan marah-marah karena ia salah mengambil gambar, bukannya memotret seluruh anggota, malah puluhan gambar yang Amira ambil hanya memuat sosok Vian dengan berbagai ekspresi.

“Ah, itu nggak seperti yang kamu pikirin…” Amira menggaruk kepalanya. Mulai salah tingkah. Sesekali ia mengamati mata Venus, berusaha membaca apa yang dipikirkan gadis itu.

“Kalau emang kamu naksir, ya nggak apa-apa…” Venus menyerahkan kembali kameranya pada Amira. Bibir Amira kelu, ia ingin menyangkal, tapi tidak bisa. Andaipun bisa, Venus pasti sama sekali tidak percaya.

“Setahun kerja bareng kamu, aku nggak pernah lihat kamu tertarik sama cowok. Ini yang pertama kali, lho…” Venus berseru sok tahu. Saat pesanan mie ayam mereka datang, Amira merasa terselamatkan dari tatapan penuh arti dari Venus. Dan Amira sama sekali tak mengerti apa maksud getar dalam tubuhnya saat diledek oleh Venus. Ia tak ubahnya abege yang merasakan getaran cinta. Sungguh menggelikan.

“Jatuh cinta emang bikin perubahan yang drastis, ya…” Venus yang menemukan semu merah di pipi Amira mulai melancarkan aksi nakalnya. Seru memang menggoda teman yang tengah dimabuk asmara.

“Udah, jangan dibahas.” Amira abai dengan segala godaan Venus. Alangkah lebih baik jika ia langsung menikmati makan siangnya. Dengan gesit Amira meraih sendok dan garpu yang diletakkan di atas mangkuk dan langsung menyeruput mie ayamnya dengan terburu-buru. Entah apa yang membuatnya begitu terburu-buru hingga kejadian tersedak itu terjadi berulang kali. Amira terbatuk, dan Venus tak henti-hentinya tertawa melihat sikap Amira yang tak biasa itu.

“Udah deh, kamu nggak perlu salah tingkah gitu…” Venus menyodorkan jus pada Amira. Jus yang tersisa setengah itu langsung disambar si penerima, lantas ditenggak dengan brutal, tapi dasar sial, sekali lagi Amira tersedak, bukan karena mie ayamnya melainkan jus melon.

Ada getar di bibir Venus sebelum akhirnya gadis itu meledakkan tawanya. Tapi tawa itu terjeda saat penglihatan Venus menangkap seseorang yang baru memasuki kantin. Sosok jangkung dengan model rambut Harajuku. Bagi Venus, pemuda itu tidak terlalu tampan, mungkin karena sosok di sebelahnya jauh lebih menarik. Si vokalis yang sempat ia singgung dengan Amira tadi.

Si vokalis yang memiliki gaya rambut tak jauh beda dengan bassis yang jadi perhatian Amira. Hanya saja, rambut si vokalis dicat dengan warna merah mencolok.

Venus menyentuh punggung tangan Amira, sampai Amira mengalihkan pandangan ke arahnya, Venus langsung menggerakkan matanya sebagai kode agar Amira segera menoleh ke belakang. Amira menoleh dan saat itu juga merasa tenggorokannya tercekat. Vian dan kawan-kawan datang. Apa yang harus ia lakukan?

***

Kantin begitu padat. Vian tak suka keramaian, tapi rasa lapar membuatnya tak punya pilihan lain. Ia melangkah mencari meja kosong, tapi tidak ada sama sekali.  Ia menatap Rey, vokalis dari grup band yang mendadak mengajaknya bergabung untuk mengisi kekosongan sementara karena Theo, bassis sebenarnya tengah sakit padahal mereka harus manggung untuk lomba di festival Bunkasai kampus mereka.

“Bagaimana kalau kita makan di luar saja?”

Rey menggeleng, menolak usulan Vian, karena sekian detik setelah melontarkan usulnya, mendadak ada beberapa gerombolan gadis-gadis yang mempersilahkan mereka duduk. Anak band memang keren, batin Vian.

“Makasih, ya…” Vian tersenyum pada gadis-gadis yang merelakan tempat duduk untuk di tempatinya dengan teman-temannya. Di luar dugaan, para gadis itu terkikik histeris. Fantastis, padahal Vian bukan anggota band yang sebenarnya.

Hingga pesanan mereka datang, terlalu banyak gadis yang mendadak mendekat ke arah Vian dan kawan-kawan. Sekedar meminta selfie bersama atau menyampaikan pendapat bahwa penampilan mereka tadi sangat bagus.

Keping ke-2

“Oke, makasih ya…” Rey tersenyum pada para gadis.

Vian menoleh pada Rey, pemuda itu sepertinya sudah biasa menanggapi respon dari penggemar. Memang banyak yang mendadak tertarik padanya karena Onixshide, band kampusnya yang banyak penggemar itu memintanya jadi pengganti Theo untuk sementara. Banyak yang memintanya berfoto bersama, dan satu hal yang tak Vian suka, ketika ada cahaya bliz yang menyilaukan matanya, tapi saat menoleh ke penjuru arah, ia tidak menemukan orang yang menggenggam kamera. Siapa?

“Kenapa?”

Vian merasa bahunya disentuh, saat menoleh Romeo sudah menatapnya dengan alis terangkat. Meski Vian tak yakin apa yang sebenarnya terjadi, tapi ia masih merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Vian tersenyum dan mengatakan, “Agak kaget sama respon cewek-cewek yang heboh begini…” kata Vian. “Aduh, mendadak gugup gini.”

Romeo tergelak instan. “Aku pikir ada apa…” Sambil menepuk bahu Vian berkali-kali. “Santai aja kali, Bro.”

Saat menepuk bahu Vian, saat itulah Romeo menyadari, ada lensa kamera yang mengarah pada Vian. Tidak salah lagi, Romeo cukup jeli dan ia tahu pasti saat moncong kamera DSLR itu mengarah pada Vian. Dengan sedikit tertawa kesal, Romeo menepuk bahu Vian lebih keras lagi, “Gila ya, baru pertama kali tampil aja udah jadi perhatian.”

“Eh? Apa?”

Ekspresi tak mengerti wajah Vian itu membuat Romeo geli sendiri. Ia juga heran kenapa bisa mengusulkan Vian sebagai pengisi kekosongan Theo. Tapi, kemampuan Vian bermusik cukup baik. Tampang juga lumayan. Terbukti, setelah mengganti model rambut dan sedikit mewarnainya, penampilan Vian begitu berbeda. Mencolok, tapi sangat cocok.

“Kayaknya kamu udah ada fans.” Romeo menyeringai, mengamati gadis yang saat itu langsung menyembunyikan kameranya ke bawah meja. Ketahuan sekali gadis itu salah tingkah. Romeo menunjuk ke arah gadis di seberang meja mereka, gadis yang tengah menyeruput jus lalu mengusap peluh di kening. Vian menatapnya dengan alis berkerut, masih meragukan apa yang dikatakan Romeo.

“Jangan ngaco, ah.” Vian tertawa.

“Eh, beneran.” Romeo tidak pernah lebih yakin dari ini, lagipula pengamatannya tidak mungkin salah. Gelagat gadis itu sangat terbaca.

“Tidak mungkin lah, saya kan baru pertama kali manggung.”

“Itu yang bikin aku heran, di hari pertama manggung aja udah ada yang jadi stalker.” Romeo berdecak, antara kagum dan iri, seingatnya dulu ia perlu banyak waktu untuk punya penggemar. Ah, Vian punya potensi ternyata.

“Apa?” tanya Vian. Sejauh obrolan singkat mereka, Vian terus saja berlagak bodoh. Rey sih sudah mengenal Vian sejak dulu, ia hanya menyeringai mendengar obrolan Romeo dan Vian yang membahas hal tidak penting. Yang penting bagi Rey sekarang, bagaimana cara menyingkirkan gadis-gadis penggemarnya itu, karena ia sudah lapar dan ingin segera makan dengan tenang.

“Nggak ngerasa diawasi?” bisik Romeo.

Vian tak menjawab. Vian diam dan menoleh pada sekeliling. Tidak ada sesuatu yang aneh, tapi sejak tadi Vian merasa ada bliz kamera yang membuatnya silau. Tapi tak jelas itu kamera milik siapa. Maka dari itu, Vian hanya bisa menggeleng.

Meski sebenarnya Vian merasa risih dengan perasaannya sendiri yang merasa dikuntit. Jadi idola seperti ini rasanya? Setelah ini, Vian tidak akan ikut band lagi. Janji.

***

“Nggak ada waktu, Mir! Buruan ke kantor!” titah seseorang di seberang telepon.

“Nggak bisa. Aku ada urusan penting di sini.”

“Nggak bisa, gundulmu. Foto-foto yang ada di kameramu harus diserah—”

“Udah... Udah... dan udah. Semua udah kusetor, tinggal kamu tuh yang kasih laporan hasil wawancaranya.”

Beberapa saat hening. Amira menaikkan sebelah alisnya, sambil otaknya meraba-raba apa yang sedang dilakukan temannya di seberang sana.

“Eh, kamu ijin nggak masuk kantor hari ini?!” sembur Venus tiba-tiba.

“Baru tahu?”

“Am... miii... raaaa!”

Nada geregetan Venus membuat Amira cekikikan. “Bye, bye...” Nyaris saja gadis fishtail itu menekan End Call di layar smartphone-nya andai ekor matanya tak lebih dulu menangkap sosok pemuda berkemeja biru muda yang mendadak melintas di depannya. Amira sampai tak berkedip dibuatnya, bahkan tak sadar sedang dipanggil-panggil sangar oleh Venus yang sudah makin geregetan.

“... A... mira?”

“E‒eh, iya? Ada apa?” Barulah Amira kembali pada kesadarannya setelah sosok pemuda tadi menjauh hilang dari pelupuk mata.

“Ada apa, gimana? Mustinya aku yang nanya gitu. Kamu kenapa diem tadi? Kamu kesambet lagi?”

“Ngaco, ah.” Amira membenahi tas selempangnya, dan melangkah pelan menuju kantin dekat parkiran.

“Habisnya... kamu dulu kan sering gitu. Bengong, ngelamun, tahu-tahu nangis ngejer, apa coba namanya kalau bukan kesambet?” Venus mendengus kesal, karena sekali lagi Amira bersikap aneh dan tentu membuatnya khawatir binti penasaran.

“Nggak apa-apa kok. Ya udah ya, aku punya urusan penting nih.” Amira tidak bisa fokus memperhatikan jalan jika sambil mengobrol. Bahkan dulu saat baru pertama menjadi rekan kerja Venus yang notabene suka nyerocos itu, mau tidak mau Amira harus sering menunduk meminta maaf pada orang-orang, tempat sampah, dan pot bunga karena ia tak sengaja menabrak mereka.

“Urusan apa? Emangnya kamu lagi di mana?” Venus melancarkan aksi wawancara pada Amira.

“Di kantin UNISMA...”

“Haa?!”

Tut..tut.. tu...

Kalau tidak segera Amira matikan teleponnya, bisa-bisa Venus sudah tidak mewawancarainya lagi melainkan interogasi, dan itu bahaya sekali.

Amira memesan secangkir cappuccino, kemudian duduk anteng di sebuah kursi dekat kulkas minuman soda. Masih pagi begini memang belum banyak yang menyambangi kantin. Hanya tampak sepasang muda-mudi duduk berdua di pojok sana. Kemudian Amira geser arah pandangannya, tampak tiga gadis berjilbab yang baru masuk kantin itu berisik sekali, entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas Amira tidak ambil pusing karena pesanannya datang.

Amira setengah membungkuk. Ia tundukkan wajahnya tepat di atas cangkir, hidungnya kembang kempis, menikmati aroma cappuccino yang kata sepupunya paling jos gandos di seantero kampus. Ya iya lah paling jos, kan memang hanya kantin ini yang menyediakannya.

Tapi batin Amira membenarkan info sepupunya. Aroma manis gurih cappuccino itu seolah menguasai isi kepalanya, membuatnya sejenak terlena.

“Makanya, kubilang daftar sekarang aja. Kak Vian enak kok ngajarnya.”

Deg!

Mata Amira membelalak seketika. Celetukan suara perempuan barusan sukses mengalihkan perhatiannya dari aroma cappuccino itu. Amira kembali menegakkan kepala. Tangannya meraba-raba layar ponsel, pura-pura. Ia konsentrasikan pendengarannya untuk mendengar obrolan gadis-gadis berjilbab itu lebih lanjut, sengaja.

Vian... aku ingin tahu lebih banyak tentang Vian, ayo cepat lanjutkan, batin Amira.

“Tapi sayang banget, Kak Vian udah nggak ngeband lagi.”

“Iya... padahal menurutku dia yang paling keren.”

Hmm, hmm, kalau itu aku setuju. Vian memang keren selalu... Amira mengulum senyum malu.

“Kak Vian lagi ngajar juga sekarang?”

“Iya. Sekarang ngajar anak-anak depan kelas kita.”

“Aku pengen lihat dia ngajar dong, di mana?”

“Noh, di aula.”

Spontan Amira bangkit dari duduknya. Ia masukkan ponsel ke saku kemeja, lalu meraih tas selempangnya. Saat melangkah ke meja kasir, Amira tidak sadar sedang dihujani tatapan heran oleh lima penghuni kantin yang lain.

Keping ke-3

Sekali lagi Amira tak sanggup berkedip menatap pemuda berkemeja yang sedang komat-kamit di depan kelas itu. Vian, siapa lagi? Takjub, sekaligus sesak, itulah yang saat ini Amira rasakan. Gadis itu kagum, Vian begitu cakap menerangkan materi yang ia ajarkan. Dan juga sedikit kesal karena ternyata adik-adik kelas yang dibantu belajarnya oleh Vian itu semua perempuan!

Amira menghela napas panjang saat melirik adik-adik didik Vian yang malah kasak-kusuk genit. Pasti kehadiran mereka hanya demi bisa memandang Vian dengan leluasa, bukan untuk belajar dengan sebenar-benarnya, begitu pikir Amira.

Terpaksa Amira berjinjit saat terpaan angin membuat korden kelas melayang-layang mengganggu pandangannya. Dan di saat itulah sebuah tepukan ‒agak kasar‒ di bahu Amira membuat gadis itu menurunkan jinjitan kakinya.

Amira menoleh malas, tapi juga agak was-was. Dan tampaklah tiga gadis berjilbab yang ada di kantin tadi menatapnya datar. Amira tersenyum kikuk.

“Mbak lagi ngapain? Mata-mata?”

Mendapat pertanyaan itu, jelas membuat Amira risih.

“Kayaknya kita nggak pernah lihat dia kuliah di sini, ya Gals?” sahut gadis berjilbab polkadot.

Amira tak hilang akal. Ia tarik kamera yang menggantung di lehernya hingga teracung di depan hidungnya. “Aku wartawan sebuah media berita online. Aku ke sini mau observasi.”

“Observasi?”

“Maksudku... survei lokasi,” ralat Amira santai.

“Survei lokasi?” Gadis berjilbab hitam tampak membekap mulutnya. “Haha! Mbak kira kampus kami ini calon tempat pertambangan? Pakai disurvei segala...”

Amira terkekeh. “Kalian itu kalau nggak tahu apa-apa nggak usah ngajak aku debat. Yang jelas... festival Bunkasai kemarin lusa bikin kampus kalian dikenal dan diminati banyak orang, karena media iNewsia tempatku bekerja telah memposting berita eventnya di media online. Dan mungkin... kalau aku memposting profil atau info menarik tentang kampus ini, bisa lebih menambah keuntungan juga untuk mahasiswi macam kalian.”

“Keuntungan?” tanya si jilbab hitam.

“Ya... siapa tahu ada band ibu kota yang pengen manggung di sini, atau bahkan band luar negeri.” Amira beralih pada kameranya, ia lap properti kantor itu yang memang lupa dibersihkan beberapa hari ini. Dan sikap santainya itu tanpa sadar membuat ketiga gadis tadi undur diri. Akhirnya Amira bisa bernapas lega. Ia kembali pada aktifitasnya semula, yaitu mengintip kegiatan mengajar Vian. Kembali Amira tersenyum simpul, meski hanya bisa menatap pemuda langsat itu dari kejauhan.

“Hidungnya... kalau lagi senyum jadi makin kelihatan mancung...” gumam Amira.

Kali ini gadis itu tidak akan menggunakan kameranya untuk memotret Vian diam-diam. Tapi dengan....

Ckerrk!

Kamera ponsel. Ya, Amira tak bodoh untuk melakukan kesalahan yang sama. Tentu ia tidak akan sengaja membuat Vian memergoki sinar bliz kameranya. Kalau begini kan aman, Amira bisa sepuasnya mencuri potret diri Vian.

Tapi...

Bip..bip! Bip!

Amira mati kutu! Badannya membeku! Jelas tadi itu bunyi chat di smartphone-nya. Suara lantangnya membuat heboh penghuni aula. Dengan gerak cepat Amira menyimpan ponselnya dalam tas. Buru-buru Amira jongkok untuk menyembunyikan diri saat dilihatnya Vian mengedarkan pandang ke penjuru aula.

“Sudah Kakak bilang, jangan main ponsel waktu belajar,” tegur Vian.

Amira menghembuskan napas lega. Tapi kasak-kusuk penghuni aula yang mulai terdengar membuat Amira gugup juga.

“Siapa?”

“Aku nggak main.”

“Sama, aku juga.”

Lirih para gadis itu berkata.

Mati aku... Sebelum Vian benar-benar mencari tahu, Amira memilih ngacir ke kantin dengan berjalan jongkok supaya kepalanya tidak terlihat dari jendela.

***

Mie ayam, akhirnya makanan itulah yang dipesan Amira sekarang, setelah sejak tadi Bu kantin menatapnya dengan ekspresi heran. Mungkin memang sudah cukup lapar baginya setelah menunggu kemunculan Vian yang begitu lama. Gadis fishtail itu benar-benar nekat menunggu Vian dari pagi hingga siang. Sampai bokong teposnya terasa cenat-cenut karena terus duduk, diiringi dengan senandung kemerucuk perutnya yang kelaparan.

“Masa iya sih jam segini masih bantu belajar mereka? Kalaupun udah masuk kelas, masa belum pulang juga?” Amira memainkan sendok dan garpu tanpa berniat melahap mie ayamnya. Dan sedetik kemudian, tanpa sengaja Amira melihat sekelebat sosok Vian yang berjalan pelan di koridor jauh di depan sana. Spontan Amira tersetrum semangat baru. Ia lahap mie ayamnya buru-buru. Baru tiga sendok, Amira menenggak jus melonnya, mengelap bibir dan beranjak ke meja Bu kantin. Tapi setelah mendapat uang kembalian dan membalik badan... Amira terdiam. Ia tatap nanar adegan kurang mengenakkan antara Vian dan seorang perempuan.

“Apa-apaan sih?!” pekik Amira. Tanpa pikir panjang ia berjalan cepat menuju tempat Vian. Tampak jelas perempuan itu menarik manja lengan kanan Vian, dan mendudukkannya di sebuah bangku taman.

Amira tidak terima. Isi dadanya bergemuruh, seakan terbakar.

Cemburu? Mendadak langkah cepat Amira terhenti, seperti direm cakram. Tiba-tiba pikiran itu terlintas dan menyodok kesadarannya. Ya, Amira sadar seketika. Sadar bahwa apa yang dilakukannya sekarang sangatlah konyol dan memalukan. Bagaimana tidak, ia terlanjur berdiri mematung di dekat bangku Vian, sambil setengah melotot ke arah sepasang makhluk ganteng-cantik itu, melotot tanpa sadar.

“Eh? Ada perlu apa, Mbak?” tanya perempuan cantik di sebelah Vian.

Amira menelan ludahnya pelan. Gugup, salah tingkah, Amira hanya bisa membenahi letak kamera DSLR-nya, sekaligus membuang pandang. “A—anu... aku... Ah, permisi ya. Aku ada perlu di sini. Mau foto-foto tamannya,” dusta Amira. Ya, sekalian bisa mengganggu acara duduk berdua mereka.

Sejenak Vian teringat pada sinar bliz yang mengenainya tempo hari. Tapi ia tak begitu yakin bahwa pelakunya adalah gadis kemeja kotak-kotak yang sedang memegang kamera di hadapannya ini. Vian lebih memilih kembali mengobrol santai.

“Aku pengen tahu dong tempat nongkrong favoritmu.”

“Saya tidak biasa nongkrong di manapun, Sa.” Vian melepas pegangan tangan perempuan itu di pundaknya.

“Bagus lah, berarti aku punya kesempatan buat ajakin kamu?” Tangan perempuan itu justru turun ke lengan Vian dan menempelkan kepala di bahunya. Mesra.

“Anisa... tolong jangan seperti ini...”

“Nggak usah malu sama cewek paparazi itu, Vi... Toh dia nggak mungkin cemburu haha!”

Amira sempat meremas kuat moncong kamera saat suara genit nan manja perempuan itu terdengar jelas di gendang telinganya. Ya, aku cemburu! Masalah buat lu! batin Amira menggerutu. Dan sekali lagi, kesadaran Amira hilang kendali. Ia sorotkan lensa kameranya ke arah Vian, berkali-kali.

Vian menoleh spontan ke arah Amira saat sadar terkena sinar bliz kameranya. “Mbak...” panggilnya. “Ada perlu sama saya?”

Amira tak menjawab. Tak peduli pada tatapan heran Vian dan perempuan di sebelahnya. Amira terus menyorotkan kamera pada Vian, dan berulangkali menjepretnya, asyik mengambil gambar.

“Mbak...” panggil Vian lagi. “Mbak kenal saya?”

Seketika Amira menghentikan aksi memotretnya. Ia memandang Vian dalam diam, cukup lama, hingga akhirnya Amira beranjak pergi tanpa permisi.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!