Keping ke-2

“Oke, makasih ya…” Rey tersenyum pada para gadis.

Vian menoleh pada Rey, pemuda itu sepertinya sudah biasa menanggapi respon dari penggemar. Memang banyak yang mendadak tertarik padanya karena Onixshide, band kampusnya yang banyak penggemar itu memintanya jadi pengganti Theo untuk sementara. Banyak yang memintanya berfoto bersama, dan satu hal yang tak Vian suka, ketika ada cahaya bliz yang menyilaukan matanya, tapi saat menoleh ke penjuru arah, ia tidak menemukan orang yang menggenggam kamera. Siapa?

“Kenapa?”

Vian merasa bahunya disentuh, saat menoleh Romeo sudah menatapnya dengan alis terangkat. Meski Vian tak yakin apa yang sebenarnya terjadi, tapi ia masih merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Vian tersenyum dan mengatakan, “Agak kaget sama respon cewek-cewek yang heboh begini…” kata Vian. “Aduh, mendadak gugup gini.”

Romeo tergelak instan. “Aku pikir ada apa…” Sambil menepuk bahu Vian berkali-kali. “Santai aja kali, Bro.”

Saat menepuk bahu Vian, saat itulah Romeo menyadari, ada lensa kamera yang mengarah pada Vian. Tidak salah lagi, Romeo cukup jeli dan ia tahu pasti saat moncong kamera DSLR itu mengarah pada Vian. Dengan sedikit tertawa kesal, Romeo menepuk bahu Vian lebih keras lagi, “Gila ya, baru pertama kali tampil aja udah jadi perhatian.”

“Eh? Apa?”

Ekspresi tak mengerti wajah Vian itu membuat Romeo geli sendiri. Ia juga heran kenapa bisa mengusulkan Vian sebagai pengisi kekosongan Theo. Tapi, kemampuan Vian bermusik cukup baik. Tampang juga lumayan. Terbukti, setelah mengganti model rambut dan sedikit mewarnainya, penampilan Vian begitu berbeda. Mencolok, tapi sangat cocok.

“Kayaknya kamu udah ada fans.” Romeo menyeringai, mengamati gadis yang saat itu langsung menyembunyikan kameranya ke bawah meja. Ketahuan sekali gadis itu salah tingkah. Romeo menunjuk ke arah gadis di seberang meja mereka, gadis yang tengah menyeruput jus lalu mengusap peluh di kening. Vian menatapnya dengan alis berkerut, masih meragukan apa yang dikatakan Romeo.

“Jangan ngaco, ah.” Vian tertawa.

“Eh, beneran.” Romeo tidak pernah lebih yakin dari ini, lagipula pengamatannya tidak mungkin salah. Gelagat gadis itu sangat terbaca.

“Tidak mungkin lah, saya kan baru pertama kali manggung.”

“Itu yang bikin aku heran, di hari pertama manggung aja udah ada yang jadi stalker.” Romeo berdecak, antara kagum dan iri, seingatnya dulu ia perlu banyak waktu untuk punya penggemar. Ah, Vian punya potensi ternyata.

“Apa?” tanya Vian. Sejauh obrolan singkat mereka, Vian terus saja berlagak bodoh. Rey sih sudah mengenal Vian sejak dulu, ia hanya menyeringai mendengar obrolan Romeo dan Vian yang membahas hal tidak penting. Yang penting bagi Rey sekarang, bagaimana cara menyingkirkan gadis-gadis penggemarnya itu, karena ia sudah lapar dan ingin segera makan dengan tenang.

“Nggak ngerasa diawasi?” bisik Romeo.

Vian tak menjawab. Vian diam dan menoleh pada sekeliling. Tidak ada sesuatu yang aneh, tapi sejak tadi Vian merasa ada bliz kamera yang membuatnya silau. Tapi tak jelas itu kamera milik siapa. Maka dari itu, Vian hanya bisa menggeleng.

Meski sebenarnya Vian merasa risih dengan perasaannya sendiri yang merasa dikuntit. Jadi idola seperti ini rasanya? Setelah ini, Vian tidak akan ikut band lagi. Janji.

***

“Nggak ada waktu, Mir! Buruan ke kantor!” titah seseorang di seberang telepon.

“Nggak bisa. Aku ada urusan penting di sini.”

“Nggak bisa, gundulmu. Foto-foto yang ada di kameramu harus diserah—”

“Udah... Udah... dan udah. Semua udah kusetor, tinggal kamu tuh yang kasih laporan hasil wawancaranya.”

Beberapa saat hening. Amira menaikkan sebelah alisnya, sambil otaknya meraba-raba apa yang sedang dilakukan temannya di seberang sana.

“Eh, kamu ijin nggak masuk kantor hari ini?!” sembur Venus tiba-tiba.

“Baru tahu?”

“Am... miii... raaaa!”

Nada geregetan Venus membuat Amira cekikikan. “Bye, bye...” Nyaris saja gadis fishtail itu menekan End Call di layar smartphone-nya andai ekor matanya tak lebih dulu menangkap sosok pemuda berkemeja biru muda yang mendadak melintas di depannya. Amira sampai tak berkedip dibuatnya, bahkan tak sadar sedang dipanggil-panggil sangar oleh Venus yang sudah makin geregetan.

“... A... mira?”

“E‒eh, iya? Ada apa?” Barulah Amira kembali pada kesadarannya setelah sosok pemuda tadi menjauh hilang dari pelupuk mata.

“Ada apa, gimana? Mustinya aku yang nanya gitu. Kamu kenapa diem tadi? Kamu kesambet lagi?”

“Ngaco, ah.” Amira membenahi tas selempangnya, dan melangkah pelan menuju kantin dekat parkiran.

“Habisnya... kamu dulu kan sering gitu. Bengong, ngelamun, tahu-tahu nangis ngejer, apa coba namanya kalau bukan kesambet?” Venus mendengus kesal, karena sekali lagi Amira bersikap aneh dan tentu membuatnya khawatir binti penasaran.

“Nggak apa-apa kok. Ya udah ya, aku punya urusan penting nih.” Amira tidak bisa fokus memperhatikan jalan jika sambil mengobrol. Bahkan dulu saat baru pertama menjadi rekan kerja Venus yang notabene suka nyerocos itu, mau tidak mau Amira harus sering menunduk meminta maaf pada orang-orang, tempat sampah, dan pot bunga karena ia tak sengaja menabrak mereka.

“Urusan apa? Emangnya kamu lagi di mana?” Venus melancarkan aksi wawancara pada Amira.

“Di kantin UNISMA...”

“Haa?!”

Tut..tut.. tu...

Kalau tidak segera Amira matikan teleponnya, bisa-bisa Venus sudah tidak mewawancarainya lagi melainkan interogasi, dan itu bahaya sekali.

Amira memesan secangkir cappuccino, kemudian duduk anteng di sebuah kursi dekat kulkas minuman soda. Masih pagi begini memang belum banyak yang menyambangi kantin. Hanya tampak sepasang muda-mudi duduk berdua di pojok sana. Kemudian Amira geser arah pandangannya, tampak tiga gadis berjilbab yang baru masuk kantin itu berisik sekali, entah apa yang mereka perdebatkan, yang jelas Amira tidak ambil pusing karena pesanannya datang.

Amira setengah membungkuk. Ia tundukkan wajahnya tepat di atas cangkir, hidungnya kembang kempis, menikmati aroma cappuccino yang kata sepupunya paling jos gandos di seantero kampus. Ya iya lah paling jos, kan memang hanya kantin ini yang menyediakannya.

Tapi batin Amira membenarkan info sepupunya. Aroma manis gurih cappuccino itu seolah menguasai isi kepalanya, membuatnya sejenak terlena.

“Makanya, kubilang daftar sekarang aja. Kak Vian enak kok ngajarnya.”

Deg!

Mata Amira membelalak seketika. Celetukan suara perempuan barusan sukses mengalihkan perhatiannya dari aroma cappuccino itu. Amira kembali menegakkan kepala. Tangannya meraba-raba layar ponsel, pura-pura. Ia konsentrasikan pendengarannya untuk mendengar obrolan gadis-gadis berjilbab itu lebih lanjut, sengaja.

Vian... aku ingin tahu lebih banyak tentang Vian, ayo cepat lanjutkan, batin Amira.

“Tapi sayang banget, Kak Vian udah nggak ngeband lagi.”

“Iya... padahal menurutku dia yang paling keren.”

Hmm, hmm, kalau itu aku setuju. Vian memang keren selalu... Amira mengulum senyum malu.

“Kak Vian lagi ngajar juga sekarang?”

“Iya. Sekarang ngajar anak-anak depan kelas kita.”

“Aku pengen lihat dia ngajar dong, di mana?”

“Noh, di aula.”

Spontan Amira bangkit dari duduknya. Ia masukkan ponsel ke saku kemeja, lalu meraih tas selempangnya. Saat melangkah ke meja kasir, Amira tidak sadar sedang dihujani tatapan heran oleh lima penghuni kantin yang lain.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!