Keping ke-4

“Mbak kenal saya?”

Pertanyaan itu masih menyisakan perih. Amira menggosok sudut matanya, menghalau airmata yang nyaris menelusup. Kalau bukan di tempat umum, mungkin Amira lebih memilih meraung-raung, menangis bebas. Setidaknya agar ia merasa puas. Vian, memang tidak mengingatnya. Tentu saja.

Barangkali Amira pantas menerimanya, ini hukuman yang layak untuknya.

Saat taksi melintas di depan kampus UNISMA, Amira buru-buru melambaikan tangannya. Ia ingin cepat pulang. Pikirannya penuh, tentu saja tentang Vian. Pemuda yang setahun ini selalu ia rindukan.

“Jalan Tirtamoyo, Pak…”

Amira melihat supir taksi itu mengangguk dan mulai melajukan taksinya dengan kecepatan sedang. Amira menyandarkan punggungnya dengan kepala yang bertumpu pada jendela. Mendadak lemas jika memikirkan Vian. Sungguh, perasaan ini begitu menyiksa. Kacau dipermainkan perasaannya sendiri yang begitu campur aduk antara cinta, rindu, dan rasa bersalah.

“Amiraaa…” Vian tersenyum, di tangannya ada tumpukan keping DVD drama Korea. “Saya beli ini buat kamu…”

“Jadi karena ini kamu terlambat? Bego amat.”

Amira tersenyum pahit, kenangan itu seperti video klip yang terputar tanpa bisa  dicegah. Segala dosa-dosa yang Amira lakukan seolah menghantuinya sampai membuat Amira tak sanggup memikirkan laki-laki lain.

Sampai di rumah, butuh waktu banyak bagi Amira untuk menenangkan diri. Ia terpekur di sudut kamar dekat jendela, ia memeluk lutut sembari membuang pandang ke arah luar jendela. Gorden kamarnya bergerak-gerak karena jendelanya terbuka. Terpaan udara dingin membuatnya sedikit menggigil. Dan sekali lagi gigil itu mengingatkan Amira pada Vian, dulu tak sekalipun Amira merasakan kedinginan, karena Vian pasti akan melepas syal dan jaketnya dan meminjamkannya pada Amira.

Sesak. Rasanya begitu sesak hingga tanpa sadar Amira menangis dengan wajahnya yang tenggelam di antara lutut.

“Maaf, Vian… maaf…” desis Amira di sela isaknya. Wajahnya masih tersembunyi di antara lutut saat Amira mendengar suara ketukan.

“Ada Venus di depan.” Suara Ibu membuat Amira mengangkat kepala, ia mengusap wajahnya sembarangan. Panik mendadak, bisa jadi Venus datang karena perintah bos. Amira menyahut sekilas dan keluar dari kamar.

Namun saat melihat Venus yang duduk di ruang tamu, Amira merasa lebih lega karena rekan kerjanya itu tidak memakai seragam. Pasti Venus datang bukan dalam rangka kerja.

“Kenapa mukamu?” Venus mengangkat cangkir teh di meja lalu menyeruputnya, barangkali Ibu yang menyiapkan minuman saat Amira di dalam tadi. Saat Amira duduk berhadapan dengannya, Venus makin yakin kalau ada yang aneh dengan wajah Amira. Mukanya merah, matanya sembab, dan ada sisa kilatan jejak airmata di pipinya.

“Ah, kenapa apanya?” tanya Amira, berlagak tak terjadi apapun. Namun Amira lupa dengan siapa ia bicara, Venus salah satu wartawati yang bermata jeli. Segala sangkalan yang dilontarkan Amira akan sia-sia jika Venus juga melakukan pengamatan singkatnya. “Abis nangis?”

“Ngaco.” Amira tertawa. Begitu ganjil bagi Venus.

“Kamu nggak masuk gara-gara patah hati?” tebak Venus. Sontak menampar keras benak Amira. Tebakan Venus salah, tapi kalau dipikir-pikir juga ada benarnya.

“Kenapa nyimpulin kayak gitu?” tanya Amira dan dijawab dengan isyarat bahu yang terangkat oleh Venus.

“Selama ini aku nggak pernah lihat kamu nangis sampai acak-acakan gitu.”

“Emang yang bikin seseorang nangis dan acak-acakan itu cuma patah hati?” Amira memutar bola matanya.

Merasa menang, Venus mengumbar seringai. “Jadi bener kamu patah hati?”

“Beuh, rese! Aku ngerasa diinterogasi.”

“Hahaha… kamu lupa aku wartawati?”

“Ah, yaya… tapi kamu lupa kalau aku bukan selebriti.”

“Nggak masalah, kan?”

“Berisik.” Amira melipat tangan di depan dada, kesal pada Venus yang tingkahnya selalu kepo.

***

Amira bersumpah akan melakukannya. Ia akan memulai semua dari awal. Itu yang menjadi sebab kenapa hari ini ia memilih untuk tidak masuk kerja lagi. Tak peduli meski Venus ngomel-ngomel panjang karena ia jadi harus melakukan peliputan berita seorang diri. Tapi sungguh, Amira tidak akan bekerja dengan tenang sebelum melakukan misinya. Berkenalan dengan Vian secara terang-terangan.

Meski sedikit gemetar, Amira sudah memutuskan untuk menunggu di depan gerbang UNISMA. Menunggu sejak tadi, menunggu Vian keluar dari kampus.

Kamera masih menggantung di lehernya. Sambil memainkan kameranya, ia mencari titik fokus yang menarik. Tidak ada. Tidak ada. Tidak ada. Ah, ada! Akhirnya ketemu juga pemuda jangkung pemilik model rambut harajuku yang diwarna kecoklatan itu. Amira buru-buru memfokuskan kameranya, lalu membidik target. Tapi, belum banyak gambar yang ia peroleh, modelnya justru menghilang begitu saja.

Amira berdecak, “Di mana dia?”

“Di sini…”

Deg! Rasanya jantung Amira berhenti begitu saja. Dengan pergerakan kaku, Amira menoleh ke belakang dan menemukan Vian tengah memiringkan kepalanya. Bingung.

“Mbak seperti paparazi.” Wajah Vian datar. Tidak ada kemarahan, tapi juga tidak ada pertanda kalau Vian suka dipotret diam-diam seperti ini. Vian melangkah lagi, mempersempit jarak di antara mereka. Amira makin gugup, dan ia hanya bisa menyahut, “Bisa dibilang begitu.”

Amira tahu jawabannya yang blak-blakan itu hanya akan membuat Vian mengernyitkan dahi dalam-dalam. Tapi di luar dugaan Amira, ternyata Vian tidak lantas pergi setelah merasa risih dengan kelakuannya. Justru pemuda itu sedikit tersenyum meski bukan senyuman manis yang diharapkan Amira, melainkan senyuman konyol.

“Kamu... tertarik sama saya?” Pertanyaan paling gila menurut Vian. Entah dari mana Vian bisa menemukan kepercayaan diri seperti itu?

“Bisa dibilang begitu.”

Dan jawaban itu membuat Vian terbengong sesaat. Dengan wajah tanpa dosa, Amira mengulangi jawabannya sembari menatap balik ke arah Vian. “Bisa dibilang begitu.”

“Ah, Mbak… kamu seperti orang bodoh.”

“Bisa dibilang begitu…” Amira menundukkan kepala. Ia sempat berpikir pasti bisa menatap Vian lagi, tapi kenyataan berbanding terbalik, Amira tetap saja tidak berani menatap wajah Vian sama sekali.

“Tidak bisa mengatakan hal selain ‘bisa dibilang begitu’ ya?”

Amira menghela napas panjang dan mencoba memberanikan diri mengatakan hal yang semestinya. “Ah, sorry. Aku cuma nggak tahu musti ngomong apa.”

Vian tak menjawab. Pemuda itu diam beberapa jenak hingga akhirnya tersenyum. “Nama Mbak?”

Barulah Amira mengangkat kepalanya. Apa ia tidak salah dengar? Vian menanyakan namanya. Sungguh. Niat kemari ingin berkenalan lagi dengan Vian, tapi justru pemuda itu yang datang padanya. Barangkali Tuhan memudahkan jalannya.

“Amira.” Amira menjawab mantap. Vian mengangguk dan mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman. “Nama Mbak rasanya familiar banget.”

Amira menerima uluran tangan itu, ia merasa tangannya sangat basah saat menjabat tangan Vian. “Mungkin hanya perasaanmu.”

Vian tersenyum. “Nama saya Vian.”

“Aku tahu,” sahut Amira kemudian buru-buru melepas jabatan tangan itu, lalu membekap mulutnya sendiri.

“Mbak kenal saya?” Vian mengernyit. Memang ada yang aneh dengan gadis di hadapannya ini. Kalau Vian tidak salah ingat, gadis inilah yang dulu mencuri-curi fotonya di kantin dan taman kampus.

Amira gelagapan. Merasa bodoh karena mengatakan hal itu. Tentu saja Vian pasti merasa aneh jika Amira mengenalinya. “Eng… itu… Siapa yang nggak kenal member Onixshide?”

Jawaban yang sontak membuat Vian tertawa. “Mbak ini lucu. Saya cuma pengganti bassis sementara. Sekarang malah sudah tidak main lagi.”

“Tapi tempo hari yang aku liput membernya kamu.” Amira meyakinkan. Bahkan ia sempat mengangkat kameranya.

“Jadi Mbak ini wartawati?” Vian mengangguk membenarkan pertanyaannya sendiri. Tapi seingatnya, yang dulu melakukan wawancara adalah gadis lain bernama Venus.

“Begitulah.”

“Mau ngobrol di tempat lain?”

Amira tersenyum.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!