Keping ke-5

Saboten. Rumah makan bernuansa Jepang, terletak di jalan raya Dieng, di lokasi strategis karena berdekatan dengan toko buku dan mall. Amira tidak akan lupa tempat penuh kenangan ini. Di sini, Vian dulu suka mengajak Amira menghabiskan malam Minggu. Hampir tidak ada satu menu pun yang luput mereka cicipi. Ramen, Takoyaki, Kari, Teriyaki, Mochi, ah, Vian memang selalu suka dengan makanan Jepang. Kalau Vian masih ingat dengan makanan kesukaannya, harusnya Vian masih bisa mengingat orang yang disukainya. Atau justru Vian tidak ingin mengingat tentang perempuan jahat yang selalu menyakitinya terang-terangan?

“Jus strawberry?” Vian menunjuk buku menu. Sejak tadi Vian sudah meminta Amira agar segera memilih untuk memesan menu, tapi gadis itu hanya menggeleng dan mengatakan terserah saja. Hingga sampai Vian mengusulkan jus strawberry, Amira langsung mengernyitkan dahi.

“Kenapa menyimpulkan aku suka strawberry?” tanya Amira, mencoba memancing. Amira memang suka strawberry, tapi apa Vian masih mengingat atau ini hanya kebetulan?

“Saya pikir semua gadis suka strawberry.” Vian nyengir, lantas menulis pesanannya di kertas.

“Ah, kamu benar.” Amira mengangguk.

“Jadi benar ya, Mbak suka strawberry. Saya juga.”

“Dari tadi manggilnya Mbak. Apa mukaku ini sebegitu borosnya?”

Vian terpingkal. “Maaf, saya cuma merasa tidak sopan kalau manggil pakai nama saja.”

“Biasa aja. Sepertinya kita sebaya.”

“Oke, Amira. Kamu mau pesan apa lagi?”

Detak jantung Amira serasa bekerja luar biasa. Berdebar kencang saat Vian menyebut namanya.

“Hmmm… aku ngikut aja.”

“Yakin?”

Amira mengangguk. Saat itu Vian langsung memesan dua mangkuk ramen dan dua gelas jus strawberry dingin. Ia menyerahkan kembali buku pesanannya pada pelayan dan mengucapkan terimakasih. Tetap santun, seperti tidak ada yang berubah pada diri seorang Vian. Yang berbeda hanya ingatannya tentang masa lalu.

Setelah kecelakaan itu, Amira sempat kehilangan jejak. Ada yang bilang kalau Vian dibawa ke luar negeri sementara untuk pengobatan. Dan Amira tidak tahu sejak kapan Vian kembali. Yang jelas Amira bersyukur.

“Kata orang-orang, dulu saya juga suka datang ke sini…” Vian membuka obrolan sembari menunggu pesanan datang. Entah kenapa ia merasa begitu santai saat ngobrol dengan Amira. Atau memang ia merasa sudah cocok atau bagaimana.

“Kata orang?” tanya Amira.

“Iya. Saya sendiri juga tidak tahu...” Vian tertawa. “Tapi kalau mengingat rasa masakan di sini, sepertinya memang tidak diragukan lagi. Pasti saya memang langganan sejak lama.”

“Kamu nggak inget?” mendadak tubuh Amira menegang.

Vian menggeleng. “Tidak. Saya mengalami amnesia.”

“Amnesia? Kapan itu terjadi?”

“Setahun lalu. Katanya, saya tertabrak mobil dan ketika bangun, saya tidak bisa mengenali orang-orang di sekitar saya.”

“Sampai sekarang?”

“Ya. Dan saya memulainya dari awal. Mengenali Mama, Papa, teman-teman, juga para tetangga.”

***

Mendadak Vian panik. Ia bangkit dari kursi sambil tangannya menarik beberapa helai tisu. Amira yang menyaksikan kepanikan Vian pun ikut panik juga. “K‒kenapa? Kamu kena kuah ramen ya? Mana? Yang bagian mana?”

Tapi kepanikan Amira terhenti saat mendapat sodoran tisu dari Vian. “Ini buat kamu.”

“Eh?” Amira bengong.

Vian tertawa kecil. “Terimakasih sudah mengkhawatirkan saya, tapi....” Vian mengusap bawah mata Amira dengan tisunya. “Yang harusnya dikhawatirkan itu sebenarnya kamu...” Vian tersenyum sayu. “Kenapa nangis, coba?”

Amira berusaha menyembunyikan merah pipinya. “A‒aku bisa ngusap sendiri.” Amira rebut tisu itu dari tangan Vian. Malu! Malu karena tangis diam-diamnya ketahuan, malu karena mungkin Vian menganggapnya cengeng, dan malu karena... ah, yang jelas adegan usap-mengusap barusan sukses membuat degup jantungnya menggebu.

“Aku nggak cengeng, tahu.”

“Saya kan tidak bilang begitu.” Kembali Vian tersenyum sayu, hal yang makin membuat Amira terbakar malu.

Amira meremas tisunya. “Iya, nggak bilang tapi mungkin nganggap aku begitu kan?” Amira ngeyel menuntut kejujuran.

“Hmm, demi Allah, Amira... saya tidak menganggap kamu cengeng.” Suara Vian berubah sangat lembut.

Amira setengah terbelalak. Nada suara itu, nada suara meyakinkan sekaligus menenangkan dari Vian, seperti dulu.

Keterdiaman Amira membuat Vian kembali tertawa. “Masih tidak percaya?” Amira tak menjawabnya. “Ya sudah... kalau begitu sebagai gantinya, kamu boleh balas saya.”

“Balas? Maksudnya?” tanya Amira.

“Tapi balasnya nanti saja. Sekarang lebih dulu, saya pengen tahu, kenapa tiba-tiba kamu nangis tadi?”

Amira menunduk. “Ah, itu... aku... cuma kebawa suasana.” Bulir bening kembali menetes dari pelupuk mata Amira. “Aku nggak bisa bayangin gimana sedihnya orang-orang yang nggak bisa kamu ingat itu. Semua kenangan kalian bersama, hilang gitu aja.” Termasuk sedikit kenangan indah bersama Amira pastinya.

Terdengar helaan napas Vian. Pemuda itu meregangkan punggungnya di sandaran kursi. “Kamu salah, Ra... Mereka sama sekali tidak sedih kok. Justru mereka bersyukur, begitupun saya...” Sontak Amira mengangkat kepala. Pelototan samar Amira membuat Vian mengerti bahwa gadis itu mengharapkan penjelasan. “Karena dengan begini saya bisa melupakan kenangan menyakitkan di masa lalu,” lanjut Vian.

Amira kembali menunduk, tapi pelototan matanya melebar perlahan. Tangannya meremas kuat ujung kemejanya tepat di paha. Mendadak pening menyerang kepala, karena semua pikiran dan bayangan buruk masa lalu terlintas di benaknya.

“Yah, begitulah kata mereka.” Vian menyeruput jus strawberry-nya. Dahi Vian mengerut saat dilihatnya Amira terdiam tanpa melanjutkan makan. “Amira? Kok tidak dimakan lagi mie ramennya?”

Amira mengusap bibirnya dengan tisu baru. “Jadi... apa maksudmu tentang balasan tadi?”

“Hemm? Itu?” Vian buru-buru menelan kunyahannya. “Kamu nangis dan saya kira cengeng kan, padahal saya tidak nganggap gitu tapi kamu tidak percaya. Nah, biar kamu percaya, silahkan balas dengan membuat saya nangis juga.”

Deg!

Amira terkejut dengan perkataan Vian barusan. “Harusnya kamu nggak bilang gitu...”

“Kenapa?”

Karena selama kebersamaan kita dulu, aku udah sering banget nyakitin kamu!! jerit batin Amira.

“Kenapa, Amira?”

Amira menggeleng cepat. Kemudian tertawa samar. “Enak aja nyuruh-nyuruh aku bikin kamu nangis, padahal kita baru pertama kenalan. Kamu itu lucu.”

“Hee? Saya... apa?” Vian memiringkan kepala.

“Kamu lucu.”

Senyum Vian mengembang. “Terimakasih...”

“Kok, malah bilang makasih?” Amira bingung. Kembali ia lahap mie ramennya.

“Iya, makasih, karena cuma kamu yang bilang saya lucu. Dan akhirnya ada juga yang bilang gitu.”

“Dih, kamu aneh.” Amira sedikit terkekeh.

“Nah, itu juga terimakasih.” Vian menatap Amira serius.

Amira menggeleng cepat sambil mengibaskan tangannya. “Salah, Vian. Aku bilang kamu lucu, aku bilang kamu aneh, mustinya tuh kamu marah, bukannya bilang makasih.” Amira tak peduli lagi bagaimana reaksi Vian, yang jelas rasa nikmat ramen di mulutnya ini terlalu sayang jika dilewatkan.

“Kamu tidak mengerti, sih...” Giliran Vian yang berhenti memakan mienya. “Selama ini orang-orang termasuk cewek-cewek sukanya bilang saya ini smart lah, tampan lah, perfect lah, rasanya bosan. Saya tidak merasa seperti yang sering dibilang mereka. Emm...” Tiba-tiba Vian menarik tangan kiri Amira. “Tapi saya senang, akhirnya ada juga yang bilang saya aneh, yaitu kamu. Kamu satu-satunya, Amira. Terimakasih, ya...”

Amira bengong, sampai mie ramen yang baru diseruputnya nyaris jatuh ke mangkok. Buru-buru ia tutup mulut dan menggeleng tapi kemudian mengangguk. “Anu... nggak usah berterimakasih gitu ah, biasa aja, kan kita temen.” Mendadak Amira terbatuk. “Emm, kita... hehe, kita temen kan? Tapi... mungkin juga bukan.” Amira nyengir, ia benar-benar malu setelah dengan pedenya keceplosan.

Tapi tanpa Amira duga, justru Vian mengangguk penuh semangat. “Iya, mulai sekarang kita teman, dekat malah,” ucap Vian membenarkan sambil cengengesan.

Dan saat itu juga cengir Amira memudar.

Terpopuler

Comments

Anita Jenius

Anita Jenius

5 like mendarat buatmu thor. semangat ya.

2024-04-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!