Damaland Delirium

Damaland Delirium

Obatnya Duit

Komaerah, gadis dengan wajah yang sedang sedih dan hati yang hancur, terduduk di lantai kamarnya. Dia baru saja mengetahui bahwa pujaan hatinya sudah memiliki 'crush' alias naksir orang lain. Tiba-tiba, sebuah teriakan menggelegar memecah keheningan di kamarnya.

"Komar, beliin mak gula sana di warung!" teriakan Kalista yang super heboh itu seolah-olah dilengkapi dengan efek suara khusus yang mampu menembus dinding kamar Komaerah, bahkan tanpa memerlukan bantuan speaker.

Komaerah, yang terduduk di tepi tempat tidur dengan ekspresi lesu dan hati yang hancur, hanya bisa merespon dengan suara yang sama lesunya, "Iya..."

Namun, keheningan di kamar Komaerah tidak bertahan lama. Teriakan Kalista, ibu Komarah, memaecahnya dengan kekuatan yang mengguncang dinding kamar.

"Komar, beliin mak gula!" teriaknya dengan suara yang melampaui batas kewajaran, seolah-olah dia menjadi pemandu sorak di lapangan sepak bola yang mencoba memenangkan kejuaraan dunia, mungkin karena dia tidak mendengar sahutan dari anaknya.

"Iya, makkkk..." teriak Komaerah dengan frustasi, suaranya hampir tenggelam oleh teriakan ibunya yang menggelegar, seolah-olah sedang berkompetisi dengan suara lonceng sekolah.

"Uangnya di bawah kasur. Kembalianya untuk kamu," teriak Kalista sambil memberikan instruksi penting itu, seolah-olah memberikan misi rahasia kepada agen rahasia.

Komaerah terseyum kecut. Dia tidak bisa menahan gelak tawanya yang miris. "Di saat patah hati, seperti obatnya adalah duit," gumamnya sambil menggelengkan kepala dengan rasa heran, seolah-olah dia baru saja menemukan resep ajaib untuk menyembuhkan hati yang patah.

Setelah berhasil mengambil uang dari tempat rahasia yang diinstruksikan oleh ibunya, Komaerah segera bergegas ke warung terdekat.

Namun, begitu tiba di warung, dia langsung merasa kebingungan. Bagaimana cara bicara dengan sang penjaga? Pikirannya terasa kacau karena campur aduk perasaan gugup dan cemas.

"Mau beli apa, neng?" tanya Bu Retno, sang penjaga warung, dengan senyum ramahnya.

"Gula sekilo," jawab Komaerah setengah berbisik, merasa sedikit malu dengan kecilnya suaranya.

"Hah?" ucap Bu Retno, sambil mengorek telinganya dengan jarinya. "Mau beli apa?"

Komaerah merasa semakin gugup. "Beli gula sekilo," jawabnya dengan suara sedikit lebih keras, namun suaranya masih terdengar pelan.

"Tolong, dek, bisa diperjelas?" pinta Bu Retno dengan wajah sedikit kebingungan.

"Bel...i...gu...la...se...ki...lo," ucap Komaerah dengan suara yang agak jelas, namun tetap dengan suara kecilnya.

Bu Retno mengerutkan keningnya, mencoba mencerna ucapan Komaerah. Dia memperhatikan wajah Komaerah yang tampak gugup dan terkekeh dalam hati.

"Anak-anak muda sekarang, ke warung aja takut, introvert semua," gumamnya sendiri, sambil menatap-natap Komaerah seolah-olah dia sedang memeriksa spesimen langka di dalam laboratorium.

"Ini gulanya dan kembalianya," ucap Bu Retno sambil menyerahkan kantong gula dan uang kembali kepada Komaerah, sementara dia menghela napas panjang. Sejenak, dia merenung, heran dengan anak-anak di gang ini. Semuanya tampaknya pemalu dan jarang keluar rumah.

"Terima kasih," bisik Komaerah sambil menerima kantong tersebut, tetapi suaranya hampir tidak terdengar.

Di perjalanan pulang, Komaerah melangkah dengan langkah terburu-buru, seolah-olah dia sedang berlomba dengan waktu. Hatinya berdegup kencang, terbebani oleh kekhawatiran akan bertemu orang lain dan kebingungan ngobrol apa.

"Komariahhhh..." mendadak terdengar teriakan cempreng yang membuat Komariah terlonjak kaget.

Dengan refleks cepat, dia menoleh ke arah suara itu, hanya untuk menemukan Renata duduk dengan anggun di atas motornya, seakan-akan sedang berpose untuk iklan produk mewah.

"Maunya kemana?" tanya Renata dengan ramah, senyumnya yang manis membuat Komaerah semakin merasa kikuk di tempat.

"Pulang," jawab Komaerah, suaranya gemetar sedikit, takut terlihat terlalu canggung di hadapan temannya.

"Mau ku antar?" Renata menawarkan dengan senyum manisnya yang tak kunjung pudar.

"Pilihan yang sulit!" pikir Komaerah dalam hati, merasa bimbang. "Aku tidak ingin merepotkan orang lain, tapi jika menolak, rasanya tidak enak, seperti tidak menghargai tawarannya."

Sementara itu, Renata masih duduk anggun di atas motornya dengan sikap yang ramah, senyumnya terus terpancar tanpa henti, menunggu dengan sabar jawaban dari Komaerah.

Dia tidak menyadari bahwa ketegangan semakin memuncak bagi temannya itu, yang terasa seperti sedang berada di atas gunung roller coaster emosi, dengan setiap detik yang berlalu terasa seperti abad.

Namun, semakin dia berpikir, semakin ruwet pikirannya. Kata-kata tampaknya berputar-putar di dalam kepalanya tanpa arah yang jelas. Matanya melirik ke sana kemari, mencari bantuan dalam melihat ekspresi Renata, tetapi senyum manis temannya itu hanya membuatnya semakin bingung.

"Mau," jawab Komaerah dengan suara pasrah, merasa bahwa dia tidak punya pilihan lain.

Selama perjalanan, Renata banyak berceloteh dengan antusiasme yang tak tertahankan, seperti air terjun kata-kata yang tidak berhenti mengalir.

Dia menceritakan segala macam hal dari kehidupan sehari-hari hingga rencana-rencana masa depannya dengan detail yang membuat Komaerah merasa agak tercekik oleh banjir informasi tersebut.

Dan ketika Renata tertawa, Komaerah juga tertawa, seolah-olah dia sedang berpartisipasi dalam sebuah lelucon yang sangat lucu, tapi tidak tahu persis apa yang sedang terjadi. Itu adalah momen aneh di mana gelak tawa mereka berdua terdengar di tengah gemuruh jalanan yang sibuk.

Mereka berhenti di halaman rumah Komariah yang dipenuhi dengan beragam macam bunga, menyerupai sebuah kebun bunga yang indah yang tentu saja merupakan hasil kerja keras ibunya.

Berbagai warna dan aroma bunga-bunga itu menyambut kedatangan mereka dengan riang gembira, seolah-olah halaman rumah itu sendiri ingin memberikan sambutan yang hangat kepada para tamunya.

"Mau mampir enggak?" tawar Komaerah, mencoba terdengar santai, meskipun hatinya berdebar kencang, seperti orang yang mencoba memesan makanan di restoran mewah dengan budget yang pas-pasan.

"Mau," jawab Renata, sembari nyengir kuda dengan ekspresi yang tak terbantahkan. Dia turun dari motornya dengan lincahnya, tanpa ragu-ragu, seolah-olah dia adalah bintang film aksi yang baru saja mendarat dari lompatan yang epik.

Komaerah merasa seperti sebuah pesawat terbang yang baru saja mendarat dengan terburu-buru tanpa izin dari menara kontrol.

Dia meratapi nasibnya dengan frustasi, bertanya-tanya mengapa Renata harus tiba-tiba menjadi serius tentang tawaran yang sebenarnya hanya basa-basi.

Ini seperti berada dalam episode drama komedi di mana karakter utama terjebak dalam situasi konyol yang tak terduga.

"*Kenapa ya, orang-orang pada tahu mana yang nawarin beneran atau sekadar basa-basi*?" gumam Komaerah dalam hati, merasa seperti seorang pemeran yang tidak tahu harus berbuat apa dalam pertunjukan yang tak kunjung usai.

Dia merasa seperti sedang berada di tengah-tengah episode lucu dari serial TV komedi yang tidak pernah berakhir, dan dia tidak mendapat skrip!

Sementara itu, Renata dengan santainya menapaki halaman yang dipenuhi dengan keindahan bunga-bunga itu, tanpa merasakan kegelisahan yang menghantui Komaerah.

Dia tampaknya sama sekali tidak menyadari betapa konyolnya situasi ini bagi temannya yang merana. Mungkin dia pikir ini hanya bagian dari sketsa komedi besar yang disutradarai oleh kehidupan itu sendiri, dan dia sedang menikmati perannya dengan penuh semangat.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!