Di ruang tamu yang sunyi, suasana diisi oleh senandung lagu-lagu dari drama Korea yang menjadi favorit Renata. Dia duduk dengan santainya, terpesona oleh kenangan-kenangan yang terpatri dalam album foto di tangannya.
"Diminum dan dimakan," ucap Komaerah agak canggung, mencoba menyertakan dirinya dalam momen itu sambil meletakkan gelas dan toples di atas meja dengan kekakuan.
"Iya," balas Renata sambil cengar-cengir, menyambut gestur Komaerah dengan senyuman hangat.
Keduanya terdiam cukup lama, suasana hening hanya dipecah oleh suara kunyahan dari mulut Renata yang sedang menikmati camilan.
Semua terasa begitu damai dan tenang, hingga tiba-tiba, dalam keheningan tersebut, Renata memutuskan untuk memanggil Komaerah dengan panggilan singkat.
"Mar?" Renata memanggil, suaranya bergetar di udara, menciptakan keajaiban di dalam keheningan.
"Iya?" jawab Komaerah dengan ragu, matanya memandang Renata dengan curiga, tidak yakin akan kemana arah percakapan ini akan berujung.
Ada ketegangan yang terasa di udara, seakan-akan sesuatu yang tak terduga sedang menanti di balik panggilan singkat itu.
Di tengah suasana santai di ruang tamu, Renata dengan polosnya menikmati rempeyek sambil menyelipkan pertanyaan yang tak terduga, "Kamu jomblo?"
"Hah? Iya," jawabnya dengan pasrah, seolah-olah menyerah pada kenyataan yang sudah terpampang jelas.
Renata, yang tampaknya tidak terganggu dengan kejutan yang dia ciptakan, melanjutkan kegiatan makan rempeyeknya sambil menatap Komaerah dengan serius.
"Mau aku cariin enggak?" tawarnya, sambil memegang toples rempeyek, duduk bersila di sofa dengan gaya yang seolah-olah dia adalah agen asmara yang siap bertugas.
Komaerah, yang mulai merasa terganggu dengan insistensi Renata, segera menolak tawaran itu. "Enggak, enggak usah," tolaknya, mencoba menyingkirkan tawaran dengan lembut namun tegas.
"Oh, kalau mau cari pacar bilang-bilang ya, entar aku promosiin," cengir Renata dengan semangatnya yang khas. Komaerah hanya bisa tersenyum paksa.
Pasalnya, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia yakin sekali tidak ada yang akan tertarik padanya. Terlebih lagi, dia merasa bahwa dirinya adalah sosok yang pemalu dan membosankan.
Dalam benak Komaerah, bayangan mencari pacar seperti mencari jarum di tumpukan jerami terasa begitu menakutkan.
"Kamu suka drakor enggak?" tanya Renata tiba-tiba, seolah-olah dia memiliki radar khusus yang mendeteksi kapan harus membawa topik tentang drama Korea untuk menyelamatkan situasi dari kecanggungan.
Komaerah, yang sebenarnya lebih memilih menyendiri dengan buku-bukunya daripada menonton drama Korea, menjawab dengan jujur, "Enggak terlalu."
Renata, yang tak kenal lelah dalam menghadapi tantangan, langsung menyimpulkan dengan antusias, "Berarti suka dong!"
Namun, Komaerah yang tahu betul kecenderungan Renata untuk menggembar-gemborkan hobi-hobinya, hanya bisa mengerutkan kening, memperjuangkan keinginannya untuk tidak terjebak dalam percakapan tentang drakor.
"Enggak bisa dibilang suka juga sih," batinnya meronta-ronta, mencoba menghindari topik yang sepertinya tak akan pernah habis dibicarakan oleh Renata.
Sementara itu, di dalam pikirannya, Komaerah membayangkan dirinya terjebak dalam pusaran percakapan tentang drama Korea.
Dia membayangkan dirinya duduk di tengah-tengah pesta, dikelilingi oleh poster-poster drama Korea, sementara Renata dan teman-teman lainnya membicarakan adegan-adegan favorit mereka dengan penuh semangat. Dia hanya bisa berharap agar ada lubang di bumi yang bisa menelannya sekarang juga.
Renata, dengan semangat yang tak kenal lelah untuk memperkenalkan Komaerah pada dunia perdrakoran, tidak henti-hentinya menyuarakan ide-ide briliannya.
Dengan mata berbinar-binar, dia menyatakan, "Aku suka banget sama drakor. Lebih ke drak sih daripada romance. Tapi, kalau untuk kamu yang pemula, coba aja tonton yang romance."
Komaerah, yang merasa sedikit canggung dengan semua perhatian yang diberikan padanya, hanya bisa menjawab dengan gelengan kecil. "Heheheeee, iya," ucapnya, mencoba menampilkan senyum yang canggung di wajahnya.
Namun, Renata tidak membiarkan Komaerah menikmati kecanggungannya sendiri. Dengan antusiasme yang tak terbendung, dia terus saja berbicara, "Banyak sih list drakor yang harus kamu tonton. Apalagi kamu jomblo nih. Nikmatilah waktu mu untuk menonton semuanya."
Komaerah, yang sedikit terkejut dengan penyebutan status jomblo-nya, hanya bisa mengangguk setuju dengan canggung.
Di dalam hatinya, dia merasa agak tersinggung dengan pembicaraan tentang status percintaannya yang terus-menerus diungkit oleh Renata. Tapi, pada saat yang sama, dia juga merasa sedikit penasaran dengan drama-drama Korea yang begitu digandrungi oleh temannya ini.
Renata, dengan senangnya, menyodorkan sebuah flashdisk yang isinya beberapa drama kepada Komaerah. "Ini flashdisk isinya ada beberapa drama. Kamu tonton aja dulu. Kalau udah selesai, kamu bisa main ke rumahku," ujarnya sambil tersenyum lebar, seolah-olah memberi tantangan baru kepada Komaerah.
Komaerah, yang merasa agak terkejut dengan tindakan mendadak Renata, hanya bisa menatap flashdisk tersebut dengan ekspresi heran. Dalam hatinya, dia berteriak, "Aku enggak mau! Tolong ambil kembali!" Tetapi tentu saja, jeritannya itu hanya terdengar dalam pikirannya, karena dia tahu bahwa Renata akan merasa terlalu senang untuk memperhatikan penolakannya.
Renata, yang tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran terhadap kecanggungan Komaerah, hanya mengatur flashdisk tersebut di atas meja dengan penuh semangat.
"Aku pulang dulu ya. Kalau udah selesai nonton, kasih pendapatmu," pamit Renata dengan riang, seakan-akan tidak menyadari ketidaknyamanan yang dia ciptakan.
Komaerah hanya bisa pasrah sembari melihat Renata yang pergi dengan flashdisk yang masih berada di meja. Di dalam hatinya, dia mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa mengatakan "tidak" dengan lebih tegas. "Kenapa aku selalu menjadi korban dari kegilaan Renata?" gumamnya dalam hati, sambil meratapi nasibnya yang terus-menerus terjebak dalam drama-drama yang dibuat oleh temannya itu.
Beberapa menit kemudian, setelah Renata benar-benar pergi, Komaerah akhirnya mengambil flashdisk tersebut dengan hati-hati. Dengan perasaan yang campur aduk antara rasa penasaran dan kekhawatiran.
Di sekolah, Komaerah hanya bisa menghela napas panjang, seakan-akan ia mencoba meniup jauh semua masalahnya.
Namun, keheningan itu terputus oleh suara Zidan yang duduk di depannya, "Kamu kenapa?" tanyanya dengan wajah penuh perhatian.
Komaerah, terdiam dalam keheningan, matanya tampak terpesona oleh hampa, seolah-olah dia tenggelam dalam lautan kesedihan yang gelap. "*My crush yang tinggal kenangan*," batinnya dengan suara miris, seolah-olah dia adalah seorang penyair yang sedang meratapi kehilangan cinta.
Tentu saja, "*crush*" Komaerah adalah Zidan sendiri. Namun, ironisnya, Zidan tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Komaerah.
Bagi Zidan, Komaerah hanyalah seorang teman biasa, sementara hatinya sudah terbang ke arah orang lain yang tentunya lebih "*goodlooking*" dibandingkan Komaerah.
"Aku enggak papa," jawab Komaerah dengan suara kecil, seakan-akan suaranya hanyalah sebuah bunga yang layu, terdampar di padang gersang harapannya yang pupus.
"Ya udah. Aku ke sana dulu ya," pamit Zidan, meninggalkan Komaerah dengan sebuah senyum yang mengisyaratkan pergi menuju keajaiban.
Namun, belum sempat Komaerah merespon, Zidan sudah berlalu pergi menuju arah bidadarinya, Vivian, seolah-olah ada magnet kuat yang menariknya padanya, meninggalkan Komaerah dengan rasa hampa dan kecewa yang mendalam.
"*Enggak adil banget. Dunia ini milik si goodlooking*," keluh Komaerah dengan ekspresi wajah yang menyiratkan bahwa dia adalah korban dari keadilan yang timpang.
Dia merenung sejenak, menggumamkan pertanyaan filosofis dalam hatinya, "*Mengapa dunia ini begitu berpihak pada yang berwajah tampan dan menarik? Apakah semua orang yang cantik dan ganteng sudah diatur untuk memenangkan permainan kehidupan*?"
Namun, ketika pikirannya meluncur ke arah nama 'Vivian', Komaerah merasa seperti dia sedang berada di tengah-tengah episode drama komedi yang kocak. "*Sedangkan aku, Komaerah, yang sering dipanggil Komariah ataupun Komar*," keluhnya dengan nada humor dalam hati.
Dia merasakan sebuah ironi yang konyol dalam nasibnya. "*Apakah ini mungkin karena nama yang sulit dipahami itu menjadi kutukan cinta*?" tanyanya pada dirinya sendiri dengan sedikit tawa getir.
Tetapi, meskipun terdapat sentuhan humor dalam cara Komaerah menyikapi situasinya, tetap saja rasa kekecewaan dan iri hati terus menyelinap dalam benaknya.
"*Mungkin aku harus mencoba mengganti nama menjadi 'Komaseksi' atau 'Komantap*'," gurau Komaerah dalam pikirannya, mencoba menemukan sedikit hiburan dari kebingungannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments