NovelToon NovelToon

Damaland Delirium

Obatnya Duit

Komaerah, gadis dengan wajah yang sedang sedih dan hati yang hancur, terduduk di lantai kamarnya. Dia baru saja mengetahui bahwa pujaan hatinya sudah memiliki 'crush' alias naksir orang lain. Tiba-tiba, sebuah teriakan menggelegar memecah keheningan di kamarnya.

"Komar, beliin mak gula sana di warung!" teriakan Kalista yang super heboh itu seolah-olah dilengkapi dengan efek suara khusus yang mampu menembus dinding kamar Komaerah, bahkan tanpa memerlukan bantuan speaker.

Komaerah, yang terduduk di tepi tempat tidur dengan ekspresi lesu dan hati yang hancur, hanya bisa merespon dengan suara yang sama lesunya, "Iya..."

Namun, keheningan di kamar Komaerah tidak bertahan lama. Teriakan Kalista, ibu Komarah, memaecahnya dengan kekuatan yang mengguncang dinding kamar.

"Komar, beliin mak gula!" teriaknya dengan suara yang melampaui batas kewajaran, seolah-olah dia menjadi pemandu sorak di lapangan sepak bola yang mencoba memenangkan kejuaraan dunia, mungkin karena dia tidak mendengar sahutan dari anaknya.

"Iya, makkkk..." teriak Komaerah dengan frustasi, suaranya hampir tenggelam oleh teriakan ibunya yang menggelegar, seolah-olah sedang berkompetisi dengan suara lonceng sekolah.

"Uangnya di bawah kasur. Kembalianya untuk kamu," teriak Kalista sambil memberikan instruksi penting itu, seolah-olah memberikan misi rahasia kepada agen rahasia.

Komaerah terseyum kecut. Dia tidak bisa menahan gelak tawanya yang miris. "Di saat patah hati, seperti obatnya adalah duit," gumamnya sambil menggelengkan kepala dengan rasa heran, seolah-olah dia baru saja menemukan resep ajaib untuk menyembuhkan hati yang patah.

Setelah berhasil mengambil uang dari tempat rahasia yang diinstruksikan oleh ibunya, Komaerah segera bergegas ke warung terdekat.

Namun, begitu tiba di warung, dia langsung merasa kebingungan. Bagaimana cara bicara dengan sang penjaga? Pikirannya terasa kacau karena campur aduk perasaan gugup dan cemas.

"Mau beli apa, neng?" tanya Bu Retno, sang penjaga warung, dengan senyum ramahnya.

"Gula sekilo," jawab Komaerah setengah berbisik, merasa sedikit malu dengan kecilnya suaranya.

"Hah?" ucap Bu Retno, sambil mengorek telinganya dengan jarinya. "Mau beli apa?"

Komaerah merasa semakin gugup. "Beli gula sekilo," jawabnya dengan suara sedikit lebih keras, namun suaranya masih terdengar pelan.

"Tolong, dek, bisa diperjelas?" pinta Bu Retno dengan wajah sedikit kebingungan.

"Bel...i...gu...la...se...ki...lo," ucap Komaerah dengan suara yang agak jelas, namun tetap dengan suara kecilnya.

Bu Retno mengerutkan keningnya, mencoba mencerna ucapan Komaerah. Dia memperhatikan wajah Komaerah yang tampak gugup dan terkekeh dalam hati.

"Anak-anak muda sekarang, ke warung aja takut, introvert semua," gumamnya sendiri, sambil menatap-natap Komaerah seolah-olah dia sedang memeriksa spesimen langka di dalam laboratorium.

"Ini gulanya dan kembalianya," ucap Bu Retno sambil menyerahkan kantong gula dan uang kembali kepada Komaerah, sementara dia menghela napas panjang. Sejenak, dia merenung, heran dengan anak-anak di gang ini. Semuanya tampaknya pemalu dan jarang keluar rumah.

"Terima kasih," bisik Komaerah sambil menerima kantong tersebut, tetapi suaranya hampir tidak terdengar.

Di perjalanan pulang, Komaerah melangkah dengan langkah terburu-buru, seolah-olah dia sedang berlomba dengan waktu. Hatinya berdegup kencang, terbebani oleh kekhawatiran akan bertemu orang lain dan kebingungan ngobrol apa.

"Komariahhhh..." mendadak terdengar teriakan cempreng yang membuat Komariah terlonjak kaget.

Dengan refleks cepat, dia menoleh ke arah suara itu, hanya untuk menemukan Renata duduk dengan anggun di atas motornya, seakan-akan sedang berpose untuk iklan produk mewah.

"Maunya kemana?" tanya Renata dengan ramah, senyumnya yang manis membuat Komaerah semakin merasa kikuk di tempat.

"Pulang," jawab Komaerah, suaranya gemetar sedikit, takut terlihat terlalu canggung di hadapan temannya.

"Mau ku antar?" Renata menawarkan dengan senyum manisnya yang tak kunjung pudar.

"Pilihan yang sulit!" pikir Komaerah dalam hati, merasa bimbang. "Aku tidak ingin merepotkan orang lain, tapi jika menolak, rasanya tidak enak, seperti tidak menghargai tawarannya."

Sementara itu, Renata masih duduk anggun di atas motornya dengan sikap yang ramah, senyumnya terus terpancar tanpa henti, menunggu dengan sabar jawaban dari Komaerah.

Dia tidak menyadari bahwa ketegangan semakin memuncak bagi temannya itu, yang terasa seperti sedang berada di atas gunung roller coaster emosi, dengan setiap detik yang berlalu terasa seperti abad.

Namun, semakin dia berpikir, semakin ruwet pikirannya. Kata-kata tampaknya berputar-putar di dalam kepalanya tanpa arah yang jelas. Matanya melirik ke sana kemari, mencari bantuan dalam melihat ekspresi Renata, tetapi senyum manis temannya itu hanya membuatnya semakin bingung.

"Mau," jawab Komaerah dengan suara pasrah, merasa bahwa dia tidak punya pilihan lain.

Selama perjalanan, Renata banyak berceloteh dengan antusiasme yang tak tertahankan, seperti air terjun kata-kata yang tidak berhenti mengalir.

Dia menceritakan segala macam hal dari kehidupan sehari-hari hingga rencana-rencana masa depannya dengan detail yang membuat Komaerah merasa agak tercekik oleh banjir informasi tersebut.

Dan ketika Renata tertawa, Komaerah juga tertawa, seolah-olah dia sedang berpartisipasi dalam sebuah lelucon yang sangat lucu, tapi tidak tahu persis apa yang sedang terjadi. Itu adalah momen aneh di mana gelak tawa mereka berdua terdengar di tengah gemuruh jalanan yang sibuk.

Mereka berhenti di halaman rumah Komariah yang dipenuhi dengan beragam macam bunga, menyerupai sebuah kebun bunga yang indah yang tentu saja merupakan hasil kerja keras ibunya.

Berbagai warna dan aroma bunga-bunga itu menyambut kedatangan mereka dengan riang gembira, seolah-olah halaman rumah itu sendiri ingin memberikan sambutan yang hangat kepada para tamunya.

"Mau mampir enggak?" tawar Komaerah, mencoba terdengar santai, meskipun hatinya berdebar kencang, seperti orang yang mencoba memesan makanan di restoran mewah dengan budget yang pas-pasan.

"Mau," jawab Renata, sembari nyengir kuda dengan ekspresi yang tak terbantahkan. Dia turun dari motornya dengan lincahnya, tanpa ragu-ragu, seolah-olah dia adalah bintang film aksi yang baru saja mendarat dari lompatan yang epik.

Komaerah merasa seperti sebuah pesawat terbang yang baru saja mendarat dengan terburu-buru tanpa izin dari menara kontrol.

Dia meratapi nasibnya dengan frustasi, bertanya-tanya mengapa Renata harus tiba-tiba menjadi serius tentang tawaran yang sebenarnya hanya basa-basi.

Ini seperti berada dalam episode drama komedi di mana karakter utama terjebak dalam situasi konyol yang tak terduga.

"*Kenapa ya, orang-orang pada tahu mana yang nawarin beneran atau sekadar basa-basi*?" gumam Komaerah dalam hati, merasa seperti seorang pemeran yang tidak tahu harus berbuat apa dalam pertunjukan yang tak kunjung usai.

Dia merasa seperti sedang berada di tengah-tengah episode lucu dari serial TV komedi yang tidak pernah berakhir, dan dia tidak mendapat skrip!

Sementara itu, Renata dengan santainya menapaki halaman yang dipenuhi dengan keindahan bunga-bunga itu, tanpa merasakan kegelisahan yang menghantui Komaerah.

Dia tampaknya sama sekali tidak menyadari betapa konyolnya situasi ini bagi temannya yang merana. Mungkin dia pikir ini hanya bagian dari sketsa komedi besar yang disutradarai oleh kehidupan itu sendiri, dan dia sedang menikmati perannya dengan penuh semangat.

Dunia Milik Good looking

Di ruang tamu yang sunyi, suasana diisi oleh senandung lagu-lagu dari drama Korea yang menjadi favorit Renata. Dia duduk dengan santainya, terpesona oleh kenangan-kenangan yang terpatri dalam album foto di tangannya.

"Diminum dan dimakan," ucap Komaerah agak canggung, mencoba menyertakan dirinya dalam momen itu sambil meletakkan gelas dan toples di atas meja dengan kekakuan.

"Iya," balas Renata sambil cengar-cengir, menyambut gestur Komaerah dengan senyuman hangat.

Keduanya terdiam cukup lama, suasana hening hanya dipecah oleh suara kunyahan dari mulut Renata yang sedang menikmati camilan.

Semua terasa begitu damai dan tenang, hingga tiba-tiba, dalam keheningan tersebut, Renata memutuskan untuk memanggil Komaerah dengan panggilan singkat.

"Mar?" Renata memanggil, suaranya bergetar di udara, menciptakan keajaiban di dalam keheningan.

"Iya?" jawab Komaerah dengan ragu, matanya memandang Renata dengan curiga, tidak yakin akan kemana arah percakapan ini akan berujung.

Ada ketegangan yang terasa di udara, seakan-akan sesuatu yang tak terduga sedang menanti di balik panggilan singkat itu.

Di tengah suasana santai di ruang tamu, Renata dengan polosnya menikmati rempeyek sambil menyelipkan pertanyaan yang tak terduga, "Kamu jomblo?"

"Hah? Iya," jawabnya dengan pasrah, seolah-olah menyerah pada kenyataan yang sudah terpampang jelas.

Renata, yang tampaknya tidak terganggu dengan kejutan yang dia ciptakan, melanjutkan kegiatan makan rempeyeknya sambil menatap Komaerah dengan serius.

"Mau aku cariin enggak?" tawarnya, sambil memegang toples rempeyek, duduk bersila di sofa dengan gaya yang seolah-olah dia adalah agen asmara yang siap bertugas.

Komaerah, yang mulai merasa terganggu dengan insistensi Renata, segera menolak tawaran itu. "Enggak, enggak usah," tolaknya, mencoba menyingkirkan tawaran dengan lembut namun tegas.

"Oh, kalau mau cari pacar bilang-bilang ya, entar aku promosiin," cengir Renata dengan semangatnya yang khas. Komaerah hanya bisa tersenyum paksa.

Pasalnya, di lubuk hatinya yang paling dalam, dia yakin sekali tidak ada yang akan tertarik padanya. Terlebih lagi, dia merasa bahwa dirinya adalah sosok yang pemalu dan membosankan.

Dalam benak Komaerah, bayangan mencari pacar seperti mencari jarum di tumpukan jerami terasa begitu menakutkan.

"Kamu suka drakor enggak?" tanya Renata tiba-tiba, seolah-olah dia memiliki radar khusus yang mendeteksi kapan harus membawa topik tentang drama Korea untuk menyelamatkan situasi dari kecanggungan.

Komaerah, yang sebenarnya lebih memilih menyendiri dengan buku-bukunya daripada menonton drama Korea, menjawab dengan jujur, "Enggak terlalu."

Renata, yang tak kenal lelah dalam menghadapi tantangan, langsung menyimpulkan dengan antusias, "Berarti suka dong!"

Namun, Komaerah yang tahu betul kecenderungan Renata untuk menggembar-gemborkan hobi-hobinya, hanya bisa mengerutkan kening, memperjuangkan keinginannya untuk tidak terjebak dalam percakapan tentang drakor.

"Enggak bisa dibilang suka juga sih," batinnya meronta-ronta, mencoba menghindari topik yang sepertinya tak akan pernah habis dibicarakan oleh Renata.

Sementara itu, di dalam pikirannya, Komaerah membayangkan dirinya terjebak dalam pusaran percakapan tentang drama Korea.

Dia membayangkan dirinya duduk di tengah-tengah pesta, dikelilingi oleh poster-poster drama Korea, sementara Renata dan teman-teman lainnya membicarakan adegan-adegan favorit mereka dengan penuh semangat. Dia hanya bisa berharap agar ada lubang di bumi yang bisa menelannya sekarang juga.

Renata, dengan semangat yang tak kenal lelah untuk memperkenalkan Komaerah pada dunia perdrakoran, tidak henti-hentinya menyuarakan ide-ide briliannya.

Dengan mata berbinar-binar, dia menyatakan, "Aku suka banget sama drakor. Lebih ke drak sih daripada romance. Tapi, kalau untuk kamu yang pemula, coba aja tonton yang romance."

Komaerah, yang merasa sedikit canggung dengan semua perhatian yang diberikan padanya, hanya bisa menjawab dengan gelengan kecil. "Heheheeee, iya," ucapnya, mencoba menampilkan senyum yang canggung di wajahnya.

Namun, Renata tidak membiarkan Komaerah menikmati kecanggungannya sendiri. Dengan antusiasme yang tak terbendung, dia terus saja berbicara, "Banyak sih list drakor yang harus kamu tonton. Apalagi kamu jomblo nih. Nikmatilah waktu mu untuk menonton semuanya."

Komaerah, yang sedikit terkejut dengan penyebutan status jomblo-nya, hanya bisa mengangguk setuju dengan canggung.

Di dalam hatinya, dia merasa agak tersinggung dengan pembicaraan tentang status percintaannya yang terus-menerus diungkit oleh Renata. Tapi, pada saat yang sama, dia juga merasa sedikit penasaran dengan drama-drama Korea yang begitu digandrungi oleh temannya ini.

Renata, dengan senangnya, menyodorkan sebuah flashdisk yang isinya beberapa drama kepada Komaerah. "Ini flashdisk isinya ada beberapa drama. Kamu tonton aja dulu. Kalau udah selesai, kamu bisa main ke rumahku," ujarnya sambil tersenyum lebar, seolah-olah memberi tantangan baru kepada Komaerah.

Komaerah, yang merasa agak terkejut dengan tindakan mendadak Renata, hanya bisa menatap flashdisk tersebut dengan ekspresi heran. Dalam hatinya, dia berteriak, "Aku enggak mau! Tolong ambil kembali!" Tetapi tentu saja, jeritannya itu hanya terdengar dalam pikirannya, karena dia tahu bahwa Renata akan merasa terlalu senang untuk memperhatikan penolakannya.

Renata, yang tidak menunjukkan tanda-tanda kesadaran terhadap kecanggungan Komaerah, hanya mengatur flashdisk tersebut di atas meja dengan penuh semangat.

"Aku pulang dulu ya. Kalau udah selesai nonton, kasih pendapatmu," pamit Renata dengan riang, seakan-akan tidak menyadari ketidaknyamanan yang dia ciptakan.

Komaerah hanya bisa pasrah sembari melihat Renata yang pergi dengan flashdisk yang masih berada di meja. Di dalam hatinya, dia mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa mengatakan "tidak" dengan lebih tegas. "Kenapa aku selalu menjadi korban dari kegilaan Renata?" gumamnya dalam hati, sambil meratapi nasibnya yang terus-menerus terjebak dalam drama-drama yang dibuat oleh temannya itu.

Beberapa menit kemudian, setelah Renata benar-benar pergi, Komaerah akhirnya mengambil flashdisk tersebut dengan hati-hati. Dengan perasaan yang campur aduk antara rasa penasaran dan kekhawatiran.

Di sekolah, Komaerah hanya bisa menghela napas panjang, seakan-akan ia mencoba meniup jauh semua masalahnya.

Namun, keheningan itu terputus oleh suara Zidan yang duduk di depannya, "Kamu kenapa?" tanyanya dengan wajah penuh perhatian.

Komaerah, terdiam dalam keheningan, matanya tampak terpesona oleh hampa, seolah-olah dia tenggelam dalam lautan kesedihan yang gelap. "*My crush yang tinggal kenangan*," batinnya dengan suara miris, seolah-olah dia adalah seorang penyair yang sedang meratapi kehilangan cinta.

Tentu saja, "*crush*" Komaerah adalah Zidan sendiri. Namun, ironisnya, Zidan tidak memiliki perasaan yang sama terhadap Komaerah.

Bagi Zidan, Komaerah hanyalah seorang teman biasa, sementara hatinya sudah terbang ke arah orang lain yang tentunya lebih "*goodlooking*" dibandingkan Komaerah.

"Aku enggak papa," jawab Komaerah dengan suara kecil, seakan-akan suaranya hanyalah sebuah bunga yang layu, terdampar di padang gersang harapannya yang pupus.

"Ya udah. Aku ke sana dulu ya," pamit Zidan, meninggalkan Komaerah dengan sebuah senyum yang mengisyaratkan pergi menuju keajaiban.

Namun, belum sempat Komaerah merespon, Zidan sudah berlalu pergi menuju arah bidadarinya, Vivian, seolah-olah ada magnet kuat yang menariknya padanya, meninggalkan Komaerah dengan rasa hampa dan kecewa yang mendalam.

"*Enggak adil banget. Dunia ini milik si goodlooking*," keluh Komaerah dengan ekspresi wajah yang menyiratkan bahwa dia adalah korban dari keadilan yang timpang.

Dia merenung sejenak, menggumamkan pertanyaan filosofis dalam hatinya, "*Mengapa dunia ini begitu berpihak pada yang berwajah tampan dan menarik? Apakah semua orang yang cantik dan ganteng sudah diatur untuk memenangkan permainan kehidupan*?"

Namun, ketika pikirannya meluncur ke arah nama 'Vivian', Komaerah merasa seperti dia sedang berada di tengah-tengah episode drama komedi yang kocak. "*Sedangkan aku, Komaerah, yang sering dipanggil Komariah ataupun Komar*," keluhnya dengan nada humor dalam hati.

Dia merasakan sebuah ironi yang konyol dalam nasibnya. "*Apakah ini mungkin karena nama yang sulit dipahami itu menjadi kutukan cinta*?" tanyanya pada dirinya sendiri dengan sedikit tawa getir.

Tetapi, meskipun terdapat sentuhan humor dalam cara Komaerah menyikapi situasinya, tetap saja rasa kekecewaan dan iri hati terus menyelinap dalam benaknya.

"*Mungkin aku harus mencoba mengganti nama menjadi 'Komaseksi' atau 'Komantap*'," gurau Komaerah dalam pikirannya, mencoba menemukan sedikit hiburan dari kebingungannya.

Cowok Pulu-Pulu

Di tengah bisingnya kelas yang tengah jam kosong, Komaerah memilih untuk pura-pura tidur. Dengan mata yang terpejam rapat, dia berharap bisa menyelamatkan diri dari segala pembicaraan yang mungkin membuat hatinya semakin terluka.

Namun, rencana Komaerah untuk menikmati ketenangan palsu itu hancur berantakan ketika Vivian, dengan nada suara yang tak bisa diabaikan, tiba-tiba menyelipkan sebuah komentar pedas, "Tahu enggak, ku rasa Komar suka kamu, deh, Zid."

Zidan dengan santainya merespons, "Enggak mungkinlah," sambil tertawa renyah seperti suara rengginang yang baru digoreng.

Tawaannya seolah-olah memenuhi seluruh ruangan, membuat Komaerah merasa seperti dia sedang berada dalam sebuah episode acara komedi yang terlalu konyol untuk dianggap nyata.

"Kelihatan kali dari sorot matanya kalau dia suka kamu," ucap Vivin sambil tersenyum manis, seolah-olah dia adalah penasihat cinta yang ahli.

"Cemburu ya?" tanya Zidan dengan senyuman kemenangan yang sulit disembunyikan di wajahnya.

Sementara Vivin dan Zidan tengah asyik dalam percakapan mereka tentang cinta, Komaerah masih berusaha pura-pura tidur. Dengan wajah yang terlihat tenang, tetapi pikirannya jauh dari ketenangan. Dalam hatinya, dia merenung dengan humor tentang situasi yang cukup absurd ini.

"Apa mungkin kita hanya dekat karena kamu ingin melihat orang yang kamu suka cemburu padamu?" gumam Komaerah dalam hati, dengan nada yang campur aduk antara penasaran dan sedikit candaan.

Dia menggelengkan kepala dalam kebingungan, seolah-olah mencoba menyusun puzzle yang aneh dari kehidupannya.

Perasaan Komaerah semakin campur aduk. Setelah pulang sekolah, dia langsung menutup rapat kamarnya dan rebahan di kasurnya. Dengan mata yang memancarkan kelelahan dan hati yang penuh dengan kebingungan, dia merenungkan tentang kisah cintanya yang tak kunjung jelas.

"Kisah cinta yang menyedihkan," gumamnya sambil tertawa getir. Tawa dan kesedihan bercampur menjadi satu dalam keheningan kamarnya. Baginya, kisah cintanya seperti sebuah roller coaster emosional yang tak pernah berhenti berputar.

"Komar... Komar..." panggil sebuah suara yang sangat dikenal oleh Komaerah.

"Bentar!" teriak Komaerah dari dalam kamar.

Dengan cepatnya, Komaerah berlari menuju pintu dan membukanya dengan penuh semangat. Di hadapannya, tampaklah Renata dengan senyum lebar yang terpancar di wajahnya, seolah-olah dia sedang memenangkan lomba senyum terlebar.

"Ngapain?" tanya Komaerah dengan wajah bingung, matanya membulat saat melihat tas laptop milik Renata.

"Aku mau kasih drakor yang harus kamu tonton," jawab Renata tanpa ragu, sambil masuk ke dalam rumah Komaerah tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Komaerah hanya bisa memicingkan mata dengan heran, tidak bisa menyembunyikan kebingungannya. Dia merasa seperti sedang terjebak dalam labirin kejutan.

"Aku lagi enggak mood," ucapnya pelan, tetapi suaranya masih cukup terdengar oleh Renata.

Renata hanya tersenyum dan meletakkan tas laptopnya di atas meja, seolah-olah dia tidak menghiraukan penolakan Komaerah.

Renata kemudian mengeluarkan beberapa cemilan dari tasnya, seakan-akan dia adalah pahlawan yang datang membawa cemilan di tengah-tengah keheningan.

"Kenapa? Ada masalah?" tanya Renata, dengan ekspresi yang penuh perhatian.

Komaerah merasa seperti dia sedang terjebak dalam labirin pikirannya sendiri. "*Padahal kita cuma teman dan jarang berkomunikasi. Bahkan kita bersekolah di tempat yang berbeda. Tapi kenapa dia baik sama aku? Apakah karena dia pikir aku suka drakor sama seperti dia*?" batin Komaerah, sambil mencoba memahami keanehan situasi yang tengah dialaminya.

"Enggak ada," bohong Komaerah dengan canggung, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

"Aku tuh bisa baca mimik wajah seseorang dan aku bisa bedain mana orang yang baik dan jahat," ucap Renata, seolah-olah dia adalah seorang ahli psikolog yang siap memberikan analisis mendalam tentang setiap ekspresi wajah.

Komaerah hanya bisa mengangguk setuju, meskipun dalam hatinya dia merasa bahwa dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Renata. Dia duduk di samping Renata, merasa ragu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

"Cerita aja, aku dengerin kok. Siapa tahu aku bisa kasih solusi," bujuk Renata dengan senyum ramahnya, seperti seorang terapis yang siap mendengarkan semua keluhan kliennya.

Komaerah terdiam sejenak, merasa sangat terharu oleh tawaran Renata untuk mendengarkan masalahnya. "*Jadi begini, ya punya temen yang mau nampung cerita kita*," cerita Komaerah dengan nada miris yang tak terbendung.

Renata hanya mendengarkan dengan serius, matanya berbinar-binar seolah-olah dia sedang mendengarkan cerita epik yang belum pernah didengar sebelumnya.

"Cerita, kom! Aku siap mendengarkan semua ceritamu," ujarnya dengan semangat yang berlebihan.

Komaerah menghela napas panjang, merasakan tekanan untuk bercerita. "Jadi begini, aku, punya orang yang kusuka. Kita sekelas. Selama ini aku kira dia dekat dengan aku karena dia punya perasaan," ucapnya dengan suara yang terbata-bata, mencoba mengekspresikan kegelisahan yang terpendam.

"Terus?" tanya Renata dengan tatapan penuh antusiasme, penasaran dengan kelanjutan cerita Komaerah.

"Nyatanya, dia dekat dengan aku karena dia ingin orang yang dia suka cemburu. Dan pada akhirnya, aku sadar diri," lanjut Komaerah, mencoba menahan tawa pahitnya saat mengingat kembali kejadian itu.

Renata mendengarkan dengan serius, matanya penuh dengan kepedulian dan empati. Namun, ketika dia melihat ekspresi murung di wajah Komaerah, dia mulai merasa iba. Hatinya terasa terenyuh melihat sahabatnya mengalami rasa sakit seperti itu.

"Aku enggak secantik dia, enggak seceria dia. Beda dengan aku yang pendiam, suram, dan sulit berkomunikasi dengan orang," tambah Komaerah dengan nada sedih, mencoba menggambarkan perasaannya yang terpuruk.

Tanpa disadari, air mata mulai mengalir dari mata Komaerah, menggambarkan betapa dalamnya kesedihan yang dia rasakan.

Namun, saat dia melihat Renata, dia kaget menemukan bahwa Renata juga menangis. Bahkan, ingus keluar banyak dari hidungnya, membuat Komaerah terkejut.

Kedua gadis itu saling menatap, masing-masing terkejut dengan reaksi yang tidak terduga ini. Kemudian, tiba-tiba, Renata tersenyum di tengah-tengah tangisannya yang kacau.

"Ingusmu, Ren," terkejut Komaerah, menunjuk ke hidung Renata yang masih sedikit terkumpul ingus.

"Maaf, ceritamu menyedihkan banget," ucap Renata sambil mengambil tisu dan membersihkan hidungnya dengan cepat, tampak sedikit malu karena kejadian itu.

"Lupain aja cowok itu. Di luar sana masih banyak cowok yang lebih dari dia. Dan lebih baik nonton drakor aja," saran Renata dengan nada serius, seolah-olah drakor adalah jawaban atas segala masalah cinta.

"Iya," ucap Komaerah dengan nada pasrah, menerima saran Renata dengan hati terbuka. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan pembicaraan, Renata tiba-tiba tampak menggebu-gebu.

"Eh, tapi nanti dulu. Aku enggak terima kalau kamu disakiti sama cowok pulu-pulu itu!" ucap Renata tiba-tiba dengan semangat yang meledak-ledak, membuat Komaerah sedikit terkejut dengan perubahan mendadak dalam suasana hati Renata.

"Sebenarnya ini kisah siapa sih? Kenapa dia yang marah?" batin Komaerah, matanya masih memandang Renata dengan kebingungan yang jelas terpancar dari wajahnya.

Komaerah tidak bisa menahan keheranan melihat perubahan drastis dalam suasana hati Renata, dari yang awalnya santai menjadi begitu bersemangat dan penuh tekad.

Namun, Renata hanya tersenyum misterius, seolah-olah dia memiliki rahasia besar yang hanya dia sendiri yang tahu. "Kamu enggak usah sedih. Karena pada ujungnya dia yang akan menyesal," ucap Renata dengan nada penuh keyakinan, sementara matanya berkilat dengan semangat yang tak terduga.

Komaerah hanya bisa mengangguk, tetapi dalam hatinya masih terus merasa bingung dengan perubahan suasana hati Renata yang begitu cepat.

Komaerah merasa seolah-olah sedang berada di tengah-tengah episode drama Korea yang penuh dengan misteri dan intrik. Mungkin Renata memang memiliki sisi misterius yang tidak pernah dia ungkapkan sebelumnya, dan itu hanya menambah kebingungan Komaerah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!