Di tengah bisingnya kelas yang tengah jam kosong, Komaerah memilih untuk pura-pura tidur. Dengan mata yang terpejam rapat, dia berharap bisa menyelamatkan diri dari segala pembicaraan yang mungkin membuat hatinya semakin terluka.
Namun, rencana Komaerah untuk menikmati ketenangan palsu itu hancur berantakan ketika Vivian, dengan nada suara yang tak bisa diabaikan, tiba-tiba menyelipkan sebuah komentar pedas, "Tahu enggak, ku rasa Komar suka kamu, deh, Zid."
Zidan dengan santainya merespons, "Enggak mungkinlah," sambil tertawa renyah seperti suara rengginang yang baru digoreng.
Tawaannya seolah-olah memenuhi seluruh ruangan, membuat Komaerah merasa seperti dia sedang berada dalam sebuah episode acara komedi yang terlalu konyol untuk dianggap nyata.
"Kelihatan kali dari sorot matanya kalau dia suka kamu," ucap Vivin sambil tersenyum manis, seolah-olah dia adalah penasihat cinta yang ahli.
"Cemburu ya?" tanya Zidan dengan senyuman kemenangan yang sulit disembunyikan di wajahnya.
Sementara Vivin dan Zidan tengah asyik dalam percakapan mereka tentang cinta, Komaerah masih berusaha pura-pura tidur. Dengan wajah yang terlihat tenang, tetapi pikirannya jauh dari ketenangan. Dalam hatinya, dia merenung dengan humor tentang situasi yang cukup absurd ini.
"Apa mungkin kita hanya dekat karena kamu ingin melihat orang yang kamu suka cemburu padamu?" gumam Komaerah dalam hati, dengan nada yang campur aduk antara penasaran dan sedikit candaan.
Dia menggelengkan kepala dalam kebingungan, seolah-olah mencoba menyusun puzzle yang aneh dari kehidupannya.
Perasaan Komaerah semakin campur aduk. Setelah pulang sekolah, dia langsung menutup rapat kamarnya dan rebahan di kasurnya. Dengan mata yang memancarkan kelelahan dan hati yang penuh dengan kebingungan, dia merenungkan tentang kisah cintanya yang tak kunjung jelas.
"Kisah cinta yang menyedihkan," gumamnya sambil tertawa getir. Tawa dan kesedihan bercampur menjadi satu dalam keheningan kamarnya. Baginya, kisah cintanya seperti sebuah roller coaster emosional yang tak pernah berhenti berputar.
"Komar... Komar..." panggil sebuah suara yang sangat dikenal oleh Komaerah.
"Bentar!" teriak Komaerah dari dalam kamar.
Dengan cepatnya, Komaerah berlari menuju pintu dan membukanya dengan penuh semangat. Di hadapannya, tampaklah Renata dengan senyum lebar yang terpancar di wajahnya, seolah-olah dia sedang memenangkan lomba senyum terlebar.
"Ngapain?" tanya Komaerah dengan wajah bingung, matanya membulat saat melihat tas laptop milik Renata.
"Aku mau kasih drakor yang harus kamu tonton," jawab Renata tanpa ragu, sambil masuk ke dalam rumah Komaerah tanpa meminta izin terlebih dahulu.
Komaerah hanya bisa memicingkan mata dengan heran, tidak bisa menyembunyikan kebingungannya. Dia merasa seperti sedang terjebak dalam labirin kejutan.
"Aku lagi enggak mood," ucapnya pelan, tetapi suaranya masih cukup terdengar oleh Renata.
Renata hanya tersenyum dan meletakkan tas laptopnya di atas meja, seolah-olah dia tidak menghiraukan penolakan Komaerah.
Renata kemudian mengeluarkan beberapa cemilan dari tasnya, seakan-akan dia adalah pahlawan yang datang membawa cemilan di tengah-tengah keheningan.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya Renata, dengan ekspresi yang penuh perhatian.
Komaerah merasa seperti dia sedang terjebak dalam labirin pikirannya sendiri. "*Padahal kita cuma teman dan jarang berkomunikasi. Bahkan kita bersekolah di tempat yang berbeda. Tapi kenapa dia baik sama aku? Apakah karena dia pikir aku suka drakor sama seperti dia*?" batin Komaerah, sambil mencoba memahami keanehan situasi yang tengah dialaminya.
"Enggak ada," bohong Komaerah dengan canggung, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
"Aku tuh bisa baca mimik wajah seseorang dan aku bisa bedain mana orang yang baik dan jahat," ucap Renata, seolah-olah dia adalah seorang ahli psikolog yang siap memberikan analisis mendalam tentang setiap ekspresi wajah.
Komaerah hanya bisa mengangguk setuju, meskipun dalam hatinya dia merasa bahwa dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Renata. Dia duduk di samping Renata, merasa ragu untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Cerita aja, aku dengerin kok. Siapa tahu aku bisa kasih solusi," bujuk Renata dengan senyum ramahnya, seperti seorang terapis yang siap mendengarkan semua keluhan kliennya.
Komaerah terdiam sejenak, merasa sangat terharu oleh tawaran Renata untuk mendengarkan masalahnya. "*Jadi begini, ya punya temen yang mau nampung cerita kita*," cerita Komaerah dengan nada miris yang tak terbendung.
Renata hanya mendengarkan dengan serius, matanya berbinar-binar seolah-olah dia sedang mendengarkan cerita epik yang belum pernah didengar sebelumnya.
"Cerita, kom! Aku siap mendengarkan semua ceritamu," ujarnya dengan semangat yang berlebihan.
Komaerah menghela napas panjang, merasakan tekanan untuk bercerita. "Jadi begini, aku, punya orang yang kusuka. Kita sekelas. Selama ini aku kira dia dekat dengan aku karena dia punya perasaan," ucapnya dengan suara yang terbata-bata, mencoba mengekspresikan kegelisahan yang terpendam.
"Terus?" tanya Renata dengan tatapan penuh antusiasme, penasaran dengan kelanjutan cerita Komaerah.
"Nyatanya, dia dekat dengan aku karena dia ingin orang yang dia suka cemburu. Dan pada akhirnya, aku sadar diri," lanjut Komaerah, mencoba menahan tawa pahitnya saat mengingat kembali kejadian itu.
Renata mendengarkan dengan serius, matanya penuh dengan kepedulian dan empati. Namun, ketika dia melihat ekspresi murung di wajah Komaerah, dia mulai merasa iba. Hatinya terasa terenyuh melihat sahabatnya mengalami rasa sakit seperti itu.
"Aku enggak secantik dia, enggak seceria dia. Beda dengan aku yang pendiam, suram, dan sulit berkomunikasi dengan orang," tambah Komaerah dengan nada sedih, mencoba menggambarkan perasaannya yang terpuruk.
Tanpa disadari, air mata mulai mengalir dari mata Komaerah, menggambarkan betapa dalamnya kesedihan yang dia rasakan.
Namun, saat dia melihat Renata, dia kaget menemukan bahwa Renata juga menangis. Bahkan, ingus keluar banyak dari hidungnya, membuat Komaerah terkejut.
Kedua gadis itu saling menatap, masing-masing terkejut dengan reaksi yang tidak terduga ini. Kemudian, tiba-tiba, Renata tersenyum di tengah-tengah tangisannya yang kacau.
"Ingusmu, Ren," terkejut Komaerah, menunjuk ke hidung Renata yang masih sedikit terkumpul ingus.
"Maaf, ceritamu menyedihkan banget," ucap Renata sambil mengambil tisu dan membersihkan hidungnya dengan cepat, tampak sedikit malu karena kejadian itu.
"Lupain aja cowok itu. Di luar sana masih banyak cowok yang lebih dari dia. Dan lebih baik nonton drakor aja," saran Renata dengan nada serius, seolah-olah drakor adalah jawaban atas segala masalah cinta.
"Iya," ucap Komaerah dengan nada pasrah, menerima saran Renata dengan hati terbuka. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan pembicaraan, Renata tiba-tiba tampak menggebu-gebu.
"Eh, tapi nanti dulu. Aku enggak terima kalau kamu disakiti sama cowok pulu-pulu itu!" ucap Renata tiba-tiba dengan semangat yang meledak-ledak, membuat Komaerah sedikit terkejut dengan perubahan mendadak dalam suasana hati Renata.
"Sebenarnya ini kisah siapa sih? Kenapa dia yang marah?" batin Komaerah, matanya masih memandang Renata dengan kebingungan yang jelas terpancar dari wajahnya.
Komaerah tidak bisa menahan keheranan melihat perubahan drastis dalam suasana hati Renata, dari yang awalnya santai menjadi begitu bersemangat dan penuh tekad.
Namun, Renata hanya tersenyum misterius, seolah-olah dia memiliki rahasia besar yang hanya dia sendiri yang tahu. "Kamu enggak usah sedih. Karena pada ujungnya dia yang akan menyesal," ucap Renata dengan nada penuh keyakinan, sementara matanya berkilat dengan semangat yang tak terduga.
Komaerah hanya bisa mengangguk, tetapi dalam hatinya masih terus merasa bingung dengan perubahan suasana hati Renata yang begitu cepat.
Komaerah merasa seolah-olah sedang berada di tengah-tengah episode drama Korea yang penuh dengan misteri dan intrik. Mungkin Renata memang memiliki sisi misterius yang tidak pernah dia ungkapkan sebelumnya, dan itu hanya menambah kebingungan Komaerah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments