Velia tersenyum bahagia sembari menikmati salad di hadapannya. Dia duduk santai di sebuah kafe bersama temannya bernama Margaretha.
Margareth memicingkan mata menatap Velia curiga.
"Apa yang membuatmu bahagia? Beritahu aku," tanya Margareth penasaran.
"Hmm, jelas aku bahagia. Karena sebentar lagi 'dia' akan menjadi milikku."
"Dia? Ardan maksudmu? Kok bisa? Bukannya Ardan memiliki kekasih?" cecar Margaretha seakan tak percaya yang membuat Velia mendengkus kesal.
"Jangan terlalu meremehkanku."
"Aku bukannya meremehkanmu. Tapi setahu aku Ardan memiliki kekasih dan mereka juga saling mencintai bahkan berencana untuk menikah juga kan? Lalu bagaimana ceritanya Ardan menjadi milikmu. Atau jangan-jangan ... Ardan putus dengan kekasihnya itu?"
Velia menganggukkan kepala dengan bangga. Apa yang selama ini ingin dia dapatkan akhirnya sebentar lagi ada di dalam genggaman tangan. Sejak dulu gadis berambut sebahu itu menyukai Ardan lebih dari sekedar sahabat.
Velia cukup senang perhatian Ardan selalu tertuju padanya walau tak pernah terlontar kata cinta di antara keduanya. Akan tetapi semua itu berubah semenjak Raisa hadir di tengah-tengah hubungan mereka. Ardan yang mencintai Raisa terang-terangan memberikan perhatian pada kekasihnya hingga membuat Velia merasa cemburu.
Dia tak suka perhatian Ardan terbagi pada wanita lain selain dirinya. Velia menjalin hubungan dengan beberapa orang pria untuk menekan perasaannya terhadap Ardan. Namun semakin dia menjauh, hatinya semakin sakit untuk menerima kenyataan yang ada.
Haruskah dia mengalah saat hatinya tak ingin untuk berpindah? Salahkah jika dirinya menyimpan perasaan cinta pada sahabatnya sendiri? Pikiran itu terus berkecamuk di dalam benaknya selama beberapa minggu.
Dia mencari-cari jawaban atas apa yang dia alami hingga Velia mengambil kesimpulan bahwa cintanya juga punya hak untuk di utarakan. Bukan salah dia jika hatinya tertaut.
"Semua hal bisa saja terjadi Margareth. Yang sudah nikah saja bisa bercerai apalagi yang hanya sebatas tunangan saja. Lagi pula hanya aku yang pantas untuknya, bukan wanita itu!"
"Aku hanya memperingatkan kamu sebagai seorang teman. Aku berharap kamu bisa mengambil keputusan terbaik agar kamu tidak menyesal nantinya."
"Menyesal? Kenapa aku harus menyesal, justru aku bahagia jika Ardan bisa menjadi kekasihku. Aku sangat mencintainya Retha. Dan kau tahu itu kan?"
"Ini bukan cinta tapi obsesimu semata," tangkas Margaretha cepat.
Menurutnya cinta itu tak memaksa, namun Velia justru menyakiti.
"Kamu itu sahabatku, seharusnya kamu mendukungku bukannya justru bersikap seakan memojokkanku." Velia marah, dia menaikkan intonasi suaranya dengan mata yang sedikit menajam.
"Bukan begitu. Justru sebagai sahabat aku—"
"Sudah cukup! Kamu merusak moodku siang ini saja." Velia beranjak dari duduknya. Dia pergi begitu saja meninggalkan tempat itu dengan perasaan tak senang.
Margareth menghela napas panjang. Sangat susah memberi pengertian pada gadis keras kepala seperti temannya itu.
Velia belum pergi meninggalkan kafe. Di dalam mobil tangannya menekan sebuah nomor di layar ponsel. Butuh waktu yang cukup lama untuk panggilannya tersambung.
"Hallo. Ada apa?" Sahut sebuah suara diseberang sana. Senyum tipis di bibir Velia luntur seketika. Bukan suara lembut seorang wanita yang ingin dia dengar dan dari suaranya saja dia sudah tahu siapa pemiliknya.
"Raisa, dimana Ardan?"
"Dia ada di dapur sedang membuatkan makan siang untukku. Memangnya ada perlu apa? Apa itu penting?"
Velia mengerutkan bibirnya. Hatinya sedikit terbakar dengan ucapan Raisa yang terdengar sedang memamerkan kemesraan mereka. Ardan sosok lelaki sempurna di mata Velia. Lelaki mapan dengan pekerjaan yang bagus di tambah pintar memasak hingga bisa memanjakan lidah pasangannya.
Dulu semasa kuliah Ardan iseng-iseng ikut kelas memasak mengisi waktu senggangnya dengan alasan agar bisa memasak untuk dirinya sendiri di kost.
Hidup sendiri di kuar negeri membuatnya sulit untuk menyesuaikan lidahnya dengan masakan negara itu. Sementara mencari restoran khusus masakan Indonesia tidaklah mudah dan harganya pun cukup mahal untuk mahasiswa yang harus berhemat seperti mereka.
"Kenapa? Kalau tak ada yang mau kamu katakan aku akan tutup telponnya," ujar Raisa membuyarkan lamunan sesaat Velia.
"Oh ya, satu lagi. Berhentilah menghubungi kekasihku terus menerus. Kamu cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahmu sendiri. Jangan selalu menempel pada kekasihku seperti ulat bulu, atau jangan-jangan kamu sengaja, hmm," tuduh Raisa langsung.
Mata Velia melebar. Tangannya mencengkram ponsel dengan erat, dadanya pun ikut bergemuruh.
"Apa yang kamu katakan, aku tidak mengerti," jawab Velia pura-pura bodoh.
"Oh jadi kamu tidak mengerti, baiklah akan aku jelaskan sejelas mungkin padamu. Berhanti menghubungi kekasihku dan selalu membebankan dirinya dengan segala urusanmu. Kamu hanya teman baginya dan sebagai seorang teman saja kuharap kamu tahu batasan yang harus kamu miliki. Kamu paham!" Balas Raisa dengan penekanan pada setiap kalimatnya.
Dia tak menunggu jawaban dari bibir Velia karena di detik berikutnya sambungan telpon itu langsung terputus secara sepihak.
Velia mengeram marah. Ponsel yang dia genggam erat dia banting begitu saja pada kursi penumpang yang ada di sebelahnya. Jatuh pada jok lembut lalu terpental ke lantai mobil dengan mengenaskan.
"Sialan! Jadi mereka berbaikan kembali. Berani-beraninya dia memperingatiku, memangnya siapa dia? Dia pikir aku tidak bisa membuat hubungan mereka lebih hancur dari sebelumnya!" geram Velia murka.
Rasa cemburu di hati begitu bergejolak. Dalam pikirannya saat ini muncul adegan-adegan romantis yang mungkin saja Raisa dan Ardan lakukan saat mereka sedang berduan. Raisa menatap dirinya seakan mengejek membuat api amarah di dadanya semakin berkobar.
"Akan aku pastikan kalian berdua berpisah selamanya. Ardan hanyalah milikku dan akan terus menjadi milikku!" Velia mencengkram stir mobil kuat. Sementara di tempat lain, Raisa tersenyum puas.
"Siapa yang menelpon tadi, Sayang?" Ardan keluar dari dapur dengan dua piring steak di tangannya.
"Bukan siapa-siapa, sepertinya ada orang yang salah sambung," jawabnya berbohong dengan santai.
Raisa mendekati Ardan dan duduk di salah satu kursi yang ada di meja makan. Mereka berdua duduk berhadapan.
Tangan Raisa bergerak memotong steak yang dibuatkan kekasihnya dan langsung menikmatinya.
"Hmm, masakan kamu memang yang paling enak," puji Raisa membuat Ardan senang.
"Kalau begitu habiskan."
"Hmm." Raisa menganggukkan kepala. Dia kembali melanjutkan menikmati makanannya dengan antusias.
Ponsel Ardan yang diletakkan Raisa di atas meja kembali bergetar. Ardan meraih benda pipih itu dan melihatnya.
"Velia?" gumam Ardan yang masih dapat didengar Raisa. Selera makan Raisa hilang begitu saja. Dia meletakkan sendok serta pisau yang dia gunakan ke atas meja dengan malas.
"Jangan di angkat! Paling juga sesuatu yang gak penting. Kamu ingatkan sudah janji padaku?"
Ardan meletakkan kembali ponselnya. Namun sebuah pesan lebih dulu terkirim dan dia buka.
Ardan tersentak kaget hingga berdiri dari duduknya. Betapa terkejutnya Ardan melihat apa yang tertulis dalam pesan itu.
"Ada apa?" tanya Raisa cepat.
"Sa, aku harus pergi sekarang." Jawab Ardan singkat. Raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran. Lelaki itu langsung pergi tanpa penjelasan apa pun padanya.
"Ardan tunggu. Aku ikut denganmu!"
Perasaan Raisa yang tak enak menuntunnya untuk mengikuti Ardan dari belakang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments