Wanita pelayan itu berdiri didepan pintu dengan sebuah nampan dan semangkuk bubur diatasnya.
Gaun yang dia kenakan merupakan seragam pelayan pada umumnya dengan apron putih, hanya saja itu berwarna biru cerah yang merupakan seragam khusus pelayan pribadi anggota keluarga Sheridan. Berbeda dengan seragam hitam-putih yang digunakan oleh pelayan biasa.
Ketika dia membuka pintu kamar, seketika aroma aneh seperti paduan antara bau besi dan sedikit bau minyak tanah, menghantam wajahnya.
Hidung pelayan itu memerah dan keningnya berkerut, berusaha untuk tetap profesional namun ketika dia menyaksikan suasana kamar yang sudah seperti kapal pecah didepannya, dia tidak bisa untuk tidak mengutuk dalam hatinya.
Lagi-lagi pekerjaannya semakin banyak saja.
Pelayan itu menghela nafas lelah, sebelum melayangkan pandangannya ke tengah ruangan untuk mendapati seorang gadis kecil yang berdiri sambil menatap lurus ke arahnya.
Tunggu, menatap lurus?
Pelayan itu mengerjapkan matanya beberapa kali, seakan apa yang ada dihadapannya saat ini merupakan ilusi tak dimengerti.
Di tengah tumpukan sampah berserakan, seorang gadis kecil kurang lebih sepuluh tahun berdiri diam sambil memandang ke arahnya.
Gaun tidur putih yang dia kenakan kusut dan penuh dengan bercak kemerahan sana-sini. Ekspresinya datar, bibir merahnya terkatup rapat, dan sorot mata biru perak itu membuatnya hampir tersedak.
Dingin memang, namun tidak mati seperti biasanya.
Pelayan itu tertegun sejenak, namun dengan cepat dia menggelengkan kepalanya.
Tidak mungkin, tidak mungkin, aku pasti salah lihat. Dia mencoba untuk menepis perasaan aneh itu, dan berhasil.
Pelayan itu akhirnya berjalan mendekat, lalu menyodorkan nampan di tangannya pada Alianora.
"Ini, ambil." katanya dengan acuh.
Semangkuk cairan pucat yang terlihat seperti bubur itu berasap samar, tapi ketika dia menghirupnya cairan diperutnya seperti akan loncat keluar.
Sial! Ini bahkan lebih buruk dari daging yang membusuk di jalanan!
Apa wanita ini baru saja memberinya sampah?
Raut wajah Alianora berubah gelap. Dengan tatapan sedingin es yang penuh dengan kebencian, sama sekali tidak ada kekanak-kanakannya sama sekali.
Melihat Alianora yang diam saja, pelayan itu menjadi sedikit kesal. Dia meraih tangan Alianora dengan kasar dan memaksanya untuk memegang nampan itu.
"Nona Thalia, ini sarapannya. Makanlah dengan cepat agar aku bisa mencuci mangkuknya."
Bang!
Alianora merasa seperti disiram air es.
Emosi dalam batinnya menurun drastis digantikan oleh perasaan bingung dan tidak percaya.
Didepannya, melihat Alianora yang tetap bergeming, wanita pelayan itu mencoba untuk memanggil-manggilnya, namun Alianora tetap tidak merespon.
Kini telinganya berdengung, pikirannya hanya satu.
Thalia?
Thalia La Sheridan?
Kenapa wanita ini memanggilnya Thalia?
Syuuttt....
Perasaan buruk mencengkeram hatinya.
Tanpa memperdulikan pelayan didepannya, Alianora segera berlari melihat cermin, dan itu membuatnya menganga selebar-lebarnya.
Paras ini....
Rambut perak yang menjuntai sebahu…
Mata perak biru yang seperti kristal serta kulit putih mulus...ini, ini jelas sama seperti wanita itu!
Thalia, ya tentu saja dia ingat. Wanita itu, Thalia La Sheridan adalah manusia yang dengan susah payah mengorbankan dirinya sendiri demi membuat kontrak jiwa dengan Alianora.
Alianora teringat, dalam ruang dimensi putih itu, selain memperkenalkan dirinya dengan lengkap, dia juga menceritakan sendiri, kalau dia seorang putri bangsawan, ayahnya seorang duke, ibunya duchess, mereka begini, mereka begitu…tentang dua kehidupannya…
Dua kehidupan…
Kali ini harusnya merupakan yang ketiga...
Mata Alianora berubah serius, kedua alisnya terangkat, raut wajahnya sudah tidak sekaget sebelumnya, dan dia mengangguk seakan paham akan sesuatu.
Oh, jadi dia merasuki tubuh kontraktornya, Thalia, yang dikehidupannya kali ini masih berusia 10 tahun.
Tapi kenapa bisa seperti ini?
Alianora mencoba berpikir dan segera mendapat asumsi bahwa dirinya tidak sempat menyiapkan tubuh mortal selama tertidur di dunia bawah, jadinya dia mendapat tubuh kontraktornya yang kebetulan sudah kosong.
Disisi lain, pelayan wanita pribadi Thalia, Mary, menatap nona mudanya ini dengan perasaan ragu dan semakin bingung. Bukan karena kamar Thalia yang berantakan, atau pakaian kotor, penampilan yang acak-acakan, melainkan entah kenapa pagi ini ada sesuatu yang berbeda dari nona mudanya.
Alih-alih melihat nona Thalia yang meringkuk di tempat tidur ketakutan, berteriak-teriak tidak jelas dengan seluruh badan bergetar, nona mudanya bisa dengan tenang menatapnya, membuat Mary merasa kalau nona mudanya ini menjadi sedikit lebih waras.
Sudah sekitar setahun yang lalu, Nona Thalia dinyatakan mengalami gangguan mental berat, membuatnya sering berhalusinasi dan mengkhawatirkan sesuatu yang tidak ada secara berlebihan. Penyebab penyakit itu tidak diketahui, para dokter hanya menyimpulkan kalau itu timbul dari dalam dirinya sendiri.
Semacam kutukan.
Sejak saat itu pula, Nona Thalia yang penakut dan penyendiri, menjadi berubah. Saat penyakitnya kambuh, dia jadi sering berteriak tiba-tiba, menangis tersedu-sedu, tertawa sendiri, bahkan menyakiti dirinya sendiri beberapa kali.
Jika tidak, Nona Thalia lebih banyak menghabiskan waktu melamun sendirian, atau tidur sepanjang hari. Mary yang selalu berada di sisi Thalia saat itu, hanya bisa melihat dari jauh sambil menebak apa isi pikiran nona mudanya saat itu.
Tetapi meskipun begitu, orang tua Thalia yang acuh tak acuh hanya melakukan sedikit usaha, bahkan cenderung tidak sama sekali. Mereka malah mengurung Thalia di kamarnya, memasang mantra kedap suara, dan memanggil dokter untuk mengecek kondisinya sebulan sekali.
Selebihnya, mau itu kekacauan, keributan atau apa, mereka tidak mengurusnya.
Karena itu, kondisi Thalia bukannya membaik, malah semakin memburuk. Perasaan cemas berlebihannya sudah keterlaluan sampai untuk menatap wajah orang secara langsung saja dia tidak berani.
Sejak kapan Mary terakhir kali melihat wajah nonanya dengan jelas seperti ini?
Namun ketika menyaksikan tubuh Alianora mulai bergetar, dan tiba-tiba berlari ke arah cermin dengan wajah gelap, timbul keraguan besar dalam benak Mary.
Mungkin, alih-alih membaik, kondisi nona mudanya menjadi lebih buruk!
Dengan cemas, Mary menghampiri Thalia, mengguncang tubuhnya perlahan sambil memanggil dengan suara serak, "Nona Thalia...?"
Gadis kecil itu tidak merespon. Dia hanya berdiri dengan kepala yang masih terpaku pada cermin.
Mary menjadi semakin cemas.
Akan tetapi, Mary tidak tahu kalau yang ada didalam tubuh nona mudanya saat ini adalah Alianora, bukan Thalia.
Dewa perang gila, bukanlah putri duke sakit jiwa.
"Nona-"
Suara helaan nafas berat yang diikuti oleh tawa kecil nona mudanya, membuat kalimat yang akan terlontar dari mulut Mary, terhenti.
Plak!
Dengan sekali gerakan kasar, Alianora menepis tangan pelayan itu dari bahunya, membuat Mary membelalakkan mata dan segera menarik tangannya kembali. Sebuah goresan panjang berdarah, terpapar pada pergelangan tangannya.
Alianora perlahan mengangkat kepalanya, memperlihatkan manik permata biru yang berkilau gelap, sangat kontras dengan senyuman cerah pada bibir merah muda dibawahnya.
"Siapa kau?"
Alianora bertanya dengan lamban, suaranya kecil khas anak-anak tapi kedinginan didalamnya hanya membuat siapapun merinding.
"...Nona…?"
Mary membalas dengan suara parau, tidak mengerti maksud pertanyaan nonanya.
Genggamannya pada lengan Alianora semakin yang kencang, cukup membuat anak kecil biasa menangis menjerit, tapi Alianora bahkan tidak mengedipkan mata.
"Kau tidak dengar? Kau siapa?"
Mary menjilati bibirnya yang kering, tanpa berpikir panjang menjawab dengan spontan.
"Nama saya...Mary Winston, Nona."
"Mary...oh jadi kau Mary."
Alianora bergumam rendah sambil melihat Mary dari atas ke bawah, lalu dia tiba-tiba tersenyum, dan Mary lagi-lagi tersedak.
Saat ini, nona mudanya berbicara dengan normal. Itu terasa aneh ditelinganya sekaligus pantas.
"Nona, kenapa, kenapa anda melakukan ini?"
Kenapa Anda tiba-tiba bersikap aneh?
Sebenarnya apa yang terjadi pada Anda?
Akan tetapi, Alianora terlihat seperti tidak mendengar suaranya, dan terus tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Mary menggigit bibirnya, "Nona, apa yang salah denganmu?"
Mary mengangkat kedua tangannya hendak memegang kedua bahu Alianora tapi pergelangan tangannya telah lebih dulu ditahan oleh Alianora.
"Jangan sentuh." Alianora melotot tanpa ekspresi.
Mary tersentak.
Sedetik kemudian senyuman kembali ke wajahnya.
"Kau bilang kau Mary, jadi kau pelayan pribadiku ya? Kau tadi membawakanku sarapan, sungguh perhatian sekali."
Mary menangkap nada suara sarkas Alianora sambil menatap tumpahan bubur yang sudah dingin dengan horor.
"N-nona Thalia...itu…saya tidak-"
"Thalia? Heh..Thalia, ya, ya tentu saja. Aku Thalia. Kebetulan sekali Mary, aku pagi ini tidak lapar. Jadi pelayan pribadiku," Alianora menunjuk ke arah tumpahan bubur dilantai. Suaranya masih terdengar ceria, namun sorotan matanya tajam tak berperasaan, "habiskan ini ya."
Mata perak biru itu menatap Mary lekat-lekat, seakan ingin menelannya hidup-hidup. Jika pandangan bisa membunuh, dia pasti sudah mati seribu kali.
Mary tetap berdiri mematung di tempatnya, menolak untuk melihat sepasang manik setajam silet itu, hanya memandangi tumpahan bubur dengan penuh keluh.
"Hm? Tidak mau?"
Alianora melangkah perlahan mendekati Mary, senyuman di wajahnya hilang meninggalkan ekspresi dingin yang membuat Mary dengan segenap kemauannya berusaha melangkah mundur.
Sayangnya, kedua tungkainya lemas dan dia jatuh terduduk sebelum bisa bergerak.
Alianora melihat Mary dengan datar, lalu berkata dengan sinis, "Ah, tidak bisa begini. Meski kau tidak mau, kau harus melakukannya."
Alianora menunduk mendekati wajah Mary dan memelintir seutas rambut coklatnya yang tidak terikat. Kedua manik coklat Mary bergetar.
"Baiklah, karena aku sedang baik hati sekarang. Bagaimana kalau kau kuberi pilihan."
Jari-jari mungil seputih susu itu meraih sendok yang tergeletak di lantai, menyendok cairan bubur bau itu, kemudian menarik lengan baju Mary, dengan kencang sampai membuatnya membungkuk.
"Nah, sekarang kau mau membuka mulutmu untuk suapan ini, atau duduk manis disini dan menjawab semua pertanyaanku?"
"Jika kau memilih yang pertama, maka jilati semua sampah itu sampai bersih. Jika itu yang kedua, kau harus menjawab apapun yang kutanyakan padamu dengan jujur, kalau kau tidak tahu bilanglah, aku tidak akan memaksa. Tapi kalau kau berbohong, maka aku akan tahu."
"Jadi kau mau pilih yang mana?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Syiffitria
kaaa aku mampir nih /Smile/ mampir juga yuk di karya aku :))
2024-04-23
0
Amelia
semangat ❤️❤️❤️❤️
2024-03-20
1