Kontrak Jiwa Putri Palsu Duke
Malam itu, bintang tidak bersinar.
Gelombang demi gelombang awan hitam menyelimuti cahaya bulan purnama yang suram, tiupan angin dingin disertai suara gemerisik pepohonan, sesekali diselingi lolongan anjing liar di tepi jalan luas ber-paving rapi, merupakan satu-satunya yang mengisi kekosongan di tengah kota.
Keramaian malam telah lama usai. Pintu-pintu sudah terkunci rapat, dan lampu-lampu tak lagi menyala, menyisakan kegelapan yang terus menuju puncaknya.
Namun, diantara setiap barisan rumah-rumah berjendela kayu, sebuah cahaya remang datang dari satu jendela sebuah bangunan besar bak istana yang megah.
Tembok-tembok kokoh yang menjulang ke langit sangat tinggi, bahkan cahaya bulan yang kusam sekalipun masih bisa menyinari setiap detail ukirannya.
Siapa yang tidak tahu rumah ini? Bahkan gelandangan yang berasal dari lubang manapun, dapat menyebut silsilah keluarga sang pemilik dengan lengkap.
Bangunan ini tidak lain adalah rumah kediaman Tuan Duke Sheridan, penguasa wilayah Sheridan, Kastil Silverstein.
Angin malam menerobos masuk dengan liar, menghempaskan gorden putih transparan yang memperlihatkan samar-samar sebuah bayangan hitam seorang gadis kecil yang sesekali bergerak mengikuti api lentera yang ada di sampingnya.
Diatas lantai keramik putih polos, gadis kecil itu berlutut mengamati pola rumit raksasa berbentuk lingkaran yang dia buat sendiri.
Rambut peraknya yang berkilauan di bawah sinar bulan berkibar tertiup angin. Manik biru peraknya terbuka lebar, memerah dan basah, menatap kosong pada setiap garis dan lekukan merah yang dia sentuh dengan jari-jarinya yang penuh dengan darah kering.
Dia seakan mati rasa.
Sesekali api lentera berkedip.
Sesekali butiran air jatuh dari wajah kecilnya.
Sesekali nafasnya tersengal, menghasilkan suara kecil memenuhi setiap sudut ruangan yang sepi.
"Hiks...lagi...sekali lagi....aku, aku tidak bisa...menyelamatkan mereka...hiks...ayah...ibu...Elle...."
Gaun tidur biru muda yang sudah lengket oleh keringat, kini basah dibanjiri air mata yang tak terbendung.
Tapi langit seakan tak mendengar. Di tengah malam yang hampa ini, isak tangis seorang gadis kecil, tenggelam dalam kesunyian.
Dia menyeka matanya yang sembab dengan jemarinya, membuat noda darah bercampur air mata terpapar pada kulit wajah yang putih nan lembut itu.
"Hiks...maaf...maafkan aku...aku...aku tidak berguna...maafkan...maafkan Thalia...."
Thalia, seorang putri duke yang terlantar tanpa belas kasih.
Dia yang teraniaya dari kecil hingga dewasa oleh sorot mata ayah dan ibunya yang tak pernah dia miliki.
Namun, dia sendiri tidak pernah membenci itu.
Sampai keluarganya hancur pun, dia dengan segenap tenaganya yang terbatas, berusaha untuk mencegah itu terjadi, meski itu melawan takdir.
Dua kehidupan dia jual demi keluarganya.
Tapi apa yang dia terima?
Hadiah kecil berupa jepit rambut murahan dan liontin imitasi dari toko biasa, adalah satu-satunya yang berubah dari lingkaran hidupnya yang terulang.
Namun, bagi hatinya yang sudah lama tandus akan kasih sayang, itu seperti disejukkan oleh air terjun yang segar.
'Keluarganya ternyata memperhatikannya juga'.
'Keluarganya juga mencintainya'.
Hanya beralaskan harapan kecil seperti itu, cintanya pada keluarganya semakin dalam.
Kehidupan keduanya sungguh dia anggap sebagai berkah dari dewa.
Jadi ketika dia menyaksikan keluarganya hancur dengan cara yang sama untuk kedua kalinya, dia mengutuk dirinya sendiri yang tidak bisa melakukan apa-apa selain menonton mereka menjerit kesakitan.
Bahkan setelah diberi kesempatan dua kali dari dewa, dia masih tidak bisa mengubah takdir.
Dia masih tidak bisa melakukan apapun.
Memangnya, ditengah dunia yang sangat mendewakan sihir ini, apa yang bisa dilakukan oleh seorang putri bangsawan yang tidak diberkahi mana?!
Ah lihat, betapa tidak bergunanya sampah seperti dia? Bahkan dia sendiri merasa jijik.
Berbeda sekali dengan Elle....
Elle, adiknya yang pandai. Anak yang mengharumkan nama keluarganya, setidaknya dia malu menjadi kakak anak sempurna seperti Elle....
Bila Elle yang ada di posisinya saat ini, mungkin tidak perlu menyia-nyiakan waktu untuk menyelamatkan semuanya.
Jika Elle disini, orang tuanya tak perlu menderita. Nama keluarganya pun tak akan terhina sampai berulang kali.
Ya, jika Elle ada disini, dan bukan dirinya yang tak berguna, maka semua tidak akan jadi seperti ini.
Betapa kasihan orang tuanya untuk memiliki putri memalukan seperti dia?
Maka dari itu, dia harus menyelamatkan keluarganya. Entah bagaimana pun caranya, bila kedua kehidupannya tidak cukup, maka dia akan senang hati memberi kehidupannya yang ketiga ini untuk keluarganya tercinta.
Setidaknya dengan ini, hidupnya sedikit berguna.
Perlahan, gadis kecil itu membuka matanya. Rona merah pada kedua ujung matanya masih belum memudar, dengan butiran-butiran air mata kering pada bulu mata perak yang panjang.
Meski begitu, sorot mata perak biru yang hanya terpaku pada sebuah buku disebelahnya, kini sangat tenang dan pasti.
Buku usang bersampul kulit coklat kosong tanpa judul, dipenuhi noda-noda cokelat termakan usia. Meski begitu kedua tangan anak itu tidak berhenti bergetar, menggenggam buku itu seperti emas dengan tatapan penuh harap.
Dia, membuka buku itu dan menatapnya sebentar sambil tersenyum miring, "...aku sungguh tidak berguna...aku tidak bisa menyelamatkan kalian...jadi ayah...ibu...Elle, mungkin...ini adalah jalan terakhirku...."
Gadis itu membalik halaman pertama, lalu halaman kedua, dan beberapa halaman selanjutnya dibuka dengan tergesa.
Nafasnya berpacu beriringan dengan degup jantungnya yang tak beraturan.
Srak! Srak!
Tidak ada yang mendengar, tidak ada yang datang.
Tidak ada yang tahu bahwa pada titik itulah roda kehidupan dari seorang gadis kecil, Thalia, akan berubah untuk selama-lamanya.
Jari jemari mungilnya menyentuh tulisan-tulisan panjang dan juga pola lingkaran rumit diatas kertas coklat yang persis seperti garis-garis merah dibawahnya.
Dengan suara lantang, dia mengucapkan kata demi kata dalam bahasa lain yang tertulis didalam buku itu.
Seketika itu juga, angin berhenti berhembus. Gelombang awan tak lagi bergerak.
Pepohonan kembali diam, lolongan anjing-pun hilang ditelan kesunyian yang semakin sunyi.
Dunia seakan berhenti berputar, bersamaan dengan waktu yang terhenti.
Akan tetapi, kamar tempat gadis kecil itu berada, tak tersentuh ruang dan waktu. Api lentera yang semakin membesar, berkedip liar. Menyatu dengan cahaya gelap bercampur merah yang melesat sana-sini, seperti membawa seisi ruangan dalam gerbang neraka.
Walaupun begitu, mulutnya terus berkomat-kamit, tak menghiraukan apa yang tengah terjadi di sekelilingnya.
Kata demi kata yang keluar, melayangkan garis-garis cahaya hitam yang masuk kedalam pola lingkaran di lantai dan membuatnya bercahaya merah terang.
Situasi menjadi semakin tak terkendali, mengikuti mantra yang terucap.
Kegelapan menjadi saksi, kesunyian menjadi bukti. Thalia, gadis kecil malang, putri pertama Duke Sheridan, merapalkan mantra terlarang.
Bersamaan dengan kata terakhir terlontar dari mulutnya, sinar merah dari pola lingkaran di lantai bercahaya dengan liar menyoroti setiap sudut ruangan tanpa terkecuali.
Pada akhirnya, seisi ruangan bergetar hebat. Angin dingin berhembus semakin kencang, menyibakan tirai transparan dan menghempaskan lentera dengan bunyi prang! yang keras.
Dalam waktu singkat, suasana kamar berubah menjadi dingin menusuk.
Thalia, yang belum sempat menarik nafas dengan benar, seketika diselimuti rasa sesak. Dia mencoba untuk bersuara, namun mulutnya seakan hilang kendali, tak bisa dia gerakan sama sekali.
Pandangannya semakin buram, kelima indranya mati rasa bahkan saat tubuhnya membentur lantai dia sudah tidak merasa sakit.
Sambil tersengal-sengal, Thalia memandangi langit-langit kamarnya yang mulai pudar.
Dia panik, rasa takut yang begitu nyata menggerogoti otaknya.
Padahal, dia sudah yakin untuk menggunakan mantra itu namun pada detik ini, dia tidak bisa untuk tidak merasa cemas.
Akankah dia berhasil?
Akankah dia gagal?
Kalau dia gagal, apa yang akan terjadi?
Ayah, Ibu, Elle? Mereka akan mengulangi nasib yang sama tanpa ada yang berusaha mengeluarkan mereka dari maut.
Tidak.
Itu tidak boleh terjadi.
Dia tidak mengizinkannya.
Meski matanya terasa semakin berat tapi Thalia menolak untuk menutupnya. Walaupun dia tak bisa berbicara, dia berteriak dalam hatinya berharap ada yang bisa mendengar.
Bukan melantunkan sebuah doa, melainkan permintaan yang dia inginkan sejak dulu namun tidak pernah terwujud entah apapun yang dia lakukan.
Kalau ritual ini gagal, maka dia ingin suara batinnya itu terdengar oleh makhluk apa saja, siapa saja yang berbaik hati untuk menolongnya.
Kalau ritual ini berhasil, maka dia berharap agar sosok yang menjadi penolongnya dapat mengabulkan permintaanya ini.
"Jadi tolong, siapa saja, siapapun kamu, tolong selamatkan keluargaku!"
Napasnya terhenti. Jantungnya membeku.
Seketika cahaya terakhir di ujung matanya sirna.
Dengan tubuh yang terbujur kaku di lantai, Thalia tertidur untuk selamanya.
****
"Ahhhhh!"
Slash!
"T-tolong Jangan! Argh!"
Jleb!
"K-kumohon! Ugh!"
"Crot!"
"D-dewa!"
Cratt!
Kepingan demi kepingan gambar dengan latar hitam berputar seperti klise film.
Berulang kali terlintas wajah orang-orang menangis, terluka, menderita.
Mereka menjerit kesakitan sampai urat leher mereka seakan mau putus. Kilatan horor dimata mereka yang terbelalak, menatap satu sosok yang sama.
"Dewi Alianora, Dewi Alianora yang agung!"
"Ampunilah! Mohon belas kasih!"
"Dewi maha perkasa!"
"Dewi Alianora!"
"DEWI ALIANORA!"
'Dewi Perang haus darah' yang melegenda.
Paling ditakuti dan disegani bukan oleh dunia saja, melainkan surga pun tak berani menyebutnya sembarangan.
Dewi yang disembah oleh darah dan ratapan manusia. Hidup untuk membunuh, membunuh untuk disembah.
Tidak pernah ada satu saat pun dalam masa emasnya tanpa melihat tubuhnya bermandikan darah.
Surga mengutuk, sungguh dewi yang berdosa.
Akan tetapi, dunia tidak dibiarkan gelap selamanya. Tiga alam akhirnya sepakat untuk memberi hukuman.
Dari sudut surga yang paling kudus, seorang Dewa Cahaya penguasa surgawi, memimpin pasukan gabungan tiga alam, bersama-sama menjatuhkan Dewi Alianora dalam dunia dasar yang paling dalam dan menyegelnya untuk tertidur selama seribu tahun.
Selama itulah jiwa Dewi Alianora dihantui oleh teriakan mengerikan orang-orang yang merupakan bayangan dalam memorinya di masa lalu.
Dibalik kelopak mata yang terpejam, dan tubuhnya yang terlentang di dalam ruang dimensi tanpa waktu, adegan demi adegan berdarah berganti satu persatu secara acak.
"Hentikan! Tidakk!"
"Tolong!"
"Arghhh!"
Srak! Srek!
Cahaya hitam menyapu. Latar berganti.
Dibawah gemerlapan cahaya bulan, kelima orang yang tak asing, berlutut sambil menggumamkan sesuatu.
Layar berkedip sekali lagi menampilkan pemandangan dengan warna merah darah.
Lalu dengan sekali kilatan, darah muncrat kemana-mana.
Tombak berbalut cahaya emas berkilauan membelah pandangannya.
Alianora mencoba menggapai gambar yang terbelah itu dengan jari-jarinya namun dia tidak sempat.
Sekelebat cahaya muncul dari sela-sela retakan gambar dari benaknya, perlahan menyelimutinya seutuhnya.
Alianora sontak terbangun, matanya terbuka lebar.
Gambar terakhir begitu buruk, entah sudah berapa kali dia mengulang cuplikan ini kembali, tapi tetap saja dia merasa tidak enak.
'Hiss'
Bangun dengan tiba-tiba seperti itu membuat kepalanya terasa sedikit sakit, sungguh tidak nyaman sekali, apalagi sudah lama tubuhnya tidak merasa...
Hm?
Sakit?
Kesadaran Alianora dengan cepat pulih, dan dengan dahi mengernyit, pandangannya perlahan tertuju pada kedua tangan transparan dihadapannya.
Tangan...tanganku?! Tunggu, ini roh? Kenapa, kenapa aku bisa melihat rohku?!
Mimpi yang Alianora saksikan selama bertahun-tahun memang begitu nyata. Daripada mimpi, itu lebih tepatnya disebut mengulang kembali kehidupan.
Tapi untuk menyentuh dan melihat rohnya sendiri, hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Kondisi ini seakan-akan Alianora akhirnya tersadar dari tidur lelapnya yang terasa hanya sebentar.
Seperti kurang yakin, Alianora menggerakkan tangan, menyentuh wajah juga kakinya, lalu melihat di sekitarnya.
Dimana ini?
Belum sempat dia memastikan situasinya saat itu, sepasang mata perak biru tiba-tiba sudah ada dalam pandangannya.
Mata itu menatap manik merah darah Alianora dengan ekspresi yang tidak bisa dia jelaskan. Sedih? Gembira? Takut? Mungkin ketiganya.
Hah, siapa ini?
Wanita muda pemilik mata cantik itu menyadari tatapan Alianora, raut wajahnya seketika menjadi cerah, lalu ia melangkah dengan cepat, untuk bersujud dihadapan Alianora.
Alianora yang kaget menjadi semakin bingung sampai tidak bisa berkata apa-apa.
Apa-apaan orang ini?
Menyadari keheningan disekitarnya, wanita itu menengadah, memperlihatkan kepada Alianora, wajah cantik dengan kulit putih dan mulus seperti bunga persik.
Air mata yang berlinang membuat mata perak birunya semakin berkilau seperi kristal, serta mulut kecilnya dengan bibir merah muda yang cerah sedikit bergetar.
Kesan pertama yang Alianora dapatkan dari wanita ini adalah 'Si cantik yang kasihan'.
Dengan tatapan lurus tertuju pada Alianora, wanita itu akhirnya berseru lirih, "Tolong selamatkan keluargaku!"
Tunggu
Hah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Arvilia_Agustin
Mampir ni Thor, cerita nya seru ni
2024-06-12
1
Karlina Lia
Thorr, itu mereka ngapain ada crot, crat nya, kasih penjelasan dongg, jadi penasaran 😭
2024-05-12
0
Karlina Lia
gilaaa, keren banget tata bahasanya 😍
2024-05-12
1