Peningkatan

Langit mulai meredup, menandakan malam menjelang. Tiga jam telah berlalu sejak Hang Jihan memulai penerobosan. Dengan mata terpejam rapat, ia fokus sepenuhnya, seolah terisolasi dari dunia luar. Bahkan serangga yang hinggap di sekitarnya tak dihiraukannya.

Tak jauh dari Hang Jihan, sang ibu setia menanti dengan perasaan cemas. Ia tak henti-hentinya mengamati putranya, berharap sesuatu yang luar biasa terjadi. Di balik kecemasannya, terpancar pula harapan besar di matanya.

Kondisi Hang Jihan saat ini memang menakjubkan. Tubuhnya diselimuti oleh energi yang luar biasa padat, sebuah pemandangan yang kontras dengan kondisinya beberapa bulan lalu, saat ia bahkan tidak tahu apa itu kultivasi.

Seleksi murid Sekte Pedang Awan tampaknya telah membawa perubahan besar padanya. Bocah yang dulunya tak tertarik pada dunia bela diri kini menjelma menjadi jenius yang ditakdirkan untuk kebesaran. Masa depannya terbentang di hadapannya, dipenuhi dengan rintangan dan peluang.

Di saat yang sama, di lautan energi yang luas, sebuah kristal berkilauan perlahan tercipta. Cahayanya berkilauan, memancarkan keindahan yang tiada tara. Pondasi kelima telah terbentuk, namun perjalanannya tak berhenti di situ. Energi terus mengalir, mengkontruksi pondasi baru dengan kecepatan yang menakjubkan.

Perubahan tak henti-hentinya: pondasi keenam terwujud dengan keanggunan yang memukau, disusul pondasi ketujuh dan kedelapan yang terjalin dengan harmoni yang memesona. Tak lama kemudian, pondasi kesembilan pun rampung, melengkapi rangkaian struktur kekuatan yang luar biasa.

Ketika kesembilan pondasi terintegrasi, momen itu menjelma menjadi epik. Layaknya seorang Kaisar yang memerintah surga, Hang Jihan, dengan tubuhnya yang diliputi gelombang fluktuasi energi, memancarkan aura emas yang mendominasi.

Hang Jihan membuka matanya, dan seketika disambut pelukan hangat sang ibu. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya, bangga atas pencapaian putranya.

"Jihan kecil, akhirnya kamu berhasil!" seru sang ibu dengan penuh sukacita, tubuhnya bergoyang kecil dalam luapan kebahagiaan. Hang Jihan, meskipun tak menunjukkan ekspresi gembira yang berlebihan, hatinya diliputi rasa bahagia yang tak terkira.

"Baiklah, Ibu," celetuk Hang Jihan dari dalam pelukan erat sang ibu. "Jika Ibu tidak melepaskan ku, aku mungkin akan mati lemas."

Mendengar kelakar putranya, sang ibu tergelak dan segera melepaskan pelukannya. Wajahnya memerah malu, bagaikan bunga mawar merah yang tersipu malu di bawah sinar mentari pagi.

Namun, seperti biasa, sang ibu dengan sigap mengalihkan topik pembicaraan, meskipun topik itu memang sudah dinanti-nantikannya.

"Oh ya, Jihan kecil, bagaimana perkembanganmu saat ini?" tanya sang ibu penuh rasa ingin tahu, ingin mengetahui kemajuan putranya yang baru terjadi beberapa menit yang lalu.

Hang Jihan, dengan sedikit kesombongan, menjawab, "Hahaha, pertanyaan yang bagus. Berkat Ibu, akhirnya aku berhasil melakukan penerobosan hingga ke ranah Pengumpulan Energi!"

Mendengar jawaban itu, sang ibu hanya bisa menghela nafas, merasa puas dengan tingkah putranya yang menggemaskan. Melihat sifat putranya seperti ini membuat hatinya tenang. Bagaimanapun, Hang Jihan masih anak berusia sepuluh tahun, tidak seharusnya memikul beban berat, terutama dalam mengurus ibunya yang menderita penyakit.

Namun, sang ibu juga harus mengingatkan Hang Jihan untuk tidak berpuas diri. "Bocah sombong," tegur sang ibu dengan nada lembut, "apa yang sebenarnya perlu kamu banggakan? Yang kamu lalui hingga kini bahkan belum mencapai sepertiga dari puncak yang sesungguhnya."

Mendengar itu Hang Jihan menatap ibunya dengan ekspresi bertanya. "Puncak yang sesungguhnya? Adakah orang yang benar-benar mencapainya? Ataukah itu hanya idealisme yang sia-sia, Ibu?"

Sang Ibu tersenyum lembut, berusaha memberikan pengertian pada putranya. "Anakku, meskipun bakatmu gemilang, pengetahuanmu masih terbatas." Kemudian, dengan nada bijak, ia melanjutkan, "Waktulah yang akan memberikan jawaban atas pertanyaanmu, pada saat yang tepat di masa depan."

Hang Jihan mengangguk, menerima penjelasan ibunya. "Bagaimana dengan tingkat yang dicapai para praktisi bela diri? Bukankah tadi Ibu menyatakan bahwa pencapaianku belum mencapai sepertiga dari puncak sesungguhnya?"

"Pertanyaanmu sangat bagus. Sejujurnya, apa yang kamu anggap sebagai pencapaian besar di dunia ini hanya lelucon bagi para master sejati. Di dunia bela diri, terdapat empat belas tingkat yang harus dilewati para praktisi, dan delapan di antaranya adalah,

Ranah Pembentukan Pondasi,

Pengumpulan Energi,

Pemurnian Tubuh,

Peleburan Jiwa,

Alam Virtual,

Petapa Agung,

Orang Suci,

Supreme,

dimana setiap lapisan terdiri dari sembilan tingkatan."

Mendengar penjelasan sang ibu, Hang Jihan mengangguk mengerti. Ia tak menyangka bahwa di dunia ini tersimpan sosok-sosok kuat yang jauh melampaui bayangannya. Jika saja ia ceroboh, mungkin saja dia telah menyinggung kekuatan besar yang bahkan belum pernah ia ketahui sebelumnya.

Namun, di saat yang sama, Hang Jihan juga diliputi rasa penasaran. Ada yang berbeda dari sang ibu, seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikannya. Selama ini, ia tahu bahwa ibunya bukanlah seorang praktisi bela diri. Bagaimana mungkin dia bisa berlatih jika sehari-harinya dihabiskan di dalam kamar? Berbagai pertanyaan muncul di benak Hang Jihan, menciptakan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Akhirnya, dengan penuh keberanian, ia memutuskan untuk menanyakan semua hal yang mengganjal dalam pikirannya.

"Oh ya, Ibu, apakah Ibu seorang praktisi bela diri?" tanya Hang Jihan dengan penasaran.

Mendengar hal itu, sang ibu tersenyum. "Hahaha, anak bodoh, apakah kamu berpikir Ibu seorang praktisi? Bahkan orang biasa pun tahu mengenai hal ini," balasnya sambil sedikit tertawa, mencairkan suasana di antara keduanya.

"Benar, Ibu tetaplah Ibu!" balas Hang Jihan dengan semangat, menghilangkan keraguan yang sempat terlintas di benaknya.

Namun, tak lama setelah itu, ekspresi kesedihan terukir di wajah Hang Jihan. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia ingin menyampaikan pesan bahwa tidak lama lagi ia harus berpisah dengan sang ibu untuk waktu yang tidak ditentukan.

Melihat perubahan pada Hang Jihan, sang ibu penasaran. "Jihan kecil, kenapa wajahmu tampak sedih? Bukankah ada Ibu di sini?" tanyanya.

"Bukan itu, Ibu," jawab Hang Jihan dengan sedih. "Dalam beberapa minggu ke depan, aku harus kembali ke sekte sebagai murid dan menetap di sana untuk menjalani pelatihan selama beberapa tahun."

Sang ibu terdiam sejenak, merenungkan kata-kata putranya. Kemudian, dengan penuh semangat, ia berkata, "Jihan kecil, mungkinkah kamu sudah lupa dengan apa yang Ibu katakan? 'Air yang tenang menghanyutkan, air yang deras menyimpan batu.' Dalam kehidupan ini, kamu berdiri di atas takdir sendiri. Kembalilah sebagai seorang yang bisa Ibu banggakan!"

Mendengar nasihat itu, Hang Jihan merasa tenang. Keceriaan kembali muncul di wajahnya. "Baiklah, Ibu. Aku akan berusaha keras."

"Bagus itu baru anak Ibu," kata sang ibu sambil tersenyum. "Jadi kapan kamu akan berangkat?"

"Besok," jawab Hang Jihan.

"Apa—uhuk...uhuk..." Sayangnya rentetan batuk kembali memotong perkataannya.

"Ibu, apa Ibu baik-baik saja?"

"Kamu tidak perlu khawatir, Ibu hanya kelelahan."

"Tetapi Ibu—"

"Hari sudah gelap. Lebih baik kita masuk ke dalam rumah. Besok, Ibu akan mempersiapkan bekal perjalananmu."

"Baiklah, Ibu," jawab Hang Jihan. Tanpa bisa membantah, ia menuruti perkataan ibunya.

Terpopuler

Comments

Jimmy Avolution

Jimmy Avolution

ayo...ayo

2024-02-29

0

asri_hamdani

asri_hamdani

Muncul kata asing yang membuat malas untuk membacanya, tajuk Fantasi timur tapi ada istilah English, bikin ilfil.

2024-02-19

0

Embun Pagi

Embun Pagi

lanjut thor, di kedepannya saya rasa bakal ada pertemuan Jihan dengan nona muda di bab 2 hehe

2024-02-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!