Keributan Di Tengah Kota

Pagi yang cerah menyapa desa Qingshen. Hang Jihan, bersiap untuk mengucapkan salam perpisahan kepada sang ibu sebelum kembali ke Gunung Suci.

Kesedihan menyelimuti mereka. Tak ada kepastian kapan mereka akan bertemu kembali.

"Ibu..." Hang Jihan terisak, tak tahan meninggalkan sang ibu yang belum pulih sepenuhnya.

Sang ibu menghela nafas, tersenyum. "Jihan kecil, tidak perlu sedih. Jarak takkan memisahkan kita. Ibu selalu di sisimu."

"Ibu...terima kasih," balas Hang Jihan tegar, menyeka air matanya.

Sang ibu menyuguhkan sehelai kuncir rambut kepada Hang Jihan. Gesto penuh makna itu membuat Hang Jihan menunduk. Rambutnya yang tadinya panjang dan tak beraturan, kini terlihat rapi, menguatkan citranya sebagai seorang praktisi sejati.

Hang Jihan memeluk ibunya dengan erat untuk terakhir kalinya.Perlahan, dia melangkah pergi. Momen itu bagaikan petir yang membelah langit kelabu, memutuskan ikatan lembut di antara keduanya.

Bayangan Hang Jihan memudar. Sesaat sebelum menghilang, dia berbalik dan berkata dengan lantang, "Ibu, aku akan kembali sebagai seseorang yang bisa kamu banggakan!"

Hingga akhirnya, sosok Hang Jihan benar-benar lenyap dari pandangan. Kesedihan menyelimuti hati sang ibu. Namun, tiba-tiba, rentetan batuk parah menyerang. Tanpa disadari, bercak darah merah mengalir dari sudut mulutnya yang tipis.

Sang ibu Meskipun telah meminum pil obat dari Hang Jihan, tampaknya efek yang dihasilkan hanya bersifat sementara. Hang Jihan tidak mengetahuinya. Jika dia tahu, mungkin dia akan menunda waktunya untuk kembali ke sekte.

Bagaimana pun sang ibu merasa puas. Dia menyembunyikan kekhawatirannya dengan baik, menunjukkan sifat keibuan yang luar biasa. Seolah-olah ingin berkata, "Jika itu untuk kebaikan anakku, aku bersedia melakukan apa saja."

Dia bergumam dalam hati, "Jihan... Jangan mengecewakan ibumu ini," sambil mengepalkan tangan di depan dada, penuh harap. Jari-jemarinya yang halus menutup sebuah liontin zamrud yang tampak berkilauan.

Hang Jihan meninggalkan desa Qingshen dengan langkah penuh tekad. Tas perlengkapannya yang berat menempel di punggungnya, tak menyurutkan semangatnya meskipun keringat bercucuran di dahinya.

Perjalanannya menuju Sekte Pedang Awan akan membawanya melewati dua kota besar di Kekaisaran. Kota pertama adalah Yunlan, yang terletak tak jauh dari desanya. Di sana, Hang Jihan berhasil mendapatkan informasi mengenai Pil Jiwa tingkat lima. Keberuntungan tampaknya berpihak padanya saat itu, mengantarkannya pada sebuah kebetulan yang mengubah takdirnya ke arah yang tak terduga.

Waktu melaju bagaikan kilat, membawa Hang Jihan ke gerbang kokoh Kota Yunlan. Gerbang itu menjulang tinggi bagaikan raksasa penjaga yang megah, dihiasi ornamen naga yang berkilauan di setiap lapisannya.

Saat hendak memasuki kota, langkah Hang Jihan dihadang oleh sekelompok pengawal berwajah garang. Salah satu dari mereka menjulurkan tangan, menuntut kartu identitas dengan suara keras. Kebingungan menyelimuti Hang Jihan. Saat terakhir kali ia memasuki kota ini, hal seperti ini tak pernah terjadi. Hang Jihan termenung sejenak, berusaha mengingat kembali aturan baru yang mungkin berlaku.

"Hei, bisu?!" bentak salah satu pengawal, membuyarkan lamunan Hang Jihan.

"Maaf, Paman," jawab Hang Jihan dengan suara lirih. "Apa yang sebenarnya terjadi? Sebelumnya, tak pernah ada pemeriksaan kartu identitas, hanya barang bawaan." Hang Jihan Berusaha mencari informasi.

"Hah, apa kau tak tahu? sebenarnya dua hari yang lalu—"

"Diamlah! Kau terlalu banyak bicara dengan orang asing!" potong pengawal lain dengan suara tegas.

Mendengar itu, Hang Jihan hanya bisa mendesah pelan. Bagaimanapun juga, ia harus kembali ke sekte secepatnya. Jika tidak, ia mungkin akan menerima hukuman dikeluarkan, dan ini bisa membuat ibunya sedih.

Pikiran Hang Jihan terus berputar, memikirkan berbagai cara untuk masuk ke dalam kota. Hingga akhirnya, sebuah ide licik terbesit di kepalanya.

"Hmm, Paman, bolehkah aku masuk?" Ucap Hang Jihan dengan suara memelas.

"Tidak!" jawab kedua pengawal dengan tegas.

"Lihatlah di atas awan..." tunjuk Hang Jihan sambil mengarahkan pandangannya ke langit.

"Haha, bocah bodoh, jangan harap kami bisa tertipu dengan trik murahan seperti itu."

"Tidak, Paman, aku tidak berani berbohong," Hang Jihan meyakinkan kedua pengawal itu dengan ekspresi polosnya. Ia mengedipkan matanya dengan penuh keimutan, membuat siapapun yang melihatnya akan luluh.

Merasa tidak ada kebohongan pada diri Hang Jihan, kedua pengawal itu pun tertipu dan menoleh ke atas. Memanfaatkan momen tersebut, Hang Jihan langsung menyelinap masuk ke kota dengan berlari secepat kilat. Ia berlari sekuat tenaga, seperti seorang anak yang dikejar ibunya membawa sebatang lidi.

Sadar akan tipuan yang terjadi, kedua pengawal itu kebakaran jenggot. Mereka mengutuk di dalam hati, "Bocah sialan!" sambil menatap ke dalam pintu gerbang yang kini tak lagi nampak batang hidungnya.

Di dalam kota, Hang Jihan bersembunyi di balik kegelapan di balik gedung yang menjulang tinggi. Ia memastikan tidak ada yang mengejarnya. Setelah itu, ia pun keluar dengan rasa lega, seolah-olah semua itu hanyalah permainan anak kecil.

Saat menyusuri keramaian Kota, Hang Jihan tak luput dari desas-desus hangat yang beredar di antara penduduk. Sesuai dugaannya, rumor tentang keberadaan bandit hutan yang kian merajalela menjadi topik utama.

"Hei, kau sudah dengar berita tentang nona muda?" bisik seorang wanita dengan suara penuh misteri.

"Mana mungkin aku tak tahu? Katanya, setelah nona muda meninggalkan kota bersama karavan pedagang dan melewati Hutan Jura, tak ada lagi kabar tentangnya." Jawab temannya dengan nada panik.

"Menurutmu, apakah bandit hutan ada hubungannya dengan ini?"

"Entahlah. Bukankah Sekte Pedang Awan bertugas menjaga keamanan Hutan Jura?"

"Ah, benar juga. Tapi, situasi ini benar-benar membingungkan. Sampai-sampai Tuan Kota rela menguras hartanya untuk mengadakan sayembara. Katanya, ratusan ahli bela diri telah mendaftar."

"Benarkah? Pantas saja akhir-akhir ini Kota menjadi sangat ramai."

Hang Jihan, yang diam-diam menyimak percakapan itu dari kejauhan, mulai memahami situasi yang terjadi. Dia mengerti mengapa identitasnya dipertanyakan. Meskipun belum pernah bertemu dengan nona muda itu, dia tahu reputasinya: sombong dan keras kepala. Reputasi itulah yang menjeratnya dalam bencana ini.

Menolak untuk memusingkan masalah yang baru saja terjadi, Hang Jihan melanjutkan perjalanannya menuju gerbang timur Kota Yunlan. Secara geografis, Rumah Hang Jihan terletak di sebelah barat kota, sedangkan Gunung Suci, Sekte Pedang Awan, berada di sebelah timur.

Berdasarkan peta perjalanan, melewati gerbang selatan merupakan pilihan yang lebih ideal dibandingkan gerbang timur yang mengharuskannya melewati hutan. Namun, rute selatan membutuhkan waktu minimal lima hari, sedangkan gerbang timur hanya membutuhkan waktu tiga hari. Dilema ini membuat Hang Jihan terpaksa memilih gerbang timur.

Sementara Hang Jihan dilanda kebimbangan, seorang anak kecil berusia lima tahun justru menikmati kehidupannya dengan penuh keceriaan. Ia berlari-lari tanpa henti, tanpa beban dan tanpa rasa khawatir. Ketika ia menoleh ke belakang untuk mencari ibunya, ia tak sengaja menabrak seorang Pria bertubuh besar dengan kepala plontos.

Pria itu adalah Kuang Longwei, yang datang untuk mengikuti sayembara. Dilihat dari penampilannya saja, mudah ditebak bahwa pria ini lebih cenderung mengandalkan kekuatan fisik daripada kecerdasan.

"Gadis kecil, beraninya kau!" bentak Kuang Longwei dengan penuh intimidasi.

Gadis kecil itu langsung menangis ketakutan. Air mata mengalir dari sudut pipinya yang imut.

Melihat anaknya menangis, sang ibu bergegas menghampirinya dengan langkah-langkah gemetar. Kelembutan di matanya bercampur dengan ketakutan yang merayap di lubuk hatinya.

Tanpa ragu, dia berlutut di atas tanah kotor, bersujud dengan penuh pengharapan di hadapan Kuang Longwei. Ia memohon ampunan dengan sepenuh hati. Tindakan yang seharusnya tidak perlu dilakukan, tetapi baginya, itu adalah bukti pengorbanan tanpa syarat. Ironisnya, kekuatan tetaplah dihormati di dunia ini, tak peduli seberapa dalamnya pengorbanan yang dilakukan.

Belum puas dengan pengabdian sang ibu, Kuang Longwei menggenggam erat tubuhnya dan mengangkatnya ke atas. Sang ibu tampak seperti melayang di udara. Kuang Longwei tersenyum jahat, menikmati penderitaan yang dialami oleh ibu dan anak itu.

Peristiwa itu benar-benar menciptakan keributan besar di tengah hiruk-pikuk kota. Suasana mencekam menyelimuti seketika. Orang-orang di sekitar hanya bisa menyaksikan, takut terhadap sosok Kuang Longwei.

Hang Jihan tak bisa tinggal diam melihat kejadian itu di depan matanya. Bagaimana pun, dia juga seorang anak yang memiliki ibu. Dengan jiwa kepahlawanan, Hang Jihan berkata dari balik kerumunan,

"Berhenti!"

Awalnya, mereka berharap melihat pendekar tangguh yang akan menyelamatkan anak dan ibu itu. Namun, harapan mereka pupus seketika saat melihat seorang anak kecil berusia sepuluh tahun berdiri di sana.

"Ck...seorang anak kecil dengan beraninya menentang langit, sungguh keputusan yang konyol"

"Tuan, bisa kah kita berbicara baik-baik?"

"Hei bocah bau, kau tidak memiliki kesempatan untuk berbicara denganku!"

"Haha Mudah saja"

"Oh ya?"

"...Kau mengaku kalah!" Ejek Jihan sambil merentangkan telunjuknya ke arah Kuang Longwei

Kalimat yang dilontarkan oleh Hang Jihan membuat semua orang terbahak-bahak, termasuk gadis kecil yang secara tidak sadar berhenti terisak. Kini semua orang melihat Hang Jihan dengan tatapan yang penuh warna, bagaimana pun di benak semua orang, Hang Jihan hanyalah seorang anak yang berada di ranah Pengumpulan Energi tingkat awal, Mustahil baginya untuk melawan Kuang Longwei yang berada di ranah Pemurnian Tubuh.

Berdasarkan tingkat kultivasi mereka, pemenangnya sudah terlihat dengan jelas.

"Kau.. Berani? Aku bunuh kau!" Ucap pria itu yang dengan cepat menyerang dengan tinjunya.

Meskipun tampak seperti serangan biasa, namun pukulan tangan yang berada di ranah pemurnian tubuh tidak bisa disandingkan dengan seorang yang berada di ranah pengumpulan energi. Ini disebabkan karena tubuh mereka yang keras layaknya sebuah batu, membuat Hang Jihan hanya dapat menghindar tanpa memberikan perlawanan sedikit pun.

"Bocah bau kau hanya bisa menghindar! Jadi coba rasakan ini! Seni bela diri tingkat rendah: Pukulan Seribu Batu" Seketika tangan dari pria besar itu di lapisi oleh sebuah energi, membuat kecepatan dan kekuatan nya meningkat berkali-kali lipat.

Mendapati serangan ini membuat Hang Jihan menelan ludah. Ia tahu bahwa jika terkena serangan itu, akan mendapat luka yang sangat fatal bahkan bisa menyebabkan kematian.

"Nenek beruang, aku tidak menyangka bahwa perbedaan tingkat kultivasi bisa memiliki jarak sejauh ini! "

Tanpa basa-basi Kuang Longwei langsung mengarahkan tinju pada Hang Jihan. Dalam pukulan pertama Jihan sekali lagi berhasil menghindar, lalu pukulan kedua dengan irama yang serupa, membuat posisi Jihan kini kian terdesak.

Meskipun berhasil menghindar berkali-kali, tetapi energi yang digunakan Hang Jihan untuk mengimbangi kecepatan sangatlah terbatas, membuat gerakannya menjadi melambat hingga pada akhirnya terkena goresan di salah satu sudut pipinya.

"Sialan, hampir saja. Apakah aku sudah mencapai batasannya?" batin Hang Jihan dengan kesal, namun hal itu langsung disadarkan oleh Kuang Longwei dengan nada sombong.

"Haha, bocah, gerakanmu menjadi melambat."

"Hahaha, benarkah? Sungguh memalukan melihat orang sepertimu yang hanya bisa menindas seorang anak kecil yang tak bersalah,"

"Bocah bau, biarkan pemenang merayakan kemenangannya, sementara yang kalah menjelaskan kekalahan mereka, karena itu mati lah!"

Sebuah pukulan keras, dilapisi aura merah mengerikan, menghampiri wajah Hang Jihan yang tampak putus asa. Dirinya sudah mencapai batas, tidak bisa mengelak. Kini, untuk pertama kalinya, Hang Jihan merasakan berada di ambang hidup dan mati. Sesuatu yang bahkan sebelumnya tidak pernah dibayangkan, seolah tenggelam dalam lautan kegelapan di mana gelombang penderitaan mengurai tubuhnya seperti badai yang tak kenal ampun.

Menerima takdir yang menimpanya, Hang Jihan memejamkan mata, ia tidak menyesali perbuatanya ini, namun penyesalan lain datang melintasi pikirannya.

"ibu maaf, Jihan mengecewakanmu—"

Terpopuler

Comments

azizan zizan

azizan zizan

hmmm...ini yang menyebabkan kebanyakkan pembaca jadi muak belom apa2 udah mau tunjuk hero aduhhh... maaf Thor novel mu terpaksa aku buang dari rak bacaku...

2024-03-20

2

Nino Ndut

Nino Ndut

aish bocah tetaplah bocah..

2024-03-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!