Stagnansi

Empat hari berlalu dengan cepat di halaman rumah yang sederhana. Di bawah langit biru, Hang Jihan tenggelam dalam meditasi. Semilir angin yang lembut menyelimuti tubuhnya, menyapu daun-daun berguguran di bawah pohon rindang.

Hang Jihan merasakan aliran energi yang mengalir masuk ke lautan primordialnya. Di dunia bela diri, lautan primordial merupakan wilayah penyimpanan energi yang terkonsentrasi. Di sana, kekuatan mengalir bagaikan badai, membuka peluang Hang Jihan untuk menerobos kapan saja.

Jauh sebelum menjadi murid sekte Pedang Awan, Hang Jihan tak pernah membayangkan dirinya melakukan aktivitas seperti ini. Ia merasa terbawa arus takdir yang tak menentu, di mana bahaya bisa mengintainya kapan saja.

Saat merenungkan nasib sang ibu yang terperangkap dalam takdir serupa, Hang Jihan terjebak dalam dilema. Pikirannya menjadi kacau sehingga menghambat proses kultivasinya saat ini.

Sayangnya, Hang Jihan belum sepenuhnya menyadari situasinya. Dia masih terpaku pada dilemanya, tanpa solusi yang terlihat.

Sementara itu, di hamparan laut yang tak terbatas, badai energi terus bergemuruh, menghasilkan gelombang fluktuasi yang beberapa kali mencuat. Peristiwa ajaib itu perlahan mengkonstruksi pondasi yang jelas seperti kristal, di mana terasa hasrat untuk melakukan penerobosan.

Situasi ini penuh ketegangan, mempertaruhkan harapan dan kenyataan.

Namun, tanpa terduga bunyi retakan menggema di seluruh lautan, menggambarkan sekumpulan garis yang tidak beraturan. Saat retakan itu semakin menyelimuti seluruh lapisan, tiba-tiba saja kristal itu runtuh, memupus perjuangan Hang Jihan yang telah dirintisnya sejak berjam-jam yang lalu.

Kejadian itu sungguh memberikan pukulan di dalam diri Hang Jihan, menyisakan kekecewaan yang mendalam; perasaan suram yang tak tertahankan.

"Ahhh, nenek beruang, lagi-lagi gagal," desah Hang Jihan dengan kesal.

Sudah tiga hari Hang Jihan mendedikasikan waktu luangnya untuk melakukan penerobosan. Namun, dengan keanehan yang sulit dijelaskan, saat pondasi kelima mulai terbentuk, pondasi itu selalu runtuh tanpa alasan yang jelas, seolah-olah ada persyaratan yang belum ia penuhi. Situasi ini terus berulang, menghadirkan rasa frustrasi yang tak tertahankan. Ia meraba-raba dalam kebingungan, bertanya-tanya "apa yang sebenarnya terjadi?".

Sebelumnya, saat Hang Jihan berada di gunung suci untuk mengikuti seleksi calon murid, kondisi ini tak pernah terjadi. Bahkan hanya dengan mendengar instruksi dari para tetua sekte, ia berhasil menembus empat tingkat di ranah Pembentukan Pondasi. Kecepatan yang luar biasa, dari seorang yang baru saja menjadi seorang praktisi.

Namun, kenyataan bahwa dirinya sekarang terjebak dalam stagnasi benar-benar tidak terelakkan.

"Nenek beruang, kenapa ini jauh lebih sulit? bahkan Jika seandainya aku gila karena ini, aku bersumpah akan mengutuk para dewa!" Batinnya dengan kekecewaan yang mendalam.

Tanpa berniat tenggelam dalam kesedihan yang melanda, angin lembut menderu dari kejauhan, langkah kaki terdengar mendekat, memaksa Hang Jihan untuk berpaling sejenak. Momen itu, seolah membawa aura keindahan yang dengan cepat memenuhi atmosfer, memberikan sentuhan segar layaknya oasis di tengah gurun sahara.

"Jihan kecil! " Sontak, kejutan menyapu dirinya saat suara wanita yang tak asing lagi bergema di kepalanya.

"Ibu?... tunggu, ibu bisa berjalan!" seru Hang Jihan dengan keterkejutan, menyiratkan ketidakpercayaan mendalam terhadap keajaiban yang tengah terjadi di hadapannya.

Setelah itu, Hang Jihan mengambil tindakan konkret dengan mencubit pipinya, namun rasa sakit yang melanda memberikan keyakinan bahwa ini bukanlah ilusi semata. Belum merasa puas dengan tindakan tersebut, ia merasa dorongan untuk memukul kepalanya sendiri, mencari bukti lebih lanjut atas kenyataan yang dilihatnya.

Saat ia sedang dalam proses mengevaluasi kenyataan melalui tindakan fisik, tiba-tiba terdengar seruan tegas yang menghentikannya, "Jihan, berhenti!" Suara tersebut seolah membawa pesan yang lebih dalam, mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Hang Jihan pun menenangkan dirinya, ia pun dengan suka cita berlari menghampiri ibunya dengan penuh kebahagiaan. Selain itu, ia memiliki keinginan mendalam untuk memastikan apakah pil jiwa tingkat lima yang telah ia berikan empat hari yang lalu telah benar-benar berhasil menyembuhkan penyakit ibunya, atau ada efek samping yang mungkin diterimanya.

"Ibu, apakah mungkin pil itu—"

Sebelum Hang Jihan menyelesaikan kalimatnya, Sang Ibu dengan cermat memotongnya. Sebagai seorang ibu, ia tak ingin membuat anaknya terlalu khawatir.

"Bocah Lugu, kamu tak perlu merasa cemas. Ibu telah pulih sepenuhnya, meskipun, uhuk...uhuk," ucap Sang Ibu. Namun, sebelum ia berhasil menjelaskan, serangan batuk kecil yang tak terduga memotong kata-katanya.

Situasi yang penuh hambatan itu sungguh menjadi penghalang bagi sang ibu dalam upayanya meyakinkan Hang Jihan bahwa ia telah pulih sepenuhnya.

".....meskipun, Ibu belum pulih sepenuhnya, bukan?" lanjut Jihan dengan mantap.

Mendengar itu, ekspresi Sang Ibu terasa ragu, wajahnya menggambarkan kekonyolan seolah-olah menyimpan rahasia yang tengah dia sembunyikan. Tidak ingin anaknya curiga, Sang Ibu dengan cekatan mengalihkan pembicaraan,

"Sudahlah. Oh ya, Jihan kecil, apakah kamu sedang berlatih akhir-akhir ini?"

Melihat perubahan tiba-tiba, Hang Jihan merasa kebingungan, menyadari ada sesuatu yang disembunyikan ibunya. Namun, ia segera menepis kecurigaannya itu. Bagaimanapun, Hang Jihan merasa lega, saat melihat perubahan positif yang terjadi pada ibunya.

"Sejak ibu menghabiskan waktu untuk memulihkan diri, aku memanfaatkan waktuku untuk berlatih... Namun, sayangnya, ada sesuatu yang mengganjal perkembanganku."

"Hm, apa itu?" Tanya Sang Ibu dengan penasaran.

"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Tetapi, aku merasa khawatir bahwa pilihan yang aku ambil akan membahayakan Ibu. Hal ini membuat pikiranku menjadi tidak stabil," ucap Hang Jihan, mencurahkan semua isi hatinya.

Air mata mengalir di pipi Sang Ibu saat mendengar perkataan Hang Jihan. Tak disangka, perhatian anaknya begitu dalam, menimbulkan perasaan haru bercampur aduk. Kesedihannya berbalut kebahagiaan yang mendalam.

Sang ibu memahami kendala yang menghambat perkembangan Hang Jihan. Ia pun menyadari, bahwa sebagian tanggung jawab atas hal ini juga ada pada dirinya. Oleh karena itu, sang ibu memberikan nasihat kepada Hang Jihan untuk keluar dari masalahnya saat ini.

"Jihan kecil, Ibu sangat menghargai kepedulianmu, tetapi kecemasanmu terhadap Ibu dapat menghambat perkembanganmu. Seperti kata pepatah, 'Air yang tenang menghanyutkan, air yang deras menyimpan batu.' Mungkin saat yang tepat bagi kita untuk merenung, seiring dengan usaha dan pertimbangan dalam menjalani kehidupan ini. Terkadang, jalur yang tampak terbuka dapat menutupi risiko yang tak terduga."

Hang Jihan merenung sejenak, tenggelam dalam pemikirannya terhadap kata-kata ibunya. Ia berusaha menggali makna di baliknya, mencari pemahaman baru yang dapat diambil.

"Tidak, jika begitu, bukankah seharusnya aku mempertahankan kepedulianku terhadap Ibu?" ucapnya, mencermati dilema yang muncul dari kata-kata bijak ibunya.

"Tidak, kamu tidak harus mempertahankan kepedulianmu itu, namun ada saatnya kamu berpikir secara rasional, dalam kehidupan ini hanya ada kamu dan dirimu sendiri. Jangan terbebani oleh sesuatu yang berada di luar kendalimu, sesungguhnya orang hebat bukan lah mereka yang memiliki kekuatan, namun mereka yang mampu mengendalikan dirinya sendiri"

Mendengar itu, tiba-tiba saja Hang Jihan merasa tercerahkan, di mana kekhawatiran yang selama ini menjadi hambatannya lenyap begitu saja, dan kini, di dalam batas-batas tubuhnya, terasa lonjakan energi yang signifikan, menciptakan perasaan yang begitu luar biasa, seolah-olah di depannya terbentang prospek peningkatan yang sangat menakjubkan.

"Ibu sangatlah bijaksana" ucap Jihan, dengan penuh hormat sambil membungkukkan dirinya.

Melihat Jihan yang sedang membungkuk, sang ibu dengan sigap membangunkannya, memberikan kontribusi aktif pada momen tersebut.

"Jihan kecil, bangunlah. Tidak perlu mengucapkan terima kasih, karena pada hakikatnya, kamu telah berhasil menyelesaikan permasalahanmu sendiri," balas ibunya dengan senyuman hangat, menyelipkan kesan kebijaksanaan.

"Terima kasih, Ibu—" Sebelum Hang Jihan selesai berbicara, tiba-tiba terjadi letupan energi yang melonjak dalam diri Hang Jihan, sesuatu yang sepenuhnya tak terduga, bahkan dirinya sendiri tak mampu menahan guncangan tersebut.

Melihat kondisi Hang Jihan, sang ibu dengan cekatan memberikan arahan untuk segera melakukan penerobosan. Dirinya juga tidak menyangka bahwa pencerahan yang Hang Jihan dapat kali ini merupakan sesuatu yang besar dan sangat mendalam.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, Hang Jihan dengan cepat mempersiapkan posisi duduknya, siap untuk menyerap dan mengintegrasikan energi yang bergelora di dalam lautan primordial miliknya.

***

Di hutan Jura.

Desingan nyaring dua bilah pedang yang saling beradu memecah keheningan malam di pedalaman hutan. Pertarungan sengit pun terjadi antara Karavan Pedagang dan kelompok Bandit Hutan.

Ketegangan menyelimuti atmosfer, memicu kekacauan di antara kedua belah pihak. Para pedagang berusaha bertahan dari gempuran bandit, memberikan perlawanan sekuat tenaga.

Namun, malam berdarah itu tampaknya tak terelakkan. Jumlah bandit yang terus berdatangan membuat pengawal karavan kewalahan. Peluang untuk meraih kemenangan semakin memudar.

Jeritan para pedagang karavan memekakkan telinga. Di bawah rimbunnya pohon, kemah-kemah berserakan menjadi saksi kekejaman para bandit. Bagi yang bukan seorang praktisi, hanya nasib pahit yang menanti. Terjebak dalam kegelapan tanpa harapan, mereka pasrah.

Namun, nona muda bersama kedua pengawalnya tak ingin menyerah. Diam-diam, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk melangkah keluar dari perkemahan. Dengan langkah hati-hati, mereka berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian.

Awalnya, semuanya berjalan lancar. Namun, tiba-tiba,

*Krekk... *

Bunyi ranting patah, menarik perhatian para bandit.

Dihadapkan situasi tak terduga, kedua pengawal hanya bisa menghela nafas. Kesetiaan mereka terlihat jelas di wajah mereka, siap melindungi nona muda. Sementara itu, nona muda hanya bisa tersenyum malu, menyadari kesalahannya.

Spontan para bandit berseru, "Kejar mereka! Jangan biarkan satu pun lolos!"

Mendengar teriakan itu, para pengawal berlari menerobos kegelapan hutan, menggendong nona muda di tengah kepungan bandit. Jumlah bandit yang mengejar membuat tugas mereka semakin berat.

Langkah demi langkah, mereka menerobos semak belukar hutan belantara yang gelap gulita. Tekad membara membakar semangat mereka untuk menembus kegelapan dan menyelamatkan nona muda.

*Slashh*

Suara tebasan pedang menandakan serangan brutal para bandit. Meski sigap menghindar, suasana semakin mencekam. Beberapa bandit berhasil menyusul, menambah ketegangan dan mempersempit peluang mereka untuk lolos

"Hahaha, gadis kecil, tak ada lagi tempat bagimu untuk melarikan diri," ujar pemimpin kelompok bandit dengan senyuman licik. Orang tersebut adalah Baili Sedum, tuan muda ketiga dari kelompok bandit hutan.

"Cih, sekumpulan makhluk hina," balas nona muda dengan acuh tak acuh.

Mendengar itu, amarah meledak dalam diri pemimpin bandit. Dia memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.

"Bagus gadis kecil, jangan salahkan aku jika aku bertindak kasar!"

Sekali lagi dua pengawal Nona muda menghela nafas, menyadari bahwa pertarungan tak terelakkan.

Sesaat sebelum bersiap, salah satu pengawal melepaskan pelukan nona muda kepada adiknya, yang tak lain adalah Zhan Chen.

"Larilah, aku titipkan nona muda ini kepadamu," desisnya tepat di telinga adiknya.

"Tapi, Kakak—"

"Sudahlah, jangan banyak bicara! Prioritas kita saat ini adalah keselamatan nona muda. Pergilah!"

Dengan tegas, sang kakak memberikan jalan agar adiknya menjauh dari para bandit.

Air mata mengalir di pipi sang adik, membasahi rona merah jambu yang memudar. Dalam bisikan hati yang lembut, ia berjanji, "Kakak, aku takkan membiarkan pengorbananmu berakhir sia-sia." Tekad yang membara tercermin dari sorot matanya yang berkaca-kaca.

Kakinya melangkah, berlari sekuat tenaga. Ia tak peduli dengan rasa lelah yang mendera, ataupun rasa sakit yang menusuk di kakinya. Yang ada di benaknya hanyalah satu tujuan: menyelamatkan nona muda dan mewujudkan impian sang kakak.

Sementara itu, nona muda meronta-ronta dalam gendongan Zhang Chen. Air mata mengalir tanpa henti di pipinya yang pucat pasi. Ia tak ingin terpisahkan dari pengawal setianya itu, tak ingin terjebak dalam situasi yang tak terkendali ini.

Pemandangan di hadapan mereka begitu memilukan. Tangan sang nona muda terentang ke arah pengawal yang rela mengorbankan diri, penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Kenyataan pahit menimpanya, bagaikan badai yang menghancurkan seluruh kebahagiaannya.

Terpopuler

Comments

Jimmy Avolution

Jimmy Avolution

ayo

2024-02-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!