Aku, sudah sering memandikan adik laki-lakiku. Bahkan sedari Damar bayi.
Aku juga tahu, alat kel++++ pria dan sudah terbiasa pula melihatnya.
Tapi tetap saja terkejut melihat barang berharga milik Aray, suamiku.
Sangat berbeda. Membuat mataku seringkali kupejamkan karena tak tahan melihatnya. Bahkan sampai beberapa kali tanganku bergetar setiap kali Aray memerintahkan untuk mencuci bersih bagian bawahnya.
Yang paling membuatku semakin malu, Aray justru terlihat tak peduli ketika jari jemariku Ia suruh agar lebih cekatan lagi membersihkan area-area tersembunyi pangkal paha serta bok+++nya.
Dia diam tak banyak bicara sampai selesai bilasan gayung terakhir.
Hhh... Lega rasanya.
Aku kini memapah Aray kembali duduk di atas kursi rodanya setelah selesai mandi dan kupakaikan handuk lebar di bagian tubuh bawahnya.
Sekedar informasi, Aray mandi dengan tubuh duduk di atas kursi plastik khusus yang ada di sudut pintu kamar mandi. Semuanya, tentu saja atas perintah Aray sebelum Aku benar-benar memandikannya.
Masih banyak pe'er ku. Yaitu, memakaikan Aray pakaian lengkap dan duduk kembali di atas kursi roda satunya.
Aray memiliki dua kursi roda. Yang satu elektrik. Satunya lagi manual.
"Rebahkan saja Aku diatas kasus." Perintah Aray kemudian. Sepertinya Ia bisa menerka kebingunganku tentang bagaimana caranya memakaikan bajunya dengan benar.
"Oh, baiklah."
Aku kembali menurut.
Tapi lagi-lagi dengan wajah memerah menahan malu.
Tubuh mulus itu terpampang jelas dihadapanku. Sangat jelas bahkan sampai bulu-bulu halus di seluruh kulit putihnya bisa kulihat satu persatu.
Tubuhnya juga begitu lembut. Mengalahkan lembutnya kulitku yang seorang anak perempuan.
"Hestia?"
"I_iya, Aray?"
"Kudengar kamu tidak mau lanjut sekolah. Apa itu benar?"
Aku tertohok.
Itu tidak benar. Justru Aku dipaksa berhenti sekolah hanya demi dinikahkan olehmu. Untuk membayar semua hutang-hutang bapakku yang kalah di meja judi.
Ingin sekali Aku mengatakan yang sebenarnya. Tapi, bibirku bungkam lidahku kaku. Hanya anggukan kepala pelan dan kuyakin Aray pasti tak akan lihat.
"Kenapa?"
Pertanyaan yang menyakitkan.
"Tidak kenapa-kenapa."
"Hm. Pasti karena biaya."
Itu betul. Tapi sebenarnya Aku sekolah dengan beasiswa. Aku dan beberapa teman lainnya termasuk Akmal, sekolah gratis bebas biaya karena mendapatkan beasiswa dari pemerintah.
Akmal...
Tiba-tiba Aku ingat Akmal.
Murung wajahku tak sanggup mengingatnya.
Mengapa kemiskinan ini membuyarkan asa kami? Harapan menggapai kebahagiaan dengan impian hidup bersama dalam naungan rumah tangga merajut mimpi melewati suka duka bersama, buyar sudah.
Nyatanya, karena kemiskinanlah yang pada akhirnya membelenggu kebebasan kami.
Aku dan Akmal seringkali berbagi mimpi. Suatu hari nanti, entah lima atau enam tahun kedepan... Kami sama-sama dewasa. Tamat SMA, bekerja lalu kumpulkan uang untuk menikah. Merantau pergi ke kota, mencari penghidupan yang jauh lebih layak dengan beragam pekerjaan yang ada di sana.
Tapi ternyata,...
"Hestia! Apa yang kamu lakukan?"
Aku tersentak.
Kudekap mulut dengan tangan karena sadar akan kesalahan ini.
Aku, lupa memakaikan underw+++ Aray dan langsung memakaikan celana bahan ke kedua kakinya.
Ya ampun! Bodoh, bodoh! Bodohnya kau, Hestia!
"Maaf, Aray. Maafkan kesalahan Saya."
"Hahaha... Kamu ini. Hampir saja burung Garuda ku terjepit resleting karena kamu melamun. Hahaha..., Aku sampai pucat ketakutan ini."
Aku terdiam dengan mata fokus ke wajahnya Aray.
Lagi-lagi senyumnya membahana. Aku kembali terpesona.
Dengan cepat kuselesaikan pekerjaan yang maha berat ini. Aku bergerak dengan menahan nafas. Semua harus kulakukan dengan memejamkan mata berkali-kali.
Batin ini terus kutegaskan kalau burung Aray sama seperti burung milik Damar. Hanya punya Aray adalah versi dewasanya. Begitu dokrinku pada otak kecil ini.
Akhirnya tugasku selesai juga meskipun dengan keringat dingin bercucuran.
Aray kini sudah rapi berpakaian dan kududukkan di atas kursi roda elektriknya.
"Pakaikan wajahku dengan serum dan pelembab yang ada di meja itu."
Seketika aku tersadar. Pantas saja wajahnya tampan, glowing bercahaya. Ternyata Aray melakukan perawatan rutin meskipun indera penglihatan dan sel syaraf geraknya tak berfungsi.
"Kamu mengira Aku suka melakukan ini?" tanyanya membuatku tertegun. Tak menyangka kalau Aray bisa mendengar isi hatiku.
Bukankah melakukan sesuatu hal dengan rutin tandanya suka?
"Aku hanya butuh pengalihan fikiran agar otakku tak terus menerus berfikir buruk dengan nasib dan takdir ini."
Nasib dan takdir buruk? Iya juga. Aray buta dan lumpuh. Setahuku dulu Ia normal sama seperti orang pada umumnya.
Waktu Aku kecil, Aku sempat beberapa kali melihat Aray yang tampan dari atas bangunan rumah besarnya ketika membantu Ibu kuli membabat rumput disekitar tanah Sereal yang berhektar-hektar.
Aray, putra kesayangan juragan Rudi dan Nyonya Aida. Karena Aray adalah anak laki-laki satu-satunya mereka dari tiga orang anak perempuan yang dilahirkan Nyonya Aida.
Aray adalah anak nomor tiga. Itu yang kutahu dari cerita Ibu ketika kutanya siapa anak laki-laki yang sedang menerbangkan layangan besar di atas balkon rumah besar itu.
Entah mengapa, kondisinya kini mengenaskan seperti ini. Apa karena Aray mengalami kecelakaan? Sungguh nasib yang malang.
Dan ternyata, takdir menetapkan Aku jadi suami anak laki-laki tampan ini.
Aku menghela nafas.
Grepp.
"Kenapa? Kenapa Aku sering sekali mendengar kamu menghela nafas. Seperti ada aura kesedihan yang sedang ingin kau tunjukkan padaku. Kamu kecewa menikah denganku?"
Aku tergagap. Aray tiba-tiba meraih wajahku dengan kedua belah tangan halusnya yang hangat.
"Ti_tidak. Mana mungkin Saya kecewa. Apalagi menikah dengan putra kesayangan juragan Rudi dan Nyonya Aida. Saya seperti perempuan miskin yang mendapatkan durian runtuh."
"Hahaha... hahaha. Tak kusangka kamu bisa menjilat juga, Hestia. Hahaha..."
Aku tersenyum malu. Aray tertawa terbahak-bahak.
"Sudahlah. Haruskah kita kecewa pada Tuhan karena menakdirkan kesedihan jadi nasib buruk? Hm. Sungguh manusia yang kufur, tidak punya rasa syukur. Padahal diluaran sana masih banyak orang yang lebih susah lagi hidupnya dari kita."
Aku terdiam. Perkataan Aray bagaikan sindiran telak untukku yang selalu mencaci Tuhan dalam hati setiap hari setiap malam.
Aku selesai menyisir rambut Aray yang hitam legam bergelombang.
Rambut yang bagus, harum wangi semerbak karena habis kukeramasi barusan.
Aku tersenyum puas. Hasil pekerjaanku cukup bagus di hari pertama.
Aku meraih botol lotion hand and body dan juga serum wajah serta pelembab wajah dari tangan Aray.
Untuk mengoleskan semua krim itu, Aray sendiri yang melakukan tanpa bantuanku. Kecuali mengoleskan lotion pelembab tubuh di bagian kakinya, karena Aray tak bisa menjangkaunya.
"Selesai. Terima kasih, Hestia."
"Sama-sama, Aray."
"Bajumu basah. Mandilah segera, supaya kamu tidak masuk angin. Setelah itu, kita makan bersama. Karena sebentar lagi akan datang pelayan membawakan makan malam kita."
Seketika Aku tersadar, hari telah berganti malam. Ternyata bersama Aray, waktu begitu cepatnya. Sampai lupa kalau kami belum makan sejak pagi tadi. Tepatnya sebelum ijab kabul yang tak kusaksikan prosesinya.
Aku mandi, sesuai perintah Aray.
Dan betapa terkejutnya Aku ternyata pakaian dan perlengkapan untuk kupakai sudah disediakan satu lemari penuh oleh pihak Aray di ruang ganti.
Aku terpana. Dan segera mengambil satu set pakaian untuk kukenakan. Aku tidak bisa berleha-leha, karena Aray sedang menunggu.
"Aku yakin kamu pasti cantik sekali malam ini. Harum aroma sabun mandi, membuatku tergoda ingin menciumi tubuhmu."
Kata-kata Aray memerahkan kulit wajahku tatkala Aku menghampirinya di ruang makan.
"Duduklah. Kita makan malam bersama."
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
FIE
kasur, typo nih😅
2024-02-11
1