Keesokan harinya, Aku benar-benar dipaksa keluar lebih cepat dari rumah.
Ibu dan bapak mengantarkan Aku ke rumah besar juragan Rudi.
"Kenapa pipi putrimu lebam-lebam begitu?" tanya juragan Rudi ketika pertama kali melihat wajahku.
Bapak tak berani menatap. Dia menunduk dan mengatakan, "Anak ini nakal! Dia mau kabur dari rumah. Makanya Saya,"
"Jangan main kasar! Aku tidak terima kalau putrimu cacat atau lemah. Aku butuh anak perempuan yang sehat dan kuat!"
"Juragan tak perlu khawatir. Hestia anak yang sehat. Tenaganya juga kuat. Putriku bisa diandalkan, Juragan. Untuk itu, Saya lebih tenang jika Hestia lebih cepat pindah ke sini. Saya pasrahkan putri saya pada juragan. Jika dia berani berbuat macam-macam, silahkan juragan hendak lakukan apa saja. Saya lepas tangan."
Sungguh orang tua yang kejam. Biadab, tak punya perasaan.
Aku dianggap tak ubahnya hewan peliharaan.
Bapak Ibu meninggalkanku di rumah besar juragan Rudi tanpa pamitan padaku yang langsung dibawa ke sebuah kamar di lantai dua.
Memang sedikit lebih baik. Karena kamar yang kutempati keadaannya jauh lebih baik daripada di rumahku sendiri yang seperti kandang sapi.
Meskipun tetap dikunci dari luar, Aku cukup lega karena kamar berukuran 7x5 meter itu lengkap perabotan kamarnya dengan ranjang kayu dan kasur berukuran super besar dan juga lemari pakaian yang didalamnya terdapat baju-baju perempuan.
Aku yang dengan sengaja membuka pintu lemari dan ingin tahu apa isinya seketika termangu sendirian.
Aku, dinikahkan dengan putra kesayangannya juragan Rudi? Kenapa? Pasti ada yang salah. Apakah Aku harus bersedih atau justru bersyukur dengan keadaan ini? Akmal pun tak akan mampu memberikan semua materi ini jika saat ini juga menikahiku. Tapi ini rasanya terlalu janggal. Terlalu bagus untuk sebuah pertukaran.
Krieeet...
Aku melonjak kaget.
Pintu kamar dibuka seseorang.
Istri juragan Rudi berdiri di depan pintu kamar yang terdiri dari dua daun pintu yang besar khas pintu rumah-rumah orang kaya.
"Hestia..., mari kita makan. Tapi sebelumnya, Aku ingin bicara dulu empat mata denganmu. Dengarkan ucapanku baik-baik. Mengerti?"
Aku menatap sebuah kliping di atas meja makan.
"Bacalah." Perintah Nyonya Aida.
Aku menurut. Dengan tangan agak gemetar kubuka lembarannya.
Isinya, poin-poin perjanjian yang tak kumengerti.
Jika menikah, haruskah ada perjanjian pula? Ada apa? Mengapa?
"Baca dan ingat-ingat dengan benar. Pak Komar memiliki hutang hampir dua belas juta pada kami. Itu tanpa bunga, karena kami tahu dia hanya seorang buruh yang gajinya tak lebih dari lima puluh ribu sehari. Itu sebabnya kami memilihmu untuk dinikahkan dengan putraku, Aray."
Aku menunduk.
"Isi perjanjian adalah, kamu tidak boleh melarikan diri dari rumah ini baik sebelum menikah ataupun sudah menikah karena Ibumu yang akan menanggung kesalahanmu itu nantinya. Setelah menikah, kamu harus mengurus putraku dengan benar. Jasmani dan rohaninya. Jangan pernah membantah Aray. Apalagi menyakitinya. Kamu tidak boleh keluar rumah tanpa seizin Aray. Mengerti?"
Aku masih menunduk.
"Jawab dengan suara!"
"I_iya, Nyonya."
"Setelah menikah nanti, kalian akan tinggal di rumah villa Asri. Villa yang dipilih Aray untuk kalian tempati. Semua kebutuhanmu, akan kami penuhi. Jadi kamu tak perlu takut kekurangan. Tugasmu hanyalah menjadi istri yang baik bagi putraku Aray. Konsekwensinya jika kamu melanggar, adalah Ibu kandungmu yang bertanggung jawab. Camkan itu! Sekarang, tanda tangan di sini!"
Aku gugup. Tangan gemetar sampai basah berkeringat dingin. Suara Nyonya Aida tegas tapi dihatiku serasa menggelegar.
Aku adalah anak perempuan berusia 16 tahun. Masih sangat muda dan bau kencur. Masih sangat takut dengan segala sesuatu yang berbau tekanan apalagi ancaman.
Dan Aku menandatangi kontrak perjanjian pranikah meskipun batinku berkecamuk.
Dimana putranya yang akan menikah denganku? Kenapa Ibunya yang menyuruhku menandatangani perjanjian? Bukankah harusnya orang yang berkepentingan?
Pertanyaan demi pertanyaan dibenakku tak terjawab sampai hari pernikahan tiba.
Pernikahan yang aneh.
Karena Aku didandani dengan cantik, juga kebaya encim modern yang indah, tapi hanya duduk menunggu di dalam villa Asri ditemani tiga pelayan juragan Rudi.
Ijab kabul dilakukan di kediaman juragan Rudi. Dihadapan kedua orang tuaku dan juga beberapa orang kerabat serta tamu undangan yang dipilih.
Aku tak tahu.
Yang Aku tahu ternyata pernikahan kami telah terjadi ketika Ibu mendatangi sembari mengucapkan selamat padaku.
"Selamat menempuh hidup baru, Anakku. Kini kamu sudah jadi seorang istri. Jagalah nama baikmu sendiri. Hormati dan sayangi selalu suamimu. Baik buruknya beliau adalah imammu di akhirat kelak."
Aku menangis tergugu.
Mengapa Ibu tega 'membuang'ku? Mengapa Ibu pasrah ketika Bapak menjualku? Apakah Aku ini anak yang selalu menyusahkan? Bukankah selama ini Aku selalu berusaha meringankan bebannya? Membantu pekerjaannya? Mengurus kedua adik tiri dan tak pernah berontak ketika Ibu jelas-jelas lebih menyayangi mereka dihadapan ku?
"Hik hiks hiks... Ibu. Seburuk itukah Hestia dimata Ibu? Sampai Ibu lebih suka Hestia keluar dari rumah dan tinggalkan Ibu dengan Bapak?"
Ibu menutup mulutku dengan telapak tangannya.
Kami menangis bersama. Meratapi nasib buruk yang seolah tiada habisnya. Bahkan sampai Aku berfikir kalau diriku sudah ditakdirkan meneruskan nasib buruk Ibu meskipun pernah berkhayal bisa menikmati cinta dan kasih sayang yang sempurna dari seorang Akmal.
"Hiks hiks hiks..."
Tangis Kami mereda. Tiba-tiba pintu villa Asri terbuka lebar.
Krieeet...
Juragan Rudi dan Nyonya Farida masuk sembari mendorong kursi roda berisikan seorang pria...tampan berkulit putih bersih dengan mata yang menatap tajam.
Inikah suamiku?
Jantungku berdegup kencang.
"Bisakah yang tidak berkepentingan untuk keluar dari villa ini?"
Aku menelan saliva penuh rasa takut sekaligus takjub.
Nyonya Aida menyuruh Ibu dan beberapa pelayan untuk keluar dan pintu ditutup rapat.
Kini, tinggal kami berempat.
Aku, Suamiku, juragan Rudi dan Nyonya Aida.
"Mama..., dimana istriku?"
Aku terhenyak. Suara pria muda tampan yang duduk di kursi roda itu terdengar lembut menggetarkan kalbu.
Dia... tidak bisa melihat dan juga lumpuh?
"Dia ada di hadapanmu, Aray. Hestia... mendekatlah! Kalian sudah sah menjadi suami istri."
Aku yang gugup keringat dingin dan jantung berdebar kencang berjalan perlahan. Mataku takut-takut melirik pria yang kini adalah suamiku itu.
Grepp
Nyonya Aida menarik tanganku cepat. Sehingga tubuhku terjatuh tepat di depan kursi roda.
"Mama?!?..."
"Pegang tangan Aray!" hardik Nyonya Aida tanpa suara dan mata melotot padaku.
"Hestia..."
"Sa_saya disini, Den Aray."
Degub jantungku tak beraturan. Seperti bunyi detik jam yang siap meledak karena tegangannya yang tinggi.
Aku memejamkan mata, tatkala jemari Aray meraba-raba wajahku. Seolah Ia ingin melihatnya dengan jelas. Melalui mata batin dan perasaannya.
"Ma, Pa... tinggalkan kami berdua."
Aku terhenyak. Aray menyuruh kedua orang tuanya untuk pergi. Dan mereka penurut sekali.
Kini, tinggal aku dan Aray berduaan dalam kesunyian.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
wikha Sandra
ceritanya bagus
2024-02-27
1