Bapak mengurungku di kamar. Aku benar-benar di pingit tak boleh keluar sendiri meskipun itu untuk pergi ke kamar mandi.
Setiap kali hendak mandi atau sekedar buang air kecil dan pup, Bapak menungguiku di depan pintu kamar mandi.
Kamarku di kunci dari luar hingga tak ada kesempatan untukku melarikan diri.
Seminggu berlalu Aku dikurung seperti tahanan.
Ternyata, Bapak sudah menemui kepala sekolah dan mengatakan kalau Aku akan berhenti sekolah. Tentu saja itu bukanlah hal yang mudah. Mengingat Aku adalah murid kelas 3 yang sebentar lagi akan ujian kelulusan. Sangat disayangkan dan tanggung sekali jika benar-benar berhenti tiba-tiba bersekolah.
Tapi bukan Bapak namanya jika tak bisa memberikan alasan yang tepat sehingga Pak kepala sekolah dan guru-guruku terpaksa merelakan Aku putus sekolah.
"Ibu..., bukankah juragan Rudi adalah orang kaya raya? Pemilik tanah, sawah dan kebun luas di tanah Sereal ini? Mengapa ingin menikahkannya dengan Hestia seorang anak kuli tani yang miskin ini?" tanyaku pada Ibu.
Tentu saja, semua ini begitu janggal rasanya.
Bagaimana bisa anak juragan kaya raya mau saja, terima saja pernikahan yang timpang ini? Aku, sudah pasti tak sepadan. Latar belakang, pendidikan dan juga gaya hidup. Pastinya bertolak belakang.
Apalagi setahuku putra juragan Rudi lulusan kota dan tinggal di asrama kota. Biasanya pulang ke kampung ini hanya setengah tahun sekali.
Ibu tak menjawab. Karena seperti itulah Ibu. Tak punya kapasitas dan kekuasaan apalagi kekuatan untuk menyuarakan isi hatinya sendiri selama belasan tahun menjadi pendamping bapak.
Aku tak bisa berharap banyak.
Begitulah keluarga kami.
Karena Ibu sendiri merasa berhutang budi pada Bapak yang menikahinya karena sudah hamil di luar nikah. Dan aku adalah anak haram yang bukan darah daging Bapak.
Mereka menikah awalnya hanya untuk menutupi aib Ibu. Tapi ternyata jodoh mereka panjang sampai saat ini dan sudah membuahkan dua orang anak sepasang laki-laki dan perempuan.
Bapak ternyata seorang penggila judi. Ia lebih banyak menghabiskan waktu senggangnya di meja judi. Begitu setiap malam terutama malam minggu bersama teman-temannya.
Dan Ibu tak pernah bisa melarang apalagi melawan perlakuan Bapak yang semena-mena. Sungguh, Ibuku malang Ibuku sayang.
Seminggu kemudian, juragan Rudi datang bersama rombongannya. Membawa hantaran seserahan yang lumayan banyak sehingga membuat iri para tetangga yang sama-sama miskin seperti ku.
'Beruntungnya Hestia. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi, tapi langsung bersuamikan anak juragan kaya raya. Dia benar-benar anak bernasib baik.'
'Andai Aku punya anak perempuan seumuran Hestia, Aku juga mau putriku dinikahkan oleh anak juragan seperti dia.'
'Komar sungguh beruntung. Dia tak perlu susah-susah lagi kerja banting tulang untuk bayar hutangnya yang tak habis-habis pada juragan Rudi.'
Begitu kasak-kusuk para tetangga yang melihat keramaian di rumah kecil kami. Seolah keluarga kami sedang dinaungi keberuntungan saat ini.
Bapak tersenyum bangga. Ibu juga terlihat lega. Hutang piutang Bapak benar-benar terlunasi karena Aku yang mereka jual secara tidak langsung.
Dusun kampung menentukan hari pernikahanku dengan putra juragan Rudi. Yaitu akan dilaksanakan seminggu kemudian.
Hari ini putra juragan tidak ikut serta. Semakin membuatku curiga kalau sebenarnya ada sesuatu yang disembunyikan mereka.
"Calon menantuku cantik sekali. Semoga kamu bisa menjadi istri yang baik untuk putra kesayangan kami, Aray." Istri juragan Rudi mengelus pundakku lembut.
"Ke_kemana calon mempelai prianya?" tanya Ibu agak ragu-ragu karena takut dibentak Bapak.
"Ada, ada. Putra kami yang meminta menikah dan dia senang sekali kalau sebentar lagi akan menikahi putri pak Komar." Jawab juragan Rudi dengan suara lantang.
Aku menunduk. Diam dan pasrah. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Tiba-tiba ekor mataku melirik ke arah kiri. Fatia menatapku dan mengerjapkan mata beberapa kali. Ia adalah teman sekolahku. Sepertinya Fatia mengisyaratkan sebuah kode untukku. Semoga saja kami bisa melakukan pembicaraan diam-diam setelah acara seserahan usai.
Tiga jam juragan Rudi beserta rombongannya berada di rumahku. Mengobrol ngalor ngidul membicarakan acara pernikahan ku yang akan digelar minggu depan.
Akhirnya Aku bisa menerima salaman Fatia yang ternyata jadi salah seorang pembawa seserahan dari keluarga juragan Rudi.
Grepp
Aku terkesiap. Fatia menyelipkan sebuah surat dari tangannya dengan cepat.
Dengan cepat kumasukkan benda yang digulung kecil itu ke dalam saku rok panjangku. Jantungku berdegup kencang.
"Dari Akmal," bisik Fatia di daun telinga kiriku.
Aku mengangguk.
Akmal, sudah lama kita tak berjumpa...
Air mataku meleleh tanpa sadar.
"Jangan menangis. Minggu depan kamu akan hidup lebih baik. Menikah dan tinggal di rumah besar keluarga suamimu. Harusnya kamu berterima kasih padaku. Anak seorang juragan yang meminangmu. Bahkan jika kau mencari jodoh sendiri, tak kan mampu mencari jodoh yang tajir seperti putra juragan Rudi. Apalagi mengingat masa lalumu, yang..."
Aku menyusut air mata dengan cepat. Lalu melangkahkan kaki masuk ke kamar yang kecil dan pengap.
Pandanganku kabur karena mata yang berkabut. Kaca-kacanya perlahan pecah meneteskan butiran bening yang menyesakkan dada.
"Hiks hiks hiks... hiks hiks hiks..."
Aku terlalu sakit menahan perasaan yang dibungkam.
Sakit karena harus menerima nasib buruk yang sangat ingin kutentang.
Tapi, aku tak bisa apa-apa. Aku tak sanggup melawan karena sadar diri siapa Aku ini.
Kulebarkan gulungan kertas yang Fatia berikan tadi tanpa sepengetahuan Bapak. Selembar surat dari Akmal untukku.
Hestia...
Apa kabarmu? Maaf, Aku tak kuasa menentang keinginan keras bapakmu. Maaf,... Aku tak mampu melawan kekejamannya untuk bisa merebutmu kembali ke sisiku. Tapi..., kumohon, temuilah Aku dahulu untuk yang terakhir kali. Aku, Aku ingin sekali bertemu kamu di tempat rahasia kita. Kutunggu besok pagi pukul tujuh. Usahakan kamu bisa keluar dan menemui Aku.
Akmal
Yang mencintaimu.
Tentu saja, Aku seperti mendapat angin segar setelah membaca selembar surat tulisan tangan Akmal. Aku, Aku bertekad akan menemuinya dengan cara apapun. Meskipun Aku harus menjebol bilik bambu kamarku agar bisa keluar dan kabur dari rumah.
Ketika Aku keluar kamar dengan mengetuk pintu agar pintu dibuka Bapak, diam-diam Aku menyelundupkan pisau dapur agar bisa menyobek sedikit demi sedikit bilik bambu kamarku yang sudah usang dan tipis.
Berhasil.
Aku bisa kabur besok pagi dan bertemu Akmal di saung tersembunyi di kebun singkong.
...°°°°°°°...
"Akmal..."
"Hestia."
Aku dan Akmal saling berpelukan melepas rindu.
Kutahan isak tangis agar tidak membesar dan terdengar para buruh di kebun singkong itu.
"Hestia..., tunggu Aku lima tahun lagi. Aku akan datang menjemputmu. Tepatnya tanggal dua belas bulan Januari, lima tahun kemudian. Ingat itu, Aku akan perjuangkan cinta masa muda kita menjadi cinta yang serius."
Aku menangis di pelukan Akmal. Sampai tak sadar kalau Ia memberanikan diri mencium bibirku untuk yang pertama dan terakhir kali.
Hingga tiba-tiba,
Srett... gedebukk
"Anak bodoh!"
Plak plak plakkk
"Bapak!!! Jangan apa-apakan Akmaaalll!!!"
Aku menjerit ketakutan. Bapak datang dengan beberapa orang temannya. Memegang kedua tanganku lalu memukuli Akmal dengan membabi-buta.
"Bapaaakkk,...!"
Plak plak plakkk
Buk buk bukkk
Tamparan di pipi dan pukulan keras ditubuh tak lagi kurasakan sakitnya melebihi sakit hati ini.
Kutatap tubuh Akmal yang tergeletak tak bergerak di atas dipan saung yang ada ditengah kebun singkong.
"Akmal..., Akmal bangun! Akmal, maafkan Aku. Hiks hiks hiks..."
Hanya tangisan penyesalan yang bisa kulakukan sembari menatap Akmal sampai hilang dari pandangan.
Bapak menyeretku pulang tanpa perasaan.
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
sasip
hadeuh, kejamnya dunia tercermin dari kejamnya bpk tiri ya ternyata.. 😖😩 kasihan akmal, semoga tetap hidup dan bisa memperjuangkan masa depannya..
2024-11-24
2