The Lover 4

Walaupun Aray buta dan lumpuh, tetap saja Aku gugup duduk dihadapannya.

Wajah Aray tampan. Kulitnya putih bersih, mulus seperti bayi. Sungguh kulit laki-laki yang jarang sekali kutemui selama hidup dimuka bumi ini.

"Hestia."

"I_iya Den Aray."

Aku terdiam, dia juga diam.

"Kenapa masih panggil Aku Den? Apakah Aku ini majikanmu?"

Aku tertegun.

Lalu Aku harus panggil apa?

"Panggil Aray saja."

"Tak...berani."

Aray tertawa. Giginya yang putih berderet rapi. Membuat pupil mataku membulat terpukau.

Suaranya renyah. Garing dan enak didengar. Juga raut wajahnya. Tampan manis, tak membosankan.

Prakkk

Aku tersentak kaget.

Dua tangan Aray menggebrak pegangan kursi rodanya hingga jam tangannya terpental jauh.

Apakah dia marah?

"Panggil Aku 'Aray'!" sentaknya tiba-tiba membuatku kembali ketakutan.

"I_iya, A_ray."

"ARAY. Panggil yang benar!" seru Aray dengan suara lantang.

"Baik, Aray."

"Begitu. Harus tegas dan jelas. Karena Aku tidak bisa melihatmu!"

Aku menunduk dengan mulut bungkam serta tangan mengepal.

Wajah tampan itu, ternyata bisa juga berubah sangar.

"Kenapa diam? Kau takut?"

Aku menggeleng. Tapi segera tersadar kalau Aray tak dapat melihat.

"Tidak, Aray."

Aku tersentak kaget. Aray menarik tanganku hingga menyentuh lututnya dan kami bersentuhan.

Tangannya, meraba seluruh bagian wajahku dengan lembut dan seksama.

"Kamu cantik."

Aku diam terpaku. Membatu dan membisu. Terlebih ketika jari telunjuknya berhenti di bibirku yang kelu.

Dia, suamiku. Pasti tak ada halangan lagi untuknya memintaku melakukan sesuatu yang paling kutakutkan.

Tapi,... bukankah dia juga lumpuh? Apakah orang lumpuh bisa bergerak dan melakukan 'itu'?

Tentu saja hatiku bersorak kegirangan. Meski begitu, jantungku tetap berdegup kencang tak karuan.

"Mulai hari ini, Aku suamimu. Dan kamu adalah istriku. Kamu berhak mengurusku."

Mataku menatap Aray tak berkedip. Aku baru sadar, Aku bisa menatapnya tanpa perlu rasa takut dan malu. Toh dia tidak bisa melihatku. Tidak tahu apa gerak-gerik ku.

"Aku bisa merasakan kalau kau mencibirku."

Deg deg deg

Jantungku kembali bagaikan dipukul palu.

Aray mengangkat daguku kembali mendongak sejajar dengan wajahnya yang dipahat sempurna oleh Sang Maha Pencipta.

Mataku menyapu bersih keseluruhan bagian wajahnya yang indah. Mumpung ada kesempatan. Begitu gumam hati kecilku.

Pria, tapi berwajah mulus tanpa noda. Hidungnya bangir, seperti perosotan di taman ria. Bulu matanya panjang dan lentik. Bahkan bola matanya yang berwarna coklat gelap, jikalau saja tidak 'cacat', sangat sempurna melengkapi keseluruhan nilai wajahnya. Bibirnya pula, tak kalah menawan. Tidak besar, juga tidak tipis. Sensual untuk ukuran seorang laki-laki.

Aku, terpesona.

"Sudah puas menatapnya?"

Seketika Aku terbatuk-batuk.

"Uhuk uhukk uhuukkk..."

Benar kata orang bijak. Di setiap kekurangan, pasti Tuhan berikan kelebihan.

Rupanya Aray memiliki kepekaan lebih baik daripada Aku yang normal dan bisa melihat.

Aray mampu merasakan apa yang kulakukan. Meskipun itu hanyalah tatapan mata yang tak mengeluarkan suara. Ternyata, Aray dengan tepat bisa menerka apa yang tengah kulakukan padanya.

Aray menghela nafas.

Bahkan hembusan udara yang keluar dari lubang hidungnya pun terasa wangi menyegarkan. Aku, terus menerus terpukau olehnya.

"Bawa Aku masuk kamar."

"Iya."

Aku lagi-lagi menurut. Berdiri dengan sigap dan tangan langsung mendorong kursi rodanya masuk ke dalam kamar yang berhiaskan kelambu tile khas pengantin.

"Aku gak mau tidur di kamar pengantin. Bau kembang orang mati. Pindah ke kamar sebelahnya."

Begitulah kini diriku. Ternyata dinikahkan hanya untuk berganti peran seperti babu.

Aray memberikan pengarahan apa saja yang harus kulakukan. Mulai dari bangun tidur, sampai kembali berangkat tidur. Semua rutinitas Aray, harus kudahulukan. Karena ternyata Aku dinikahi hanyalah untuk mengurus pria buta dan lumpuh ini.

Villa Asri, tempat kami berdua tinggal.

Hanya berdua. Dan tak boleh ada yang lain.

"Aku memang sengaja ingin menikah. Agar ada yang mengurusku tanpa rasa berdosa jika bersentuhan. Bukan untuk senang-senang atau memikirkan nafsu semata. Tapi untuk bisa mempermudah diriku sendiri agar lepas dari orang tua dan tak menyusahkan terus mereka."

Aku dengan tenang mendengarkan ceritanya yang kian seperti seperti seorang pendongeng yang pandai menina-bobokan pendengarnya.

"Hestia?"

"Ya?"

"Apakah kamu masih mendengarkan Aku bicara?" tanyanya lagi.

"Iya, Aray. Saya masih disini mendengar Aray bercerita."

"Aku bukan sedang bercerita. Tapi Aku sedang memberimu penjelasan. Supaya kamu tidak salah faham, dan kecewa dengan kenyataan yang ada."

Aku tersenyum tipis. Tidak. Aku tidak sedang menyesali nasib karena menikah dengan pria yang tak berdaya seperti Aray.

Justru saat ini Aku tersenyum senang dan hatiku sedikit tenang. Aku tak harus melakukan hal-hal yang menakutkan seperti memberi Aray pelayanan di atas kasur spring bed super besarnya.

Aray mengelus rambutku.

"Aku mau mandi."

Seketika wajahku membeku, kaku.

"Bersiaplah dengan segala kenyataan yang ada, Hestia! Aku, pria buta dan lumpuh. Otomatis tugasmu adalah mengurusku sampai aku benar-benar nyaman."

"I_iya."

"Bisakah kau berkata lebih banyak lagi? Jangan hanya iya, baik. Hanya itu sajakah kosakata bahasa yang kamu punya?"

Aku tersentak.

"Hestia!"

"Saya mendengar Aray bicara. Saya mengerti semuanya. Dan Saya akan lakukan perintah Aray."

Brukk

Kedua belah tangannya kembali menggebrak pegangan kursi roda.

Srek

Kepalaku terjungkal ke belakang.

Aray menarik rambutku hingga terjengkang.

Kaget dan sakit sekali rasanya. Tapi yang lebih sakit adalah hati ini. Sakit teramat sangat bagaikan dihujam pisau belati yang tajam.

"Siapkan air hangat untukku mandi!"

Aku pontang-panting bergegas ke arah dapur. Sibuk mencari panci dan ember berisi air bersih untuk kujerang sampai mendidih.

"Hestia! Apa yang sedang kau lakukan?" teriak Aray padaku.

"Masak air, untuk Aray mandi." Jawabku dengan cepat.

Aray terkekeh.

"Apa kamu sepolos itu? Hehehe..."

"Maksudnya?" tanyaku kebingungan.

"Matikan api di kompor. Bawa Aku ke kamar mandi. Biar kutunjukkan caranya mendapatkan air hangat yang pas untukku mandi."

Aku makin bingung. Tapi menuruti perintahnya dengan banyak pertanyaan dibenak.

Aku bisa menggunakan kompor gas. Karena di sekolah setiap sebulan sekali ada pelajaran PKK. Jadi Aku tidak bodoh-bodoh amat dan bisa menyalakannya meski di dapur kami, hanya menggunakan tungku perapian dengan bahan bakar kayu limbah dari rental.

Tapi untuk seperti yang Aray bilang, Aku sungguh tidak faham.

Mataku membulat terpukau, ketika tangan Aray meraba-raba beberapa keran air yang ada di dinding kamar mandi.

"Ini kran air panas. Ini kran air dingin. Kalau kamu mau mandi, nyalakan kedua krannya sampai suhunya stabil menjadi suam-suam hangat kuku. Mengerti?"

Aku mengangguk seraya berkata, "Iya."

"Bantu Aku bukakan baju dan celana."

Deg.

Seketika wajahku panas. Dan bersemu merah.

"Kenapa diam, Hestia? Apakah kamu sedang bengong karena malu? Hei, Aku ini adalah suamimu. Aku bukan laki-laki m*s*m!"

Aku tertunduk. Tapi masih merah padam seluruh wajah sampai leher dan telinga.

Grepp

Aku kaget setengah mati.

"Dengar! Kalau kau masih diam, Aku akan menci*m bi**rmu yang bergetar itu! Ayo, bantu Aku!"

Aray memang tak dapat melihat. Juga tak bisa berjalan. Tapi kedua tangan dan kepalanya berfungsi selayaknya orang normal.

Aku makin merasakan hawa panas menjalari wajah karena hembusan nafasnya tepat menusuk pori-pori kulitku.

A_aray...

BERSAMBUNG

Terpopuler

Comments

sasip

sasip

haish Aray.. padahal kalau tanya mbah google, arti nama-nya itu beruntung loh.. kenapa kelakuannya kasar/galak yak? kan kasihan istri kecil-mu itu kalau cuma diperlakukan sebagai babu ajah.. 😩🤔

2024-11-24

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!