Foresta

Foresta

Baju Merah

Namaku, Kea. Nama asliku adalah Kania. Sedikit melenceng namun tidak jauh-jauh amat 'kan dari nama asliku. Usiaku 17 tahun. Saat ini, aku duduk di bangku SMA di tahun ke tiga. Artinya, setelah ini aku akan lulus dari masa putih abu-abu.

Aku menjalani kehidupan sekolah dengan normal layaknya orang-orang pada umumnya. Tinggal di kota besar dan berkehidupan pas. Bukan orang kaya raya dan bukan orang miskin kelaparan. Sedikit bar-bar namun seperti itulah aku menggambarkannya.

Jalan-jalan adalah hobiku. Bahkan, untuk diam sehari saja di rumah membuat kepalaku pusing karena memikirkan tanah-tanah yang belum aku pijaki seharian. Mohon maaf, aku memang sedikit lebay. Menyebalkan pula. Bahkan teman-teman kelasku memberiku julukan si ulat nangka, si cacing kepanasan, si cerewet dan banyak lagi. Ya, setelah membaca julukan itu, kalian pasti tahu aku adalah orang yang seperti apa.

"Kea, kamu punya senter, nggak?" Tanya seorang gadis berambut lurus hitam sepunggung yang dibiarkan tergerai.

Rambutnya bahkan tetap licin dan indah walau pun habis olahraga. Ya, walaupun ketika olahraga rambutnya akan dikuncir, sih. Namanya Lea. Nama aslinya adalah Azalea. Orang-orang selalu iri dengan keindahan rambutnya. Bahkan ia pernah ditawari untuk menjadi bintang iklan sampo. Namun, karena ia pemalu dan aktingnya payah, akhirnya ia menolak.

"Punya. Kenapa? Kamu nanti mau nyari pangeran hutan malem-malem?" Aku bertanya.

Seorang gadis dengan mata sipit dan gigi kelinci tertawa karena perkataanku. Namanya Dea. Nama aslinya adalah Nadia.

Kami bertiga sahabat baik sejak di tahun pertama sekolah di sini. Kea, Lea dan Dea. Orang-orang menyebut kami Si Daun Semanggi 3. Sebab nama panggilan kami hampir mirip. Padahal, bukan nama yang kami karang sendiri. Itu memang nama panggilan kami sejak kecil.

"Serius, Kea. Masa kamu camping nggak bawa senter. Kita bakal tidur di tengah-tengah hutan, loh," ujar Lea sebal.

"Iya, Lea si duta sampo. Aku bawa, kok. Kenapa, kamu khawatir ya kalau nantinya aku kenapa-napa karena gelap?" Tanyaku sambil mengejeknya.

Lea manyun, "Bukan. Aku nanya karena aku nggak bawa senter. Jadinya, nanti aku pinjam ya senter kamu."

Ini adalah hari jumat. Nanti sore kami akan berangkat ke bumi perkemahan untuk berkemah tentunya. Sekaligus sebagai kemah terakhir kelas XII karena ini adalah tahun terakhir kami sebelum kelulusan.

"Eh, Semanggi 3!" Panggil seseorang memecahkan percakapanku dan Lea.

Kami bertiga menoleh. Itu adalah seorang lelaki dengan rambut kemerahan. Ia beberapa kali mendapatkan hukuman karena mewarnai rambutnya. Namun, ia tidak ada kapoknya dan pihak sekolah tidak terlalu serius menanggapi hukumannya karena si rambut merah ini adalah kebanggaan sekolah. Bagaimana tidak, walaupun selalu melanggar aturan di bagian rambut, yakni diwarnai dan dibiarkan panjang belasan senti. Akan tetapi, hanya itu pelanggaran yang ia lakukan. Itu tidak sebanding dengan prestasi yang ia torehkan untuk sekolah. Tidak hanya akademik, bahkan non akademik juga.

"Ada apa, Ghava?" Aku bertanya malas.

"Kalian tahu nggak, seperti apa yang akan kita jadikan tempat camping nanti?"

"Tentu saja tempat seperti bumi perkemahan. Masa iya kayak meja kamu yang berantakan dan penuh coretan!" Ketus Dea.

Aku dan Lea tertawa.

"Berantakan gitu juga aku adalah kebanggaan sekolah," ucap Ghava songong.

Kami bertiga saling lirik. Apaan, sih.

"Kalian pernah denger tentang monster mengerikan yang tinggal di hutan?" Ghava bertanya dengan wajah serius.

Dea yang penakut menelan ludah. Sedikit cemas sebab ekspresi wajah Ghava yang serius.

"Oh, iya? Bagus, dong. Soalnya monster itu butuh tumbal yang cocok dijadikan penyempurna kekuatan sangat raja monster hutan, yaitu kamu! Si rambut merah berantakan. Tukang buat onar!" ujar Lea.

"Loh, aku serius, Lea, Kea dan Dea. Kalau kataku, sih. Mending kalian nggak usah ikut deh. Takutnya di sana kalian malah ngompol saking takutnya."

Lea menyeringai, "Oh, ya? Lihat saja nanti. Siapa yang lari terbirit-birit pas jurit malam. Kami atau kamu!"

Ghava tertawa puas. Lea memang cepat sekali terpancing emosinya. Itu membuat Ghava paling senang menggoda Lea. Saking seringnya menggoda Lea, teman-teman di kelas kerap kali menjadikan Lea dan Ghava sebagai bahan olok-olok untuk dicomblangin.

Namun, Lea selalu mengalihkan olok-olok itu kepadaku karena sifatku yang sama-sama jail seperti Ghava.

"Satu lagi, di tengah-tengah hutan itu ada area terlarang. Di sana katanya ada gua besar yang menyeramkan. Tidak ada orang yang berani ke sana. Karena siapa pun yang masuk ke gua itu maka tidak akan pernah pulang dengan selamat. Oleh sebab itu, di dalamnya ada banyak tengkorak manusia."

"CUKUP, GHAVA!" Dea berseru marah.

Teriakan Dea membuat Ghava langsung melesat kembali ke tempat duduknya dan memandang kami sambil tertawa puas. Lihatlah, tak lama setelah itu ia ke bangku perempuan lain. Pasti mau diceritakan hal yang sama juga. Dasar menyebalkan.

***

Malam hari di bumi perkemahan. Selain aku dan seluruh teman seangkatan di sekolahku, ada banyak orang lain juga yang berkemah di tempat ini. Tempatnya terang karena dikelilingi lampu warna-warni dan indah. Seperti bumi perkemahan pada umumnya. Walaupun berada di hutan, ini adalah tempat biasa dan sudah menjadi lokasi wisata sejak dulu. Beberapa ratus meter ke utara adalah air terjun. Sudah ada jalanan yang terbuat dari semen menuju ke arah air terjun tersebut. Sehingga tidak perlu khawatir tersesat. Di beberapa jarak di jalan itu pula sudah ada petugas yang menjaga hutan.

"Ternyata nggak seperti yang Ghava ceritakan, ya," ujar Dea sambil menyeruput mie kuahnya.

Ini adalah jadwal makan malam.

"Jadi, kamu percaya sama ucapan si rambut aneh itu?" Aku bertanya.

Dea hanya mengangkat bahu. Lantas kembali menyiapkan mie ke dalam mulutnya.

"Yah, sweater-ku!"

Lea berseru, membuatku dan Dea menoleh. Posisi Lea di paling kanan, aku di tengah dan Dea paling kiri. Kami duduk di batang pohon yang disediakan petugas bumi perkemahan sebagai kursi. Hanya potongan batang pohon biasa dan dipoles sedikit agar layak untuk dijadikan tempat duduk.

Terlihat sweater Lea yang berwarna merah basah terkena tumpahan kuah mie.

"Aduh, banyak banget lagi basahnya," ucap Dea.

"Kamu bawa sweater lagi?" Tanyaku.

Lea menggeleng. Pandangannya masih ke arah bagian bawah sweater-nya yang basah.

"Sebentar, ya. Aku mau ngambil tisu," ujar Lea.

Aku dan Dea mengangguk.

"Aku juga, deh. Kebelet," timpalku.

"Loh, kalian mau ninggalin aku sendirian?"

"Sebentar doang, Dea. Kalau kamu takut sendirian tinggal gabung sama yang lain. Sama Ghava aja tuh, lagi makan mie porsi kuli sendirian," tukasku sambil menunjuk ke tempat Ghava berada.

"Ih, nyebelin banget kamu!"

Dea langsung berlalu menuju ke keramaian. Terlihat melewati Ghava yang sepertinya mengucapkan sesuatu yang menyebalkan. Karena setelah itu Dea langsung berlari. Dasar Ghava, dia pasti menakut-nakuti Dea lagi.

Pada akhirnya, aku yang tinggal sendirian karena Dea dan Lea sudah lebih dulu pergi. Tanpa menunggu lagi, aku langsung melesat menuju toilet yang terletak beberapa meter dari belakang tenda. Tidak perlu senter untuk ke sana karena jalan untuk pergi ke sana sudah terang.

"Hei!" Ucapku spontan ketika hampir sampai di toilet.

Apa itu?

Aku menoleh ke belakang. Tepatnya tempat di mana tenda-tenda berada. Lalu kembali melayangkan pandang ke arah samping toilet. Apakah aku salah lihat? Sepertinya, aku melihat seseorang di sana. Perempuan dan memakai baju merah. Namun dalam sekejap seseorang itu langsung hilang. Apa mungkin Lea? Bukankah tadi dia pamit lebih dulu dan pakaiannya berwarna merah? Namun untuk apa di samping toilet dan langsung menghilang. Apakah ke belakang toilet? Atau, dia ingin menjemur sweater-nya yang basah? Aaarggh. Apa-apaan itu. Itu membuatku penasaran.

Haruskah aku kembali dulu untuk memastikan keberadaan Lea? Baiklah. Aku kembali saja. Tapi sebelum itu lebih baik aku menuntaskan panggilan alam terlebih dahulu.

Sesaat, aku berada di dalam toilet dan telah menuntaskan panggilan alam. Hei, ada lubang kecil di dindingnya. Apa-apaan ini. Bagaimana jika ada yang mengintip dari luar?

"Astaga!"

Sosok berbaju merah itu terlihat dari lubang kecil di dinding toilet. Ia hadap samping namun jaraknya terlalu jauh untuk mengenali wajahnya. Entah itu memang Lea atau bukan.

Aku bergegas keluar dari dalam toilet dan berlari ke belakang toilet. Apa? Kenapa sosok itu hilang lagi? Apakah hantu? Atau Lea? Sudahlah.

Terpopuler

Comments

Selviana

Selviana

Aku sudah mampir nih kak.Jangan lupa mampir juga di karya aku yang berjudul (Terpaksa Menikah Dengan Kakak Ipar)

2024-02-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!