Setelah menjalani beberapa kegiatan perkemahan, mulai dari makan malam bersama, bernyanyi riang mengitari api unggun, mengutarakan kesan-pesan selama di sekolah oleh beberapa perwakilan siswa dan lain sebagainya. Jumlah total angkatan kami sekitar 300-an siswa. Jumlah yang lumayan fantastis untuk berkemah di bumi perkemahan yang juga terkenal paling luas di kotaku.
Namun sedari tadi, aku tidak terlalu fokus dalam menjalani setiap kegiatan. Aku teringat dengan sosok perempuan berbaju merah itu. Satu hal yang pasti, itu sudah pasti bukan Lea. Karena setelah kembali dari toilet, aku bertemu dengan Lea di depan tenda. Ia mengenakan kaos berwarna kuning dengan syal abu-abu yang melingkar pada lehernya sebagai pengganti sweater. Ada pun sweater merah itu digantung di tali tenda agar angin-angin malam merasuki. Berharap segera kering.
"Jadi, nggak ada jurit malam, ya?" Dea bertanya.
"Mau jurit malam kayak gimana? Jumlah kita melebihi 300 siswa," jawabku.
"Emangnya kenapa kalau 300?" Dea bertanya lagi.
Aku meliriknya dengan tatapan jengkel.
"Takutnya kesurupan massal," jawabku asal.
Lea tertawa. Angin malam yang kencang membuat rambut hitam indahnya berkibar bersama syal abu-abu hangat miliknya.
"Ih, Kea. Jangan ngomong sembarangan. Ingat, ini sudah malam dan kita sekarang berada di hutan. Kalau beneran terjadi bagaimana?" ujar Dea dengan ekspresi takut.
"Tenang aja, Dea. Kalau beneran kesurupan massal, kamu satu-satunya yang nggak kerasukan, kok," tambahku.
"Justru itu lebih menakutkan, Kea. Kalau begitu, lebih baik aku ikut kesurupan aja."
Aku tertawa puas. Diikuti oleh Lea. Dea yang polos dan penakut terlihat menggemaskan ketika ditakuti.
"Dasar, Kea. Kamu memang mirip Ghava!" seru Dea.
"Eh, jangan bilang gitu. Kasihan nih yang di sebelahku nanti cemburu," ucapku menyindir Lea.
"Bener-bener, ya. Nggak cukup nyari masalah ke Dea. Sekarang kamu malah nambah masalah ke aku!"
Lea berseru sambil melingkarkan tangannya ke leherku sampai aku terbatuk-batuk. Dea segera membantu. Tidak. Bukan membantuku. Melainkan membantu Lea untuk membalas perbuatanku. Ia menarik hidung dan pipiku. Membuatku berteriak kencang. Tak sampai di sana. Mereka lanjut dengan cara menggelitikku sampaikan aku benar-benar lemas.
"Cukup," lirihku dengan suara tersekat.
Setelah beberapa saat, akhirnya Lea dan Dea melepaskanku. Sepertinya mereka melihatku sudah lunglai dan hampir pingsan. Barulah dilepaskan. Nampak kejam namun aku tidak ada kapoknya mengerjai mereka.
"HEI!"
Lea dan Dea spontan mundur karena terkejut dengan suaraku.
"Kenapa, Kea? Kirain suaramu udah habis. Ternyata masih menggelegar begitu," ujar Dea.
"Kamu marah sama kami? Maaf, ya. Kayaknya kami keterlaluan," sahut Lea.
Aku menggeleng dan tetap menatap ke depan. Membuat Lea dan Dea ikut mengarahkan pandangannya ke arah yang kutuju.
Benar. Aku kembali melihat sosok berbaju merah itu. Di atas pohon tinggi. Seperti kuntilanak. Namun aku yakin itu bukan kuntilanak. Sebab bajunya berwarna merah, tidak melayang, kakinya ada dan bajunya seperti setelan pendek. Baju pendek tanpa lengan dan celana pendek yang sama-sama berwarna merah. Satu hal lagi, ia seperti melompat dari satu dahan ke dahan lain dengan gerakan kilat. Mirip seperti ninja. Jadi, apakah itu ninja?
"Kamu lihat apaan, Kea?" Dea bertanya.
"Kalian melihat seorang perempuan berbaju merah di pohon itu?"
"Diam, Kea. Kamu nggak ada kapok-kapoknya. Atau kamu benar-benar mau digelitik sampai pingsan beneran!" tegas Dea.
"Beneran. Bukan hantu, kok. Lebih mirip ninja!" lanjutku.
"Apakah dia adalah ninja yang berkolaborasi dengan Si Merah Jembatan Ancol?" Timpal Lea dengan ekspresi sok serius.
Dea tertawa.
Ya, salahku juga sering menggoda Dea dan Lea. Kini saat berbicara serius pun tentu dia akan sulit percaya. Lea hanya mengangguk. Setuju dengan Dea.
Baiklah, lupakan saja. Lebih baik aku tidak menceritakannya kepada siapa pun. Termasuk dua sahabat baikku ini.
"Bukan. Itu karena ninjanya bosen dengan warna hitam," pungkasku mengikuti alur yang dibuat Lea.
***
Pukul 01:00.
Sudah banyak yang telah masuk ke tenda. Namun yang masih terjaga juga tak kalah banyak. Suasana bumi perkemahan ini memang ramai sekali. Bahkan sudah dipastikan sebagian orang yang berkemah akan memilih terjaga sampai pagi. Itu tidak berlaku untuk orang ngantukkan sepertiku.
"Ayo masuk tenda. Aku udah ngantuk," ucapku mengajak Lea dan Dea.
Namun sesaat aku langsung mematung saat berbalik badan.
"Hei! Sejak kapan kamu punya kebiasaan tiba-tiba mematung gini?" seru Lea.
Aku segera mengendalikan diri agar tidak membuat Lea dan Dea mengira aku sedang mengerjai mereka lagi.
Ya, sosok berbaju merah itu muncul lagi. Aku segera melayangkan pandang ke orang-orang di sekeliling. Mereka terlihat fokus dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada yang mematung atau mengeluarkan ekspresi aneh. Artinya, apakah hanya aku yang melihat sosok merah gesit itu?
"Kalian duluan aja. Aku mau ke toilet."
"Lah, toilet mulu. Kamu udah ke empat kalinya loh ke sana," ujar Lea.
Tanpa menanggapi lagi, aku langsung menyambar senterku yang tergantung di tiang bambu penyangga lampu warna-warni. Lantas langsung melesat menjauhi tenda.
"TOILET 'KAN TERANG, NGAPAIN BAWA SENTER?" tanya Lea dengan suara keras karena jarakku sudah lumayan jauh.
Aku tak menjawab. Tetap fokus berlari ke arah toilet. Namun, tujuan sebenarnya bukanlah toilet. Aku ingin mengetahui sosok berbaju merah itu. Walaupun sebenarnya aku takut.
Entah ada firasat apa. Namun aku berpikir bahwa inilah yang memang harus aku lakukan. Yaitu mencari sosok berbaju merah.
Aku berlari sekitar ratusan meter. Dengan senter sebagai pencahayaan. Bukan tanpa sebab aku melanjutkannya. Itu karena beberapa puluh meter sebelumnya, sosok itu kembali terlihat. Bukan lagi di atas pohon. Melainkan berlari. Hanya terpaut beberapa meter dariku. Dekat sekali. Akan tetapi ia langsung hilang begitu saja. Aku yakin itu bukan hilang yang sebenarnya, melainkan karena kecepatannya yang di luar nalar.
"Aku mohon! Keluarlah! Siapa kamu sebenarnya? Apakah kamu ada urusan denganku?"
Ucapan pertamaku setelah sedari tadi hanya berlari hanya bersuarakan napas ngos-ngosan.
"Jika kamu tidak keluar, maka aku akan kembali ke tenda. Lihat, lampu perkemahan masih terlihat dari sini. Jika kamu lebih jauh lagi, takutnya nanti aku tersesat. Baiklah, aku akan menunggumu selama sepuluh menit. Jika lebih, maka aku akan kembali ke teman-temanku."
Lengang. Hanya suara hewan malam yang terdengar. Di sekelilingku adalah semak-semak lebat dan tinggi. Sebab ini di luar jalanan semen kecil yang dibuat sebagai jalan menuju air terjun. Aku tidak menggunakan jalan tersebut karena pasti ada petugas penjaga. Dan aku pasti tidak akan diizinkan pergi ke tengah hutan sendirian.
Sepuluh menit berlalu.
"Baiklah, aku akan pergi."
Aku berbalik badan. Bersiap untuk kembali ke bumi perkemahan. Lima langkah pertama, terdengar seperti suara anjing menggonggong. Tidak jauh dariku. Namun aku tak peduli. Hanya anjing.
Beberapa langkah berikutnya. Semak-semak di depanku bergerak. Dan... RAWRRRR.
"AAAAA....!"
Itu ada seekor anjing berwarna coklat tua. Namun terlihat sedikit berbeda dari anjing biasanya. Apa? Tubuhnya tembus pandang. Warnanya memang coklat tua, namun benda yang tertutup tubuhnya juga terlihat. Satu cakaran mengenai lengan kananku.
Walaupun transparan seperti hantu, namun hewan aneh itu bisa menyentuhku. Bahkan begitu nyata seperti hewan pada umumnya.
"TOLONG!"
Tiba-tiba dua benda hijau terbang berputar seperti dua buah shuriken melewatiku. Lantas mengenai kepala dan punggung anjing aneh tersebut. Beda hijau itu membuat anjing aneh itu seperti patung, tidak bergerak sama sekali.
Tak sampai satu detik, seseorang muncul di hadapan anjing aneh itu lantas menendangnya tepat di kepala bagian belakang. Tendangan kedua mengenai ke empat kaki si anjing aneh. Dan terakhir, lima benda hijau lainnya dilemparkan lagi. Membuat anjing aneh itu terpotong menjadi beberapa bagian. Seketika anjing itu tidak bergerak lagi.
Aku menatap tak berkedip dengan apa yang aku saksikan barusan. Tidak peduli lenganku yang berdarah karena cakaran si anjing aneh. Bagaimana tidak, itu sangat membingungkan. Walaupun sebenarnya sangat keren.
Kini aku menatap wajah seseorang yang menyelamatkanku. Lalu melihat apa yang dikenakan. Setelah pendek berwarna merah. Inilah sosok itu! Seorang wanita muda. Mungkin hanya terpaut beberapa tahun dariku.
Sosok berbaju merah itu tersenyum manis. Lantas berjalan mendekatiku. Aku justru mundur beberapa langkah dibuatnya.
"Namaku, Hil. Salam kenal, Kea!"
Aku mengernyitkan dahi, "Kamu mengetahui namaku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Selviana
ceritanya menarik
2024-02-10
0
Shion Fujino
Janggal tapi menarik.
2024-02-08
0