Namaku, Kea. Nama asliku adalah Kania. Sedikit melenceng namun tidak jauh-jauh amat 'kan dari nama asliku. Usiaku 17 tahun. Saat ini, aku duduk di bangku SMA di tahun ke tiga. Artinya, setelah ini aku akan lulus dari masa putih abu-abu.
Aku menjalani kehidupan sekolah dengan normal layaknya orang-orang pada umumnya. Tinggal di kota besar dan berkehidupan pas. Bukan orang kaya raya dan bukan orang miskin kelaparan. Sedikit bar-bar namun seperti itulah aku menggambarkannya.
Jalan-jalan adalah hobiku. Bahkan, untuk diam sehari saja di rumah membuat kepalaku pusing karena memikirkan tanah-tanah yang belum aku pijaki seharian. Mohon maaf, aku memang sedikit lebay. Menyebalkan pula. Bahkan teman-teman kelasku memberiku julukan si ulat nangka, si cacing kepanasan, si cerewet dan banyak lagi. Ya, setelah membaca julukan itu, kalian pasti tahu aku adalah orang yang seperti apa.
"Kea, kamu punya senter, nggak?" Tanya seorang gadis berambut lurus hitam sepunggung yang dibiarkan tergerai.
Rambutnya bahkan tetap licin dan indah walau pun habis olahraga. Ya, walaupun ketika olahraga rambutnya akan dikuncir, sih. Namanya Lea. Nama aslinya adalah Azalea. Orang-orang selalu iri dengan keindahan rambutnya. Bahkan ia pernah ditawari untuk menjadi bintang iklan sampo. Namun, karena ia pemalu dan aktingnya payah, akhirnya ia menolak.
"Punya. Kenapa? Kamu nanti mau nyari pangeran hutan malem-malem?" Aku bertanya.
Seorang gadis dengan mata sipit dan gigi kelinci tertawa karena perkataanku. Namanya Dea. Nama aslinya adalah Nadia.
Kami bertiga sahabat baik sejak di tahun pertama sekolah di sini. Kea, Lea dan Dea. Orang-orang menyebut kami Si Daun Semanggi 3. Sebab nama panggilan kami hampir mirip. Padahal, bukan nama yang kami karang sendiri. Itu memang nama panggilan kami sejak kecil.
"Serius, Kea. Masa kamu camping nggak bawa senter. Kita bakal tidur di tengah-tengah hutan, loh," ujar Lea sebal.
"Iya, Lea si duta sampo. Aku bawa, kok. Kenapa, kamu khawatir ya kalau nantinya aku kenapa-napa karena gelap?" Tanyaku sambil mengejeknya.
Lea manyun, "Bukan. Aku nanya karena aku nggak bawa senter. Jadinya, nanti aku pinjam ya senter kamu."
Ini adalah hari jumat. Nanti sore kami akan berangkat ke bumi perkemahan untuk berkemah tentunya. Sekaligus sebagai kemah terakhir kelas XII karena ini adalah tahun terakhir kami sebelum kelulusan.
"Eh, Semanggi 3!" Panggil seseorang memecahkan percakapanku dan Lea.
Kami bertiga menoleh. Itu adalah seorang lelaki dengan rambut kemerahan. Ia beberapa kali mendapatkan hukuman karena mewarnai rambutnya. Namun, ia tidak ada kapoknya dan pihak sekolah tidak terlalu serius menanggapi hukumannya karena si rambut merah ini adalah kebanggaan sekolah. Bagaimana tidak, walaupun selalu melanggar aturan di bagian rambut, yakni diwarnai dan dibiarkan panjang belasan senti. Akan tetapi, hanya itu pelanggaran yang ia lakukan. Itu tidak sebanding dengan prestasi yang ia torehkan untuk sekolah. Tidak hanya akademik, bahkan non akademik juga.
"Ada apa, Ghava?" Aku bertanya malas.
"Kalian tahu nggak, seperti apa yang akan kita jadikan tempat camping nanti?"
"Tentu saja tempat seperti bumi perkemahan. Masa iya kayak meja kamu yang berantakan dan penuh coretan!" Ketus Dea.
Aku dan Lea tertawa.
"Berantakan gitu juga aku adalah kebanggaan sekolah," ucap Ghava songong.
Kami bertiga saling lirik. Apaan, sih.
"Kalian pernah denger tentang monster mengerikan yang tinggal di hutan?" Ghava bertanya dengan wajah serius.
Dea yang penakut menelan ludah. Sedikit cemas sebab ekspresi wajah Ghava yang serius.
"Oh, iya? Bagus, dong. Soalnya monster itu butuh tumbal yang cocok dijadikan penyempurna kekuatan sangat raja monster hutan, yaitu kamu! Si rambut merah berantakan. Tukang buat onar!" ujar Lea.
"Loh, aku serius, Lea, Kea dan Dea. Kalau kataku, sih. Mending kalian nggak usah ikut deh. Takutnya di sana kalian malah ngompol saking takutnya."
Lea menyeringai, "Oh, ya? Lihat saja nanti. Siapa yang lari terbirit-birit pas jurit malam. Kami atau kamu!"
Ghava tertawa puas. Lea memang cepat sekali terpancing emosinya. Itu membuat Ghava paling senang menggoda Lea. Saking seringnya menggoda Lea, teman-teman di kelas kerap kali menjadikan Lea dan Ghava sebagai bahan olok-olok untuk dicomblangin.
Namun, Lea selalu mengalihkan olok-olok itu kepadaku karena sifatku yang sama-sama jail seperti Ghava.
"Satu lagi, di tengah-tengah hutan itu ada area terlarang. Di sana katanya ada gua besar yang menyeramkan. Tidak ada orang yang berani ke sana. Karena siapa pun yang masuk ke gua itu maka tidak akan pernah pulang dengan selamat. Oleh sebab itu, di dalamnya ada banyak tengkorak manusia."
"CUKUP, GHAVA!" Dea berseru marah.
Teriakan Dea membuat Ghava langsung melesat kembali ke tempat duduknya dan memandang kami sambil tertawa puas. Lihatlah, tak lama setelah itu ia ke bangku perempuan lain. Pasti mau diceritakan hal yang sama juga. Dasar menyebalkan.
***
Malam hari di bumi perkemahan. Selain aku dan seluruh teman seangkatan di sekolahku, ada banyak orang lain juga yang berkemah di tempat ini. Tempatnya terang karena dikelilingi lampu warna-warni dan indah. Seperti bumi perkemahan pada umumnya. Walaupun berada di hutan, ini adalah tempat biasa dan sudah menjadi lokasi wisata sejak dulu. Beberapa ratus meter ke utara adalah air terjun. Sudah ada jalanan yang terbuat dari semen menuju ke arah air terjun tersebut. Sehingga tidak perlu khawatir tersesat. Di beberapa jarak di jalan itu pula sudah ada petugas yang menjaga hutan.
"Ternyata nggak seperti yang Ghava ceritakan, ya," ujar Dea sambil menyeruput mie kuahnya.
Ini adalah jadwal makan malam.
"Jadi, kamu percaya sama ucapan si rambut aneh itu?" Aku bertanya.
Dea hanya mengangkat bahu. Lantas kembali menyiapkan mie ke dalam mulutnya.
"Yah, sweater-ku!"
Lea berseru, membuatku dan Dea menoleh. Posisi Lea di paling kanan, aku di tengah dan Dea paling kiri. Kami duduk di batang pohon yang disediakan petugas bumi perkemahan sebagai kursi. Hanya potongan batang pohon biasa dan dipoles sedikit agar layak untuk dijadikan tempat duduk.
Terlihat sweater Lea yang berwarna merah basah terkena tumpahan kuah mie.
"Aduh, banyak banget lagi basahnya," ucap Dea.
"Kamu bawa sweater lagi?" Tanyaku.
Lea menggeleng. Pandangannya masih ke arah bagian bawah sweater-nya yang basah.
"Sebentar, ya. Aku mau ngambil tisu," ujar Lea.
Aku dan Dea mengangguk.
"Aku juga, deh. Kebelet," timpalku.
"Loh, kalian mau ninggalin aku sendirian?"
"Sebentar doang, Dea. Kalau kamu takut sendirian tinggal gabung sama yang lain. Sama Ghava aja tuh, lagi makan mie porsi kuli sendirian," tukasku sambil menunjuk ke tempat Ghava berada.
"Ih, nyebelin banget kamu!"
Dea langsung berlalu menuju ke keramaian. Terlihat melewati Ghava yang sepertinya mengucapkan sesuatu yang menyebalkan. Karena setelah itu Dea langsung berlari. Dasar Ghava, dia pasti menakut-nakuti Dea lagi.
Pada akhirnya, aku yang tinggal sendirian karena Dea dan Lea sudah lebih dulu pergi. Tanpa menunggu lagi, aku langsung melesat menuju toilet yang terletak beberapa meter dari belakang tenda. Tidak perlu senter untuk ke sana karena jalan untuk pergi ke sana sudah terang.
"Hei!" Ucapku spontan ketika hampir sampai di toilet.
Apa itu?
Aku menoleh ke belakang. Tepatnya tempat di mana tenda-tenda berada. Lalu kembali melayangkan pandang ke arah samping toilet. Apakah aku salah lihat? Sepertinya, aku melihat seseorang di sana. Perempuan dan memakai baju merah. Namun dalam sekejap seseorang itu langsung hilang. Apa mungkin Lea? Bukankah tadi dia pamit lebih dulu dan pakaiannya berwarna merah? Namun untuk apa di samping toilet dan langsung menghilang. Apakah ke belakang toilet? Atau, dia ingin menjemur sweater-nya yang basah? Aaarggh. Apa-apaan itu. Itu membuatku penasaran.
Haruskah aku kembali dulu untuk memastikan keberadaan Lea? Baiklah. Aku kembali saja. Tapi sebelum itu lebih baik aku menuntaskan panggilan alam terlebih dahulu.
Sesaat, aku berada di dalam toilet dan telah menuntaskan panggilan alam. Hei, ada lubang kecil di dindingnya. Apa-apaan ini. Bagaimana jika ada yang mengintip dari luar?
"Astaga!"
Sosok berbaju merah itu terlihat dari lubang kecil di dinding toilet. Ia hadap samping namun jaraknya terlalu jauh untuk mengenali wajahnya. Entah itu memang Lea atau bukan.
Aku bergegas keluar dari dalam toilet dan berlari ke belakang toilet. Apa? Kenapa sosok itu hilang lagi? Apakah hantu? Atau Lea? Sudahlah.
Setelah menjalani beberapa kegiatan perkemahan, mulai dari makan malam bersama, bernyanyi riang mengitari api unggun, mengutarakan kesan-pesan selama di sekolah oleh beberapa perwakilan siswa dan lain sebagainya. Jumlah total angkatan kami sekitar 300-an siswa. Jumlah yang lumayan fantastis untuk berkemah di bumi perkemahan yang juga terkenal paling luas di kotaku.
Namun sedari tadi, aku tidak terlalu fokus dalam menjalani setiap kegiatan. Aku teringat dengan sosok perempuan berbaju merah itu. Satu hal yang pasti, itu sudah pasti bukan Lea. Karena setelah kembali dari toilet, aku bertemu dengan Lea di depan tenda. Ia mengenakan kaos berwarna kuning dengan syal abu-abu yang melingkar pada lehernya sebagai pengganti sweater. Ada pun sweater merah itu digantung di tali tenda agar angin-angin malam merasuki. Berharap segera kering.
"Jadi, nggak ada jurit malam, ya?" Dea bertanya.
"Mau jurit malam kayak gimana? Jumlah kita melebihi 300 siswa," jawabku.
"Emangnya kenapa kalau 300?" Dea bertanya lagi.
Aku meliriknya dengan tatapan jengkel.
"Takutnya kesurupan massal," jawabku asal.
Lea tertawa. Angin malam yang kencang membuat rambut hitam indahnya berkibar bersama syal abu-abu hangat miliknya.
"Ih, Kea. Jangan ngomong sembarangan. Ingat, ini sudah malam dan kita sekarang berada di hutan. Kalau beneran terjadi bagaimana?" ujar Dea dengan ekspresi takut.
"Tenang aja, Dea. Kalau beneran kesurupan massal, kamu satu-satunya yang nggak kerasukan, kok," tambahku.
"Justru itu lebih menakutkan, Kea. Kalau begitu, lebih baik aku ikut kesurupan aja."
Aku tertawa puas. Diikuti oleh Lea. Dea yang polos dan penakut terlihat menggemaskan ketika ditakuti.
"Dasar, Kea. Kamu memang mirip Ghava!" seru Dea.
"Eh, jangan bilang gitu. Kasihan nih yang di sebelahku nanti cemburu," ucapku menyindir Lea.
"Bener-bener, ya. Nggak cukup nyari masalah ke Dea. Sekarang kamu malah nambah masalah ke aku!"
Lea berseru sambil melingkarkan tangannya ke leherku sampai aku terbatuk-batuk. Dea segera membantu. Tidak. Bukan membantuku. Melainkan membantu Lea untuk membalas perbuatanku. Ia menarik hidung dan pipiku. Membuatku berteriak kencang. Tak sampai di sana. Mereka lanjut dengan cara menggelitikku sampaikan aku benar-benar lemas.
"Cukup," lirihku dengan suara tersekat.
Setelah beberapa saat, akhirnya Lea dan Dea melepaskanku. Sepertinya mereka melihatku sudah lunglai dan hampir pingsan. Barulah dilepaskan. Nampak kejam namun aku tidak ada kapoknya mengerjai mereka.
"HEI!"
Lea dan Dea spontan mundur karena terkejut dengan suaraku.
"Kenapa, Kea? Kirain suaramu udah habis. Ternyata masih menggelegar begitu," ujar Dea.
"Kamu marah sama kami? Maaf, ya. Kayaknya kami keterlaluan," sahut Lea.
Aku menggeleng dan tetap menatap ke depan. Membuat Lea dan Dea ikut mengarahkan pandangannya ke arah yang kutuju.
Benar. Aku kembali melihat sosok berbaju merah itu. Di atas pohon tinggi. Seperti kuntilanak. Namun aku yakin itu bukan kuntilanak. Sebab bajunya berwarna merah, tidak melayang, kakinya ada dan bajunya seperti setelan pendek. Baju pendek tanpa lengan dan celana pendek yang sama-sama berwarna merah. Satu hal lagi, ia seperti melompat dari satu dahan ke dahan lain dengan gerakan kilat. Mirip seperti ninja. Jadi, apakah itu ninja?
"Kamu lihat apaan, Kea?" Dea bertanya.
"Kalian melihat seorang perempuan berbaju merah di pohon itu?"
"Diam, Kea. Kamu nggak ada kapok-kapoknya. Atau kamu benar-benar mau digelitik sampai pingsan beneran!" tegas Dea.
"Beneran. Bukan hantu, kok. Lebih mirip ninja!" lanjutku.
"Apakah dia adalah ninja yang berkolaborasi dengan Si Merah Jembatan Ancol?" Timpal Lea dengan ekspresi sok serius.
Dea tertawa.
Ya, salahku juga sering menggoda Dea dan Lea. Kini saat berbicara serius pun tentu dia akan sulit percaya. Lea hanya mengangguk. Setuju dengan Dea.
Baiklah, lupakan saja. Lebih baik aku tidak menceritakannya kepada siapa pun. Termasuk dua sahabat baikku ini.
"Bukan. Itu karena ninjanya bosen dengan warna hitam," pungkasku mengikuti alur yang dibuat Lea.
***
Pukul 01:00.
Sudah banyak yang telah masuk ke tenda. Namun yang masih terjaga juga tak kalah banyak. Suasana bumi perkemahan ini memang ramai sekali. Bahkan sudah dipastikan sebagian orang yang berkemah akan memilih terjaga sampai pagi. Itu tidak berlaku untuk orang ngantukkan sepertiku.
"Ayo masuk tenda. Aku udah ngantuk," ucapku mengajak Lea dan Dea.
Namun sesaat aku langsung mematung saat berbalik badan.
"Hei! Sejak kapan kamu punya kebiasaan tiba-tiba mematung gini?" seru Lea.
Aku segera mengendalikan diri agar tidak membuat Lea dan Dea mengira aku sedang mengerjai mereka lagi.
Ya, sosok berbaju merah itu muncul lagi. Aku segera melayangkan pandang ke orang-orang di sekeliling. Mereka terlihat fokus dengan kegiatan masing-masing. Tidak ada yang mematung atau mengeluarkan ekspresi aneh. Artinya, apakah hanya aku yang melihat sosok merah gesit itu?
"Kalian duluan aja. Aku mau ke toilet."
"Lah, toilet mulu. Kamu udah ke empat kalinya loh ke sana," ujar Lea.
Tanpa menanggapi lagi, aku langsung menyambar senterku yang tergantung di tiang bambu penyangga lampu warna-warni. Lantas langsung melesat menjauhi tenda.
"TOILET 'KAN TERANG, NGAPAIN BAWA SENTER?" tanya Lea dengan suara keras karena jarakku sudah lumayan jauh.
Aku tak menjawab. Tetap fokus berlari ke arah toilet. Namun, tujuan sebenarnya bukanlah toilet. Aku ingin mengetahui sosok berbaju merah itu. Walaupun sebenarnya aku takut.
Entah ada firasat apa. Namun aku berpikir bahwa inilah yang memang harus aku lakukan. Yaitu mencari sosok berbaju merah.
Aku berlari sekitar ratusan meter. Dengan senter sebagai pencahayaan. Bukan tanpa sebab aku melanjutkannya. Itu karena beberapa puluh meter sebelumnya, sosok itu kembali terlihat. Bukan lagi di atas pohon. Melainkan berlari. Hanya terpaut beberapa meter dariku. Dekat sekali. Akan tetapi ia langsung hilang begitu saja. Aku yakin itu bukan hilang yang sebenarnya, melainkan karena kecepatannya yang di luar nalar.
"Aku mohon! Keluarlah! Siapa kamu sebenarnya? Apakah kamu ada urusan denganku?"
Ucapan pertamaku setelah sedari tadi hanya berlari hanya bersuarakan napas ngos-ngosan.
"Jika kamu tidak keluar, maka aku akan kembali ke tenda. Lihat, lampu perkemahan masih terlihat dari sini. Jika kamu lebih jauh lagi, takutnya nanti aku tersesat. Baiklah, aku akan menunggumu selama sepuluh menit. Jika lebih, maka aku akan kembali ke teman-temanku."
Lengang. Hanya suara hewan malam yang terdengar. Di sekelilingku adalah semak-semak lebat dan tinggi. Sebab ini di luar jalanan semen kecil yang dibuat sebagai jalan menuju air terjun. Aku tidak menggunakan jalan tersebut karena pasti ada petugas penjaga. Dan aku pasti tidak akan diizinkan pergi ke tengah hutan sendirian.
Sepuluh menit berlalu.
"Baiklah, aku akan pergi."
Aku berbalik badan. Bersiap untuk kembali ke bumi perkemahan. Lima langkah pertama, terdengar seperti suara anjing menggonggong. Tidak jauh dariku. Namun aku tak peduli. Hanya anjing.
Beberapa langkah berikutnya. Semak-semak di depanku bergerak. Dan... RAWRRRR.
"AAAAA....!"
Itu ada seekor anjing berwarna coklat tua. Namun terlihat sedikit berbeda dari anjing biasanya. Apa? Tubuhnya tembus pandang. Warnanya memang coklat tua, namun benda yang tertutup tubuhnya juga terlihat. Satu cakaran mengenai lengan kananku.
Walaupun transparan seperti hantu, namun hewan aneh itu bisa menyentuhku. Bahkan begitu nyata seperti hewan pada umumnya.
"TOLONG!"
Tiba-tiba dua benda hijau terbang berputar seperti dua buah shuriken melewatiku. Lantas mengenai kepala dan punggung anjing aneh tersebut. Beda hijau itu membuat anjing aneh itu seperti patung, tidak bergerak sama sekali.
Tak sampai satu detik, seseorang muncul di hadapan anjing aneh itu lantas menendangnya tepat di kepala bagian belakang. Tendangan kedua mengenai ke empat kaki si anjing aneh. Dan terakhir, lima benda hijau lainnya dilemparkan lagi. Membuat anjing aneh itu terpotong menjadi beberapa bagian. Seketika anjing itu tidak bergerak lagi.
Aku menatap tak berkedip dengan apa yang aku saksikan barusan. Tidak peduli lenganku yang berdarah karena cakaran si anjing aneh. Bagaimana tidak, itu sangat membingungkan. Walaupun sebenarnya sangat keren.
Kini aku menatap wajah seseorang yang menyelamatkanku. Lalu melihat apa yang dikenakan. Setelah pendek berwarna merah. Inilah sosok itu! Seorang wanita muda. Mungkin hanya terpaut beberapa tahun dariku.
Sosok berbaju merah itu tersenyum manis. Lantas berjalan mendekatiku. Aku justru mundur beberapa langkah dibuatnya.
"Namaku, Hil. Salam kenal, Kea!"
Aku mengernyitkan dahi, "Kamu mengetahui namaku?"
"Siapa kamu dan makhluk apa tadi?"
Wanita muda dengan pakaian pendek berwarna merah itu mengusap rambut pendeknya. Rambutnya berwarna kemerahan. Membuatku teringat dengan Ghava. Namun jelas style Ghava tidak sebanding dengan wanita ini yang terlihat modis, cantik, elegan dan pastinya keren. Ia memakai jepit rambut. Awalnya kukira berbentuk bunga warna putih, setelah kuperhatikan ternyata berbentuk tengkorak. Namun tengkoraknya tidak menyeramkan. Melainkan imut.
"Sudah kukatakan, bukan!? Namaku Hil. Makhluk transparan tadi adalah foresta."
"Forest? Hutan?"
Terdengar suara nyanyian dari arah bumi perkemahan dari tempatku dan Hil berada. Bukannya menjawab pertanyaanku, Hil malah ikut bersenandung mendengar nyanyian dari arah sana. Dia hafal lirik lagu itu. Artinya, dia bukanlah penghuni hutan dan dia mungkin tinggal di kota bersama orang-orang pada umumnya. Artinya, dia juga manusia biasa? Atau manusia ninja?
"Itu lagu favoritku. Bisa-bisanya kamu hanya diam mendengar lagu itu," ujar Hil sambil langsung lanjut bernyanyi.
Apa-apaan orang ini. Dia aneh. Bahkan lebih aneh dari anjing transparan tadi. Dia membiarkanku terjebak dalam kebingungan sedangkan ia bernyanyi sesuka hati? Tapi dilihat dari mana pun ia tetaplah manusia. Bukan makhluk lain. Tidak terlihat jahat juga. Entah kenapa aku tidak ada rasa takut dan ragu dengan orang aneh ini. Firasat seperti beberapa saat lalu datang lagi.
Beberapa saat berlalu. Hil bernyanyi ria sedangkan aku hanya mematung menunggunya menjawab pertanyaanku. Padahal jika ingin, aku akan meninggalkannya bernyanyi sendirian di tengah hutan seperti orang gila. Namun apa yang kusaksikan tadi terlalu hebat untuk diabaikan. Siapa tahu jika aku kembali, aku tidak akan bertemu Hil lagi dan tidak akan mendapatkan jawaban atas kejadian aneh tersebut.
"Yah, udah selesai," keluh Hil.
"Udah, nyanyinya?"
"Udah. Lagu favoritku hanya dinyanyikan tiga kali. Lagu yang ini aku nggak suka," jawab Hil.
Aku hanya mengangguk, yang penting dia segera mengingat posisiku yang seperti orang bodoh ini. Penuh pertanyaan namun diabaikan hanya karena lagu galau.
"Makhluk tadi adalah Foresta. Itu adalah makhluk aneh dan menyeramkan namun tak kasat mata," ujar Hil akhirnya kembali dari iklan menyebalkan itu.
Aku melayangkan pandang ke arah makhluk aneh yang dipotong itu. Tidak ada lagi?
"Tak kasat mata? Tapi aku melihatnya dengan jelas," pungkasku bingung.
"Tentu saja. Karena kamu adalah orang terpilih yang bisa melihat foresta."
Aku mengernyitkan dahi. Hei, ini benar-benar tidak masuk akal. Sebagai peminat film horor, aku tak pernah tahu adanya makhluk bernama foresta.
"Jadi, foresta adalah hantu?"
Hil tertawa, "Bukan, Kea. Foresta adalah makhluk tak kasat mata tapi bukan berarti hantu. Ya, bisa dibilang makhluk supranatural yang berbahaya."
Berbahaya? Aku menelan ludah.
"Tapi jangan khawatir. Tim Vigna radiata akan senantiasa menjaga hutan ini dengan sebaik-baiknya."
"Vigna apa?" tanyaku polos.
"Itu adalah nama timku. Kau tahu, aku adalah seorang pemburu foresta. Ya, singkatnya seperti itu agar kamu tidak kebingungan."
Aku mendengus. Peduli apa dia soal kebingunganku setelah ia bernyanyi dengan penuh semangat tanpa merespon pertanyaanku.
"Dengar, Kea. Ini adalah rahasia. Ingat, jika kamu bongkar maka dipastikan kamu akan dibunuh pada saat itu juga bersama dengan orang yang kamu kasih tahu," ujar Hil mengancam namun dengan senyuman manisnya.
Seketika bulu kudukku seperti berdiri. Walaupun ramah, aku yakin bahwa Hil tidaklah bergurau. Lalu apa maksudnya orang terpilih? Apa yang akan aku lakukan dan apa tujuannya?
"Bagaimana jika ada Foresta yang lolos ke bumi perkemahan, Hil?" tanyaku berusaha mencari topik lain agar tidak diancam lagi.
"Apakah kamu melihat anjing aneh itu sangat lambat dibanding aku?"
Aku menggeleng. Jelas Hil jauh lebih gesit.
"Itulah pekerjaan pemburu foresta. Menjaga hutan dan menjaga agar jangan sampai ada foresta yang keluar dari hutan."
"Lalu, apa yang terjadi jika manusia diserang foresta?"
"Apa yang terjadi padamu?" Hil balik bertanya.
Aku melihat lenganku yang berdarah. Darah pada lenganku sampai mengering karena tidak diurus.
"Luka. Hanya ini? Tidak ada bedanya dengan digigit anjing normal."
"Itu karena yang tadi hanyalah foresta lemah. Yaitu foresta yang kekuatannya sama persis dengan hewan yang mirip dengannya."
"Artinya, foresta bentuknya menyerupai hewan-hewan pada umumnya dan tak hanya anjing?"
Hil mengangguk, "Pintar sekali, Kea."
Sebelum aku mengajukan pertanyaan lagi, Hil memetik sesuatu di antara semak-semak. Daun semanggi? Teringat julukan dengan Lea dan Dea.
Itu adalah daun semanggi 5. Sebentar, aku paham sekarang. Benda terbang memutar tadi bukanlah shuriken. Melainkan daun semanggi!? Tapi itu tampak keras sekali. Ukurannya juga tiga kali lebih besar dari daun semanggi biasa. Ya, contohnya daun semanggi yang dipetik Hil. Ukuran normal.
"Sini angkat lenganmu," pinta Hil.
Seperti sulap. Saat daun semanggi itu didekatkan pada lenganku yang terluka, seketika ukurannya membesar. Seukuran lukaku. Bahkan sedikit lebar lebar. Lantas menempel pada lenganku. Tak sampai lima detik, Hil segera melepaskan daun tersebut dan wah. Lukaku hilang. Sembuh tanpa bekas sedikit pun.
"Bagaimana kamu melakukannya?"
Hil mengangkat bahu, "Hanya trik sederhana seorang pemburu foresta."
"Apakah aku boleh bertanya lagi?"
"Silakan, selagi tidak memberi tahu orang lain karena itu artinya kamu minta dibunuh."
Lagi-lagi ancaman itu. Lagipula, siapa juga yang ingin melakukannya setelah diancam seperti itu.
"Bagaimana kamu melakukannya? Maksudku, itu sangat hebat. Apakah kamu ninja?"
Hil menggeleng, "Sudah kubilang, aku adalah seorang pemburu foresta."
Sial. Orang ini memang benar-benar aneh. Apakah dia tidak bisa menjelaskan lebih mudah lagi? Apakah harus memutarkan lagu favoritnya lagi baru ia akan menjawab dengan benar? Jika saja ini adalah Dea atau Lea. Maka sudah kucekik lehernya.
"Apakah semua pemburu foresta mempunyai kemampuan sepertimu?"
Aku mencoba bertanya yang lebih mudah dijawab.
"Tidak semua. Karena setiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda-beda."
Ya, aku tahu itu. Namun, untuk kemampuan seperti itu jelas tidak dapat dibandingkan dengan orang normal lainnya.
"Baiklah, pertanyaan terakhir. Untuk apa aku di sini?"
"Tentu saja kamu sedang berkemah."
Kali ini aku benar-benar membaringkan diri di tanah. Tidak peduli dengan semak-semak yang tinggi dan membuat gatal. Kurang ajar!
"Itu hanyalah foresta lemah. Tidak mungkin bisa membuatmu sekarat seperti itu."
Aku juga tahu perempuan aneh sialan! Aku seperti orang yang kehilangan kewarasan karena kamu!
"Tolong, bisakah kamu menjawab dengan normal. Sebelum aku benar-benar bunuh diri sekarang?"
Siapa sangka, Hil justru tertawa terpingkal-pingkal. Entah spesies aneh apa ini. Enak saja menyebut anjing transparan tadi aneh. Padahal dirinya sendiri jauh lebih aneh dibanding makhluk mana pun!
"Baik, sudah cukup bercandanya. Ayo berdiri. Lebih nyaman tidur di tenda daripada di sini, Kea."
Sudahlah. Andai aku menguasai jurus seperti yang ia punya, pasti sudah kugunakan untuk menghajarnya.
"Dengar, Kea."
Hil berseru setelah aku berdiri. Tidak peduli walaupun bajuku kotor. Kini ekspresinya berubah serius.
"Kamu akan menjadi pemburu foresta sepertiku."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!