Hari Kedua

"Nggak nyangka, sekarang masakan kamu enak juga, Kea."

Dea mengangguk setuju dengan pendapat Lea.

"Belum tahu aja. Di rumah, masakanku yang paling ditunggu-tunggu."

Hari kedua di bumi perkemahan. Sebenarnya aku sangat mengantuk pagi ini karena semalam tidak tidur dengan nyenyak. Bagaimana pula aku bisa tidur nyenyak setelah mendengar pernyataan dari Hil bahwa aku akan menjadi pemburu foresta seperti dia? Jelas tidak mungkin. Aku tidak punya kemampuan di luar nalar seperti yang ia punya. Berlari ratusan meter seperti semalam saja aku sudah ngos-ngosan luar biasa. Apalagi melesat seperti ninja layaknya kemampuan Hil.

Awalnya, aku kira itu karena berlatih. Namun ternyata itu memang kemampuan alami dari seorang pemburu foresta. Setiap pemburu foresta pasti memiliki kemampuan alami itu. Katanya, kemampuan pemburu foresta beragam, bukan hanya bergerak sangat lincah seperti Hil. Hil berkata bahwa kemampuan pemburu foresta bisa dideteksi oleh alat khusus dari markas pusat. Akan tetapi, Hil bilang bahwa dalam diriku tidak terdeteksi kemampuan apa pun. Seperti manusia pada umumnya. Ia bingung, tentu saja aku lebih bingung lagi.

Dia yang mengajakku bergabung namun dia juga yang tidak mengerti apa yang terjadi. Padahal, mampu melihat makhluk spiritual seperti foresta saja sudah menjadi pertanda bahwa aku memang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemburu foresta.

Beberapa kali memeriksa dan tidak menemukan kejelasan apa pun, akhirnya Hil menyuruhku kembali ke tenda dan ia akan kembali ke markas pusat untuk menanyakan alat tersebut. Entah karena alatnya rusak atau memang aku tidak punya potensi. Lagipula, tidak ada asal-muasal. Tiba-tiba aku diminta untuk ikut menjadi pemburu foresta. Memangnya dia sudah mengetahui bahwa aku setuju atau tidaknya? Ia mengajak begitu saja seolah menawarkanku tiket gratis ke luar negeri.

"Belagu! Inget, dulu kamu pernah membuat capcai meletus di pelajaran tata boga tahun lalu," tukas Lea.

"Iya, aku inget. Bahkan bu Asmi yang biasanya galak dan mukanya serius sampai tertawa terbahak-bahak karena ulah Kea. Padahal, dalam keadaan seperti itu 'kan harusnya dia marah," timpal Dea.

Mereka berdua tertawa.

Aku hanya manyun. Tidak selera membalas mereka. Aku terjebak dalam pikiranku tentang kejadian aneh semalam. Bertemu makhluk aneh, bertemu manusia yang lebih aneh namun kemampuannya sangat hebat. Ah, haruskah aku anggap itu hanya mimpi? Lagipula, tidak terdeteksi apa pun. Hil pasti tidak akan melanjutkan misinya itu dengan orang biasa sepertiku. Aku akan aman setelah itu selagi merahasiakannya dari siapa pun. Namun, jika ada yang tahu memangnya ia akan tahu kalau aku membongkar rahasia turun-temurun selama ribuan tahun itu? Namun Hil bercerita, bahwa di setiap generasinya pasti ada pemburu foresta yang dibunuh karena membongkar rahasia itu. Beserta orang yang diberi tahu. Sebab demi ketertiban masyarakat umum. Tidak boleh ada yang tahu. Baiklah, perjalanan hidupku masih panjang. Aku tidak ingin mati konyol hanya karena membongkar rahasia foresta.

"Kamu kenapa sih, Kea? Kayak orang kekurangan gizi. Lemes banget," ujar Dea.

"Udah, ah. Aku ngantuk, mau tidur aja."

Aku segera bangkit meninggalkan semangkuk capcai yang masih utuh tidak tersentuh.

"Kamu sih ke toiletnya lama banget. Diare 'kan pasti. Atau kalau nggak sembelit," ucap Lea.

Dea tertawa.

Aku tak peduli. Kejadian semalam benar-benar memenuhi pikiranku.

"Capcai kamu kami makan aja, ya. Daripada dibuang nantinya karena udah nggak enak," pinta Lea.

Aku mengacungkan jempol dari belakang.

Haruskah aku memenuhi permintaan Hil untuk menemuinya lagi nanti malam?

***

Pukul 22:00.

Malam yang sama seperti kemarin. Lampu-lampu warna-warni menyala. Dengan langit penuh gugusan bintang yang indah. Sungguh memanjakan mata. Ada pun rembulannya yang seperti lengkungan senyuman. Ialah bulan sabit.

Malam ini rasanya aku benar-benar segar bugar. Tidak ada lagi sisa kantuk semalam. Karena aku tidur cukup lama pagi itu. Sepertinya aku bisa terjaga sampai pukul 03:00. Mungkin. Tapi bukan itu masalahnya. Tak peduli walaupun aku tiba-tiba sulit tertidur. Itu hal biasa ketika berkemah. Sejak awal malam aku sudah melihat-lihat liar ke sembarang tempat di luar kawasan lapangan perkemahan. Berharap melihat sosok berpakaian merah itu lagi. Hil. Namun apa, tidak ada. Apakah dia benar-benar tidak ingin berurusan denganku lagi? Atau aku benar-benar orang biasa yang kebetulan bisa melihat foresta?

Terserah saja. Biarlah. Lagipula, aku hanya perlu berpura-pura tak tahu dan menjalani kehidupan normal seperti biasanya. Anggap saja foresta itu tidak ada dan anggap saja aku tidak pernah bertemu dengan Hil.

Tak lama, terdengar suara gitar dipetik dari seberang api unggun sana. Tempat yang berseberangan denganku. Ada yang akan bernyanyi lagi setelah beberapa menit lengang.

Aku tahu instrumen ini. Tidak lain dan tidak bukan adalah salah satu lagu favorit Hil. Yah, untuk saat ini entah kenapa aku malah berpikir bahwa ia ada di sebelahku sambil bersenandung. Bukan tanpa sebab. Itu karena sebenarnya suara Hil merdu. Itu juga yang membuatku bertahan dan tidak langsung kembali ke bumi perkemahan. Tidak terbayangkan jika aku harus mendengar seseorang menyanyikan tiga lagu berbeda dengan suara fals.

Lelaki dengan gitar itu mulai bernyanyi. Ia bukan teman sekolahku. Ia adalah orang dari rombongan lain. Mungkin mahasiswa.

Reff berikutnya, suara itu berubah. Bukan karena orang yang bernyanyi tiba-tiba serak atau apa. Namun  itu karena bagian liriknya disambut orang lain. Perempuan. Hei, tidak asing. HIL!?

Untuk sesaat, aku menganga lebar tak berkedip. Tanpa menyadari Lea dan Dea melihat ekspresi anehku.

"Jangan berkomentar apa pun, Dea. Kea memang lagi tidak normal," ujar Lea sebelum Dea mengomentari tingkahku.

Dea mengangkat bahu. Baiklah.

Lihatlah, Hil tidak lagi memakai setelan merah pendek itu. Ia kini mengenakan hoodie putih oversize dengan motif bunga-bunga berwarna merah muda. Rambut kemerahannya bersinar terkena cahaya api.

Sejak kapan dia di sana? Dan siapa lelaki yang bernyanyi bersamanya? Apakah pemburu foresta juga? Ah, tidak. Entah mengapa, aku tidak merasa bahwa lelaki itu pemburu foresta. Ia pasti hanya teman Hil di kampus. Atau tempat kerja jika mereka bukan mahasiswa.

Tepuk tangan meriah langsung terdengar dari orang-orang yang mengelilingi api unggun. Termasuk tepuk tangan  Lea dan Dea yang sengaja bertepuk tangan di dekat telingaku. Membuatku langsung menyerang mereka berdua dengan mengacak-acak rambut mereka.

"Wah, entah kenapa aku candu banget sama suara perempuan itu," tukas Dea.

"Aku kayaknya pernah melihat perempuan itu," ujar Lea.

"DI MANA?" Tanyaku heboh.

Lea mengernyitkan dahi.

"Kampus kakakku. Mungkin mereka satu kampus." Lea langsung menjawab tanpa mengomentari pertanyaanku yang heboh.

Ternyata Hil memang mahasiswa. Artinya, pemburu foresta memang hidup berdampingan dengan orang-orang pada umumnya. Namun, tak ada yang tahu bahwa di tengah-tengah mereka ada pemburu foresta. Tentunya selain pemburu foresta itu sendiri.

Sudah susah payah aku mencari Hil di antara semak-semak dan pohon-pohon. Dia malah muncul di tengah-tengah bumi perkemahan. Sangat menonjol pula. Sudah cukup dia membuatku jengkel. Entah apa rencananya setelah ini.

Terpopuler

Comments

Isolde

Isolde

Enak banget karya ini, aku nggak sabar nunggu kelanjutannya!

2024-02-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!