Darda POV
Aku tinggal di perumahan dekat anak yang kuantar kemarin. Sebenarnya tidak bisa dibilang dekat, tapi tidak jauh juga. Aku tinggal sendirian di sini. Ah, sebenarnya tempat ini adalah saksi bisu ayah dan ibu ketika membesarkanku. Namun, kedua orang tuaku itu sedang bekerja di luar kota.
Rindu? Sangat sekali. Tapi, apa rindu itu harus diwujudkan? Tidak. Ada rindu yang dapat diwujudkan dan juga ada yang tidak akan dapat diwujudkan. Selama seseorang yang kamu rindukan itu selalu ada di hatimu, maka kamu akan dekat dengan orang itu.
Rindu itu egois, apa kamu setuju? Apa aku harus mengacaukan pekerjaan kedua orang tuaku demi kerinduanku ini? Ego ku yang menginginkan mereka? Aku tahu mereka juga pasti merasakan hal yang sama sepertiku. Tapi inilah hidup, tidak semua hal di dunia ini bisa terjadi sesuai keinginan hatimu.
Author POV
Seperti sekarang, Darda tengah duduk di ruang keluarga dengan TV yang menyala di depannya. Terlihat benda kotak dengan layar bercahaya itu menampilkan film kesukaannya.
"Begitukah?"
Oh, dia sedang berbicara dengan seseorang di layar laptop nya. Ia bahkan sampai mengabaikan episode yang dari kemarin-kemarin ia nantikan.
"Hahaha."
"Jangan hanya tertawa saja! Jaga tubuh kamu juga ya, sayang."
Darda mengangguk-anggukkan kepalanya merespon seseorang di sana. Ia hanya tersenyum melihat seseorang yang ada di layar laptopnya itu mengomelinya.
"... juga selalu pakai jaket atau yang hangat-hangat. Sekarang kan musim dingin."
"Iya-iya-"
"Hatchu!"
"Loh, kamu sakit?! Udah berapa lama? Kenapa kok bisa sakit? Perlu ibu telponin dokter? Atau ibu kembali aja sekarang?"
Pertanyaan beruntun itu tiba-tiba terdengar di gendang telinganya. Ia yang sehabis bersin itu masih mencoba mengadaptasikan dirinya yang terasa bersin kembali. Namun, ternyata ia tidak bersin. Tapi, malah hidungnya yang terasa gatal saat ini.Darda pun hanya mendengarkan ibunya berceloteh sembari memejamkan matanya. Ibunya memang sangat protektif kepadanya.
"Ibu, Darda gapapa. Ibu gak perlu terlalu mengkhawatirkan Darda." akhirnya ia bisa berbicara setelah merasakan tidak ada bersin yang ke-2.
"Tidak khawatir apanya?! Kamu sakit gitu, masa ibu gak khawatir! Pasti kamu gak benar jaga kesehatan kan?"
"Apa? Engga bu-"
"Udah, biar ibu panggilin ayah kamu!"
"Ibu ibu gak perl-"
"Darda." belum sempat Darda berbicara sampai akhir, suara ayahnya datang menginterupsi. Mendengar suara tersebut Darda memejamkan matanya sembari tersenyum, "Iya, Ayah."
"Ayah denger, kamu kok gak jaga kesehatan gitu."
"Engga, Ayah. Darda jaga kesehatan."
"Kalau iya, kok bisa sakit?"
"Ini karena disini musimnya gini, dingin-dingin. Tapi sebenarnya Darda gapapa kok." Darda berusaha meyakinkan ayahnya yang tampak khawatir sama seperti ibunya. Ayahnya ini tipikal orang yang tidak bisa dibohongi. Jadi, jika Darda berbicara aneh sedikit saja, sudah pasti ayahnya menyadarinya. Tapi ia tidak berbohong kok? Ia memang menjaga tubuhnya dengan baik. Jadi, ia tak perlu khawatir.
"Engga bisa! Engga bisa! Kamu sakit gitu, pasti emang kondisinya gak enak buat kamu! Pokoknya besok ibu dan ayah akan pulang juga!"
Darda melihat ibunya yang ada di layar laptopnya itu terlihat sangat khawatir kepadanya. Sampai-sampai ibunya itu berbicara entah apa namun terlihat mempengaruhi ayahnya. Ayahnya terlihat makin khawatir setelah berbicara dengan ibunya. Darda yang melihat ini mencoba berbicara kepada ibu dan ayahnya. Dengan perlahan ia mulai berbicara, "Ibu, Ayah. Kalian gak percaya sama Darda?"
Pertanyaan itu membuat Darda dan kedua orang tuanya saling menatap satu sama lain.
"Bukan gitu maksud kami, Nak. Kami hanya ingin kamu baik-baik saja."
"Ayah lihat, Darda sekarang baik-baik aja kan?"
Darda berkata sambil merentangkan kedua tangannya menunjukkan bahwa sekujur tubuhnya dalam keadaan yang sangat sehat.
"Tapi, Darda.."
"Ibu, percaya sama Darda. Darda gapapa, baik-baik aja."
Darda tersenyum menatap layar laptopnya itu. Sedangkan kedua orang tuanya tampak tak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka hanya bisa menatap Darda dengan penuh sayang, tanpa bisa memeluknya.
"Darda.."
"Ibu sangat ingin pulang bertemu denganmu."
"Darda juga. Tapi, ibu dan ayah kan sibuk sekali jadi kalau gak fokus kayak gini malah gak pulang-pulang. "
"Iya benar, Sayang. Maka dari itu kami akan segera menyelesaikan urusan di sini dan langsung pulang." ujar sang ibu sambil tersenyum hangat kepada Darda. Dalam layar laptop itu terlihat juga ayahnya yang menatapnya hangat meskipun tidak tersenyum lebar seperti ibunya.
Darda yang melihat itu tersenyum ceria. Ia kini juga menatap keduanya dengan hangat. Ada perasaan menghangat di dada meskipun tanpa sentuhan sayang seperti pelukan. Mereka menyalurkan rasa rindu lewat mata.
"Baiklah, Sayang. Kami tutup ya, ada pertemuan yang penting setelah ini."
"Iya Ibu, Ayah. Sampai jumpa lagi, aku sayang kalian."
"Kami juga sayang padamu."
Setelah ucapan kedua orang tuanya keluar, layar laptop yang menampilkan orang tersayangnya itu pun tertutup. Darda yang sedari tadi tersenyum ceria kini menjadi diam dalam waktu yang lama. Merasakan bahwa hawa di sekitarnya mendadak berubah setelah ia kini kembali sendirian. Iklan TV terasa lewat begitu saja tak menjamah telinga Darda.
"Sepi sekali."
Ia beranjak dari duduknya kemudian pergi melangkahkan kakinya ke balkon. Menatap hari yang sudah senja. Matanya melamun ke satu arah. Langit, yang berwarna jingga kekuningan itu. Membiarkan angin senja menerpa rambut dan wajahnya.
Perasaan ini datang lagi. Kosong dan sepi. Ia tidak suka dengan ini. Setiap selesai bertelepon dengan orang tuanya, perasaan ini selalu datang menyelimutinya. Perasaan ini membuatnya ingin dikelilingi oleh orang-orang yang disayanginya. Ia menjadi tidak suka sendirian meskipun setiap hari sudah menjalaninya.
"Sebenarnya kenapa?"
Apakah dia tidak suka ketika dihubungi oleh orang tuanya? Tentu saja sangat suka. Karena itu, ia benci dengan perasaan ini. Perasaan ini ada ketika orang tuanya meneleponnya. Padahal setelah mengalami perasaan seperti ini, ia akan melawan rasa itu hingga menjadi tembok besar dihatinya. Yang membuatnya tidak merasakan perasaan ini lagi. Namun, tembok ini akan hancur sia-sia setelah orang tuanya meneleponnya. Begitupun seterusnya.
"Aku benci."
Ia menatap langit senja dengan berbagai perasaan yang beragam. Kesal, sedih, kecewa, benci, harapan.
"Apa yang sedang kurasakan ini? Aku ingin kedua orang tuaku, aku ingin berbicara lebih lama pada mereka. Dan, aku juga ingin mereka ada di sisiku. Selalu."
Ia bingung mengungkapkan isi hatinya yang rumit. Ia ingin mengeluarkan semuanya. Ia tidak tahan dengan semua ini. Ia benci rasa kesepian ini!
"Meong."
Terdengar suara kucing, namun Darda masih terhanyut dalam perasaannya. Kepalanya tak menoleh sedikitpun. Kedua matanya menatap sendu hamparan langit sore.
"Meong."
Tak memperdulikan sekitarnya, ia masih menatap luasnya langit itu dengan hamparan yang sejuk.
"Meong."
"Meong."
"Meong."
Sepertinya suara itu berhasil mengalihkan perhatiannya. Akhirnya ia mengalihkan pandangannya dari langit di sore hari itu. Matanya beralih ke halaman rumahnya mencari sumber suara yang dari tadi terdengar itu. Setelah matanya menangkap sesuatu, ia bergegas menuju halaman rumahnya.
"Meong."
Kini di depannya sudah ada seekor kucing. Kucing itu memiliki bulu hitam lebat diselingi dengan bulu putih. Matanya tajam namun terkesan imut. Darda pun melihat kucing itu dengan seksama, "Kucing siapa ini?"
Darda melihat sekeliling sekitar rumahnya. Tidak ada siapa-siapa. Lalu kucing ini milik siapa? Setahunya tidak ada yang memelihara kucing di sekitarnya. Ia pun berjongkok pada kucing itu. Mengelus-elus bulunya, "Kamu juga sendirian?"
"Meong."
Kucing itu hanya mengeong sambil menjilati kakinya.
"Eh, tunggu."
Darda melihat kaki kucing itu yang terluka. Ia pun mengambil perban dan memakaikannya di kaki kucing itu, "Loh kok habis."
Ternyata perbannya itu masih tersisa sedikit untuk digunakan pada kucing itu. Karena perban yang habis itu ujungnya belum dikaitkan, maka ia menempelkan hansaplas agar perbannya saling terkait.
Setelah selesai, ia menepuk-nepukkan tangannya. Darda menatap kucing itu. Ia baru berpikir sekarang, kucing ini tidak rewel seperti kucing-kucing pada umumnya. Bahkan tadi saat ia memberikan perban, kucing itu hanya diam menurut, "Kamu pasti ada pemiliknya."
Darda segera lari ke dapur rumahnya mengambil sesuatu kemudian keluar kembali ke halaman rumahnya. Ia menaruh beberapa ikan untuk dimakan kucing itu. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, ikan itu tertinggal durinya saja.
"Meong!"
Darda mengelus bulu-bulu kucing itu. Lihat, untuk sesaat ia lupa dengan kesepiannya. Ia sekarang bisa tersenyum dan gemas pada kucing itu.
Triring! Triring! Triring!
Darda mendengar nada dering teleponnya yang terdengar sampai ke halaman rumahnya, "Siapa telpon jam segini?"
Ia pun bergegas lari ke dalam rumahnya untuk mengangkat telponnya itu.
"Meong."
Kucing yang ada di halaman rumahnya itu hanya mengeong. Kucing itu kemudian berjalan pergi meninggalkan halaman rumah Darda. Kucing itu terus berjalan sampai keluar kompleks tempat tinggal Darda. Kucing itu terus berjalan dan berjalan.
"Disini kau rupanya."
Seorang laki-laki muda itu berjalan menuju kucing tersebut dari arah yang berlawanan.
"Kakakk! Udah ketemu?"
Ada juga seorang gadis kecil yang kini berlari dari belakang tubuhnya. Gadis itu langsung menghampiri kucing itu. Ia berjongkok agar tubuhnya lebih dekat dengan kucing tersebut.
"Emang ya, Bren! Sukanya ngilang aja!"
"Meong."
Kucing itu hanya bergelayut manja di kaki gadis kecil itu. Gadis kecil itu pun mengelus-elus bulu lebat kucing kesayangannya. Memang ya, kalau dirawat jadi segemas ini. Ia jadi ingin terus mengelus bulu-bulu itu seperti sebelum-sebelumnya ketika berada di rumah.
Tiba-tiba tangan besar meraih tubuh gadis kecil itu. Ia yang tadinya berjongkok mengelus kucing kesayangannya itu kini beralih di gendongan sang kakak laki-laki. Posisinya ia digendong di depan bak koala dengan kepalanya yang ia sandarkan di bahu kiri sembari mengalungkan kedua tangannya di leher kakaknya.
"Udah ayo pulang."
Suara beratnya berbicara pada adik perempuannya itu. Kakinya pun mulai melangkah kembali ke rumahnya. Kucing itu mengikutinya seperti sebuah kebiasaan.
"Kakkk aku belum tahu nama kakak ituuu."
"Aku mau ketemu lagii."
"Kakak itu dimana yaaa?"
"Kakk!!"
Gadis kecil itu kesal karena kakaknya hanya diam saja tidak menanggapinya. Dengan bibir mengerucut dan wajah kesal, ia menatap kakaknya yang masih berkespresi datar itu.
"Apa?"
"Aku mau ketemu kakak ituu."
"Terus?"
"Kakakk!!"
"Iya, terus kakak harus gimana?"
"Ish!" ia menyerah dengan kakaknya yang tidak seru sama sekali. Ia pun memilih menyandarkan kepalanya di dada sang kakak. Ia bersandar menghadap kiri menatap kucing imut kesayangannya yang sedang berjalan di sampingnya itu. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu.
"Kaki Bren kenapa kak?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments
Min meow
Baru selesai baca, tapi kok aku merinding terus ya. ✨
2024-02-08
1