Dalam sebuah ruangan yang cukup luas, terdapat beberapa siswa tengah berkumpul. Mereka tampak menantikan ucapan yang akan keluar dari seorang di hadapannya. Suasana terasa hening dengan angin dan cahaya senja yang menyapu ruangan nan luas di dalam sana.
"Hari ini bagus. Kalian sudah bekerja keras." puji seorang wanita paruh baya yang masih tampak belia yang berhasil membuat siswa-siswa itu bernapas lega. Saat ini, beliau berdiri di depan mejanya menatap keenam muridnya. Setelah itu melanjutkan kembali kegiatannya mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas abu-abunya.
"Terimakasih, Bu." enam orang di ruangan itu secara bersamaan berterima kasih. Menundukkan sedikit kepalanya dengan tangan yang tertumpuk membentuk sudut segitiga di depan tubuhnya. Bentuk rasa hormat pada seseorang yang tak lain adalah guru sekaligus pembinanya.
"Hari ini pun kalian sudah menampilkan yang terbaik. Aku percaya pada kalian. Darda, sebagai vokal utama di musikalisasi ini, kamu bisa menambahkan ide pendapatmu."
"Baik. Terimakasih, Bu."
Sementara itu, Slena, Zallen, Aley dan Azin sudah berada di gerbang sekolah. Mereka tampak menunggu seseorang di balik sana. Siswa-siswi berlalu lalang di sekitar mereka. Karena ini memang sudah waktunya pulang.
"Darda mana sih?" ujar Slena berdiri di gerbang sekolahnya sambil menengok-nengok kebelakang melihat ada tidaknya keberadaan sahabatnya yang satu itu. Kakinya gelisah tidak bisa diam.
"Iya, udah sore banget juga."
"Pasti latihan musikalisasi dadakan lagi."
"Kalau gitu, kita duluan gapapa kali ya? Kan ada teman yang sejalan pulang sama Darda."
"Iya, ayo buruan pulang! Perut gue sakit banget, kayaknya kebanyakan sambel tadi." kini Slena menunjukkan wajah yang semakin gelisah. Keringat mulai bercucuran di dahinya. Ia terus bergerak acak dengan tangan yang terus memegangi perutnya.
"Toilet sekolah kan banyak, Slen. Makin lama makin gak jelas lo."
"Anjir! Diem lo Ley, inget dessert lo!"
"Bercanda doang anjir.."
Slena sudah tidak peduli lagi apapun itu, ia kini berlari untuk pulang. Rumahnya memang cukup dekat dengan sekolahnya. Sedangkan Aley hanya menggelengkan kepalanya melihat itu dan akhirnya mereka bertiga pun menyusul di belakang Slena.
"Hei hei!"
Darda yang baru keluar dari gedung sekolahnya itu melihat teman-temannya yang sudah keluar gerbang, yang mana jaraknya dengan teman-temannya dipisahkan lapangan juga halaman sekolah yang luas.
"Heii!"
Meskipun Darda sudah berteriak memanggil sambil berlari seperti itu, ketiga temannya tetap tidak mendengar. Kalau yang satu, mungkin sudah sampai di rumahnya.
Darda yang sudah sangat capek dan tidak membuahkan hasil dalam larinya itu akhirnya berhenti di gerbang depan sekolahnya. Ia mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal. Tangannya yang berada di depan dada itu kini beralih mengelap keringat yang bercucuran di pelipisnya. Ia pun mengambil air putih yang ada di dalam tasnya, meminumnya hingga tandas. Setelah itu, ia langsung merasa lega karena segarnya air berhasil membasahi tenggorokannya yang kering. Setelah merasa segar kembali, ia pun menyimpan kembali botol minumnya di tempat minum dalam tasnya. Kemudian, ia melihat ke sekitar menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.
"Kayaknya harus pulang sendiri.."
Memang tak ada siapapun yang ia kenal di sekitarnya. Mau tak mau ia pun harus pulang sendirian.
Setelah dirasa tidak capek, Darda kembali melangkahkan kakinya untuk sampai di rumahnya. Sepanjang jalanan, terlihat ramai remaja seusianya tengah pulang sekolah. Yah, meskipun ia tidak kenal siapapun yang ada di sekelilingnya lantaran melihat seragam mereka yang sudah berbeda.
Tiba-tiba langkahnya terhenti dengan mata tertuju akan sesuatu. Ia pun segera menuju ke sana.
"Hentikan adik-adik!"
Darda datang dan mengulurkan kedua tangannya mencoba memisahkan 4 anak TK yang sedang berkelahi. Ada 1 anak di dorong-dorong oleh 3 anak lainnya. Darda begitu kewalahan memisah anak-anak tersebut.
"Hentikan!"
Seketika 4 anak itu berhenti dan menatap Darda yang ada di samping mereka. Darda kini berjongkok menatap keempat anak itu. Matanya menatap 1 anak yang kondisinya lebih buruk dari 3 anak lainnya.
"Kenapa kalian berkelahi?"
"Si Helna mendorongku! Aku sampai jatuh dan terluka kayak gini!" ucap anak yang bernama Carle sambil menunjuk telapak tangannya yang sedikit berdarah. Wajah gadis kecil itu benar terlihat kesal dengan kerutan alisnya yang terlihat jelas. Bahkan, mulut kecilnya itu berkerucut menandakan kalau ia memang benar-benar kesal.
"Benar!"
"Benar, anak itu mendorong Carle!"
Kedua teman seumuran yang bersama Carle sontak membela teman dekatnya yang berada di tengah-tengah di antara mereka berdua. Sama seperti Carle, mereka berdua juga dipenuhi kerutan dengan bibir yang mengerucut.
Darda melihat anak yang dipanggil Helna itu hanya diam saja dengan tatapan yang masih kesal ke arah Carle. Tidak seperti anak lainnya, ia tidak mencoba membantah atau menyangkalnya. Terlihat Helna hanya berdiri saja menatap mereka bertiga, terutama Carle tanpa berniat membalas ucapan mereka. Ia hanya diam dengan wajah yang kesal kepada mereka bertiga.
Darda yang melihat itu pun mencoba berbicara kepada Helna. Ia berbicara dengan lembut sembari berusaha mengerti apa yang tengah terjadi di antara mereka.
"Mereka bilang Helna anak yang nakal. Tidak ada yang menyayangi Helna. Karena ayah meninggalkan Helna dan ibu juga pergi ke langit."
Mendengar itu, sontak Darda langsung memeluk Helna erat dengan kedua tangan hangatnya. Ia seperti merasakan kehidupan Helna yang selama ini tanpa kedua orang tuanya. Betapa beratnya anak sekecil ini sudah tak hidup bersama orang tua lagi? Darda sedih membayangkan semua hal itu.
Akhirnya, ia mendamaikan mereka berdua. Dengan kata-kata yang lembut dan penuh kehangatan, ia berusaha menasihati kedua anak tersebut. Berharap mereka bisa berhenti berselisih dan bisa menjadi teman.
"Maafkan aku, Helna."
Carle meminta maaf kepada Helna. Carle berbuat seperti itu bukan semata-mata karena membenci Helna. Ia hanya kesal saja kepada Helna, "Aku kesal karena kamu tidak pernah mau jika kuajak main. Padahal kamu sendirian. Lalu tadi kamu mendorongku. Mangkanya aku bilang kamu anak yang nakal."
Sepertinya Darda sudah tahu permasalahannya yang ada di sini sekarang. Kemudian ia mengambil hansaplast yang selalu dibawa kemana-mana olehnya di saku kirinya. Ia membuka kulit kemasan hansaplast bergambar kartun itu lalu langsung menempelkannya ke tangan Carle yang terluka akibat terjatuh.
Melihat hansaplast itu yang sudah tertempel sempurna di tangan gadis kecil itu, Darda berbicara lagi dengan Carle. Menasihatinya dengan lembut bahwa yang dilakukannya itu salah. Carle hanya menunduk sembari mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan Darda. Tak lupa ia juga tidak membenarkan perilaku Helna yang mendorong Carle hingga membuatnya terjatuh dan diangguki Helna sama halnya seperti Carle.
Waktu cukup lama berlalu hingga keempat gadis kecil itu kini saling tertawa tak lagi bermusuhan seperti awal Darda datang.
"Teman?"
"Temann!!"
Ya, seperti itulah awal pertemanan mereka yang dimulai dengan pertengkaran. Namun, Carle dan kedua temannya terpaksa pergi lebih dulu karena sang ibu menjemput mereka.
"Dah!"
Lambaian Carle yang akan pergi juga dua lainnya. Helna pun hanya tersenyum dan membalas lambaian tangan mereka. Setelah teman-temannya itu hilang dari pandangannya, senyum yang di wajahnya memudar. Ia masih menatap jalan teman-temannya dan ibunya yang sudah menjauh. Helna sedih. Helna juga ingin dijemput seperti itu.
Darda yang melihat itu kemudian kembali berbicara kepada Helna.
"Helna mau es krim?"
"Mau!" Helna yang cemberut langsung ceria mendengar ucapan Darda.
"Ayo, ikut kakak!"
...--••--...
"Nenek! Nenek! Helna pulang!"
"Iya iya, Helna." dari dalam sebuah bangunan kokoh, seorang wanita paruh baya itu keluar dari halaman rumahnya. Kedua tangannya terbuka lebar menyambut cucu perempuannya ke dalam pelukannya.
"Nenek! Helna bawa pulang kakak!"
"Hm?" ujar wanita paruh baya itu mengalihkan mata dari cucu perempuannya. Ia kemudian melihat di depannya, "Ah, nenek gak lihat sekitar. Siapa ini?"
Melihat seorang nenek yang dipanggil Helna di hadapannya, Darda pun menampilkan senyumnya, "Halo, Nenek. Saya-"
"Nenek! Nenek! Kakak ini baik! Tadi Helna dibeliin es krim dan diberi permen yang ada gantungan kuncinya!" ujar Helna dengan riang sambil memegang permen dan menunjukkan gantungan kuncinya kepada sang nenek.
"Ish kamu ini! Udah berapa kali nenek bilang? Gak boleh main motong pembicaraan orang!"
"Maaf, Nek." pinta Helna yang tadi berbicara riang kini tampak cemberut dan menunduk ke bawah, memainkan jemari tangannya.
"Minta maaf sama kakak."
"Maafin Helna, Kak."
"Iya gapapa."
Namun, wajahnya kembali ceria ketika melihat wajah Darda yang tersenyum kepadanya, "Pokoknya hari ini Helna senang-senang sama kakak!"
"Astaga.. kamu ngerepotin aja.." sang nenek menatap cucunya itu dengan serius kemudian beralih menatap Darda, "Nak, maaf ya ngerepotin kamu."
"Tidak sama sekali, Nek. Saya juga yang ajak Helna. Tadi di jalan tidak sengaja bertemu Helna yang sendirian, jadi saya pulang bersama sekalian beli es krim. "ucap Darda dengan kedua tangan mengisyaratkan gerakan tidak.
Meskipun begitu, wajah sang nenek tetap terlihat tidak enak.
"Kakak, ayo masuk ke dalam!" tangan Helna menggandeng tangan Darda menariknya dan menuntunnya masuk ke dalam rumahnya, "Eh Helna, kakak harus pulang." Darda dengan pelan menghentikan langkah kakinya yang sepertinya sedikit terseret dengan tarikan tangan Helna.
"Loh kakak gak masuk?"
"Kapan-kapan ya, Helna." Darda berucap sambil tersenyum.
"Nak, beneran gak masuk dulu?"
"Terimakasih, Nek. Tapi Darda pulang saja, sudah mau malam juga."
"Begitu?" Darda hanya menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan dari sang nenek.
"Oh iya, biar dianter kakaknya Helna."
"Tidak perlu repot-repot, Nek! "
"Repot apanya. Helna, panggilkan kakak kamu."
"Kakak!"
"Kakak!"
"Kakaaakk!"
Dengan suara yang sangat keras Helna memanggil kakaknya. Tapi, tidak ada tanda-tanda kemunculan seorang yang dipanggil itu, "Ish, kakak mana sih?"
"Udah, Helna. Gapapa." imbuh Darda menepuk-nepuk penggung Helna agar ia tenang. Tangan yang sedari tadi dirangkul Helna juga kini ada di wajah gadis kecil itu. Lebih tepatnya ada di pipinya. Senyumnya tak pernah luput dari wajahnya.
"Nenek, gapapa saya pulang sendiri. Lagian rumah saya gak begitu jauh dari sini." mendengar itu, sang nenek tampak melihat sekelilingnya. Dan benar saja, rembulan sepertinya sudah siap untuk memancarkan sinarnya. Sang nenek pun mau tak mau hanya bisa mengiyakan, "Kalau begitu, hati-hati ya Nak."
Darda tersenyum dan mengangguk kepada sang nenek. Ia kemudian melepaskan tangannya dari Helna, "Kakak pulang dulu, ya?"
Helna tampak tak rela melihat Darda yang perlahan keluar dari halaman rumahnya. Melihat itu, Darda pun melambaikan tangan ke arahnya.
"Dadah kakak!"
Helna pun balik melambai-lambaikan tangannya ke arah Darda. Tak selang berapa lama, kini Darda pun hilang dari pandangan Helna dan sang nenek.
Namun, dalam keheningan itu tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar.
"Ada apa, Nek?"
Seseorang keluar dari dalam rumah dengan tubuh yang masih sedikit basah. Tubuhnya menjulang tinggi, mungkin kisaran kurang lebih 180 cm. Rambutnya masih terlihat titikan air. Orang lain kalau melihatnya pun pasti tahu kalau orang tersebut mandi dengan terburu-buru, jadi berpakaian pun masih basah semua. Kini ia sedang ada di depan pintu, akan menghampiri adiknya.
Sang nenek yang melihat hal tersebut akan berucap kata, namun sudah terdahului oleh sang cucu perempuannya, "Huh! Kakak darimana saja?! Tadi Helna panggil biar kakak nemani kakak!"
"Hm?" tampaknya seseorang tersebut tidak paham dengan apa yang adik perempuannya bicarakan.
"Ah, pokoknya Helna kesal sama kakak! Helna ngambek!" ungkap Helna berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Melewati kakaknya sambil mengerucutkan bibirnya.
Sang kakak yang melihat hal itu pun memandangi neneknya dengan bingung. Neneknya hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat itu, ia masuk ke dalam mencari keberadaan adiknya. Ketika tahu di mana adiknya berada, Ia pun duduk di kursi meja makan tepat di mana adiknya berada. Ia kemudian mengangkat tubuh kecil adiknya itu dan menaruh di pangkuannya.
"Ada apa?"
"Huh!"
"Helna jadi nakal ya sekarang, gak mau bicara sama kakak."
"Habisnya Helna kesal sama kakak! Tadi kakak baik udah bermain sama Helna! Kakak itu jadi pulang sendirian.."
"Hm? Kakak baik?"
"Iya, kakak baik."
"Siapa kakak baik?"
"Kakak yang ngasih ini!" jelas Helna sambil menunjukkan permen dengan gantungan kunci tersebut kepada kakaknya. Tiba-tiba ia menurunkan tangannya dengan raut wajah yang berubah, "Loh, kakak baik tadi namanya siapa?!" Helna menatap kakaknya dengan wajah yang panik. Sang kakak hanya menggidikkan kedua bahunya.
"Siapa ya? Kok Helna tadi gak nanya.." bingung Helna berusaha mengingat interaksinya tadi. Sedangakan kakaknya yang tengah memangkunya itu hanya mencubit pelan hidung kecil Helna.
"Pokoknya ini semua gara-gara kakak!" protes Helna terus menyalahkan kakaknya karena Darda yang pulang sendirian. Ia kini bahkan sampai cemberut karena tidak tahu nama kakak yang sepanjang hari tadi menemaninya.
"Yaudah, ayo kakak beliin es krim."
"Gamau! Udah tadi sama kakak baik!"
"Kalau gitu kakak beli sendiri aja."
Kakaknya bersiap untuk berdiri dan mendudukkan Helna di kursi sebelah.
"Helna mau!" tiba-tiba tangan Helna terangkat ke kakaknya minta digendong. Kakinya juga bergerak ke atas ke bawah. Merengek pada umumnya.
"Tadi katanya gak mau."
"Mau!"
"Tadi gak mau, berarti ya gak mau."
"Kak Edren!!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments