Bab 5 - Memangnya Kurang Apa?

WISNU

Sejak tadi netraku tak lepas menatap wajah wanita cantik bertudung yang muncul dari dalam membawa nampan berisi beberapa gelas minuman. Inikah gadis desa yang ingin dijodohkan denganku? Hatiku menduga-duga.

Hmmm, cantik! Ya, memang harus kuakui wanita itu memang cantik. Berkulit putih mulus walau terlihat tanpa make up. Bola mata yang indah, alis yang tebal tersusun rapi dan bulu matanya panjang dan lentik. Hidungnya pun mancung, dan bibirnya berwarna peach. Suaranya juga terdengar sangat halus dan lembut.

Meskipun secara fisik wanita itu hampir sempurna, tapi dia bukanlah wanita idamanku. Bagiku wanita sempurna hanya Monica, selain cantik, penampilannya sangat elegan dan selalu mengikuti mode saat ini. Setidaknya, tidak membuatku malu jika harus menemaniku pergi ke acara-acara formal maupun semi-formal.

Wanita itu hanya sesekali menatapku, itupun hanya beberapa detik saja. Dia lebih sering menurunkan pandangan, seolah enggan berlama-lama memandangku. Padahal selama ini banyak wanita senang menatap wajah tampanku.

"Tidak rugi Wisnu dapat istri seperti kamu, Nissa."

Keasyikanku menatap Annisa buyar ketika mendengar Mama mengatakan aku beruntung jika mempunyai istri seperti Annisa. Yang benar saja? Selain mendapatkan warisan dari kakek, memang apa lagi keuntunganku jika menikahi dia? Aku rasa tidak ada, sama sekali tidak ada.

"Hmmm, ini enak sekali, lho, bolunya. Nanti lain waktu kalau main ke Jakarta, kamu buatkan untuk Tante, ya, Nis." Mama terlihat lahap memakan bolu yang diklaim buatan Nissa.

"Baik, Bu," jawab Annisa.

"Cobain, deh, Pa. Ini enak banget, lho." Mama menawarkan Papa untuk mencoba makanan itu.

"Alhamdulillah kalau Bu Kartika suka makanan yang kami buat. Hanya seperti ini sajian yang bisa kami berikan," sambung Umi Zaenab.

"Tidak apa-apa, Bu Zaenab. Ini juga sudah cukup," sahut Mama.

"Kamu juga harus coba, Wisnu. Ini buatan calon istri kamu. Kamu nanti akan doyan makan kalau dibuatin makanan sama Nissa." Mama meledekku sambil tertawa kecil.

"Nanti saja, Ma. Masih kenyang," tolakku beralasan. Kembali pandanganku mengarah pada Annisa. Wanita itu baru saja menoleh ke arahku, hingga kami saling bersitatap kembali beberapa detik. Namun, lagi-lagi hal itu tak berlangsung lama. Karena Annisa kembali memu tuskan pandangan.

"Kenapa dia selalu membuang muka? Munafik sekali!" Justru rasa kesal yang tiba-tiba muncul di benakku melihat Annisa yang selalu memalingkan wajah lebih dulu setiap bersitatap. Aku yakin jika Nissa juga pasti mengagumi ketampananku. Hanya wanita bodoh yang tidak tertarik pada pria sepertiku.

"Awas saja kau nanti!" Bahkan di benakku sudah muncul niat jahat untuk membalas jika sudah menikah nanti. Yang pasti, aku akan membuat hidupnya tidak tenang bahkan seperti berada di neraka. Sehingga Annisa memutuskan berpisah. Bukankah aturan itu tidak ada di dalam wasiat Kakek? Aku disuruh menikah dengan Annisa agar aku mendapatkan warisan Kakek. Sama sekali tidak disinggung seandainya sampai berpisah.

"Oh ya, Nissa ini aktivitas sehari-hari apa? Dengar-dengar guru, ya?" Dari pihak keluargaku, Mama yang paling banyak berinteraksi dengan keluarga Nissa.

"Bukan guru resmi, Bu. Hanya mengajar anak-anak yang tidak sempat mengikuti sekolah formal, karena harus membantu orang tua di sawah dan berkebun," jawab Annisa.

"Dan itu secara sukarela, Bu Kartika. Tidak dipungut bayaran ..." Umi Zaenab menyambung perkataan Nissa.

"Jadi kamu tidak menerima gaji sepeser pun?" Mama terlihat kaget saat mengetahui Annisa bekerja sukarela.

"Bukan tidak menerima gaji, Bu. Kadang-kadang ada juga orang tua dari anak-anak yang saya ajar membawa hasil kebun kemari. Tapi itu diwajibkan, Bu. Saya mengajar untuk meringankan beban keluarga yang tidak mampu, bukan untuk membebankan mereka." Annisa menjelaskan tujuannya membagikan ilmu kepada anak-anak di desanya.

"Masya Allah, mulia sekali hati kamu, Nissa." Mama kembali terkagum pada sosok Annisa. "Kita beruntung dapat menantu seperti Nissa, ya, Pa?" Mama minta dukungan Papa untuk mengakui pendapatnya itu.

"Iya, Ma. Papa Atma memang sudah tepat menjodohkan Wisnu dengan Nissa." Dan Papa pun menyetujui apa yang Mama ucapkan.

Hempasan nafasku langsung terdengar saat kedua orang tuaku seolah menyanjung Annisa. Sementara Papa dan Mama tidak pernah sekalipun menyanjung Monica, setiap mereka bertemu dengan Monica.

Entah kenapa rasa kesal dan benci pada Annisa mulai merayap di hati. Annisa sepertinya bukan hanya penghalang bagi warisan Kakek juga hubunganku dengan Monica. Tapi juga berhasil mencuri hati Papa dan Mama. Suatu hal yang belum bisa dilakukan oleh Monica selama setahun ini berhubungan denganku.

Setelah berbincang-bincang ringan, keluarga Abah Rahmat mengajak kami menikmati makan siang. Tapi, tidak di dalam rumah. Mereka mengajak kami makan di sebuah saung di belakang bangunan rumah keluarga Abah Rahmat.

View di sana terlihat sangat cantik dengan hamparan padi hijau yang terbentang dan beberapa petani yang sedang bekerja di sawah. Lauk yang dihidangkan pun sangat sederhana dan kental dengan menu pedesaan.

"Jarang sekali kami bisa menikmati makan siang dengan suasana seperti ini, Abah, Pak Umar," kata Papa menikmati menu yang dihidangkan dengan sangat lahap. Memang hampir jarang kami bisa menikmati momen seperti ini. Kami terbiasa mengadakan jamuan makan di restoran atau hotel mewah dengan menu internasional jika kami di luar rumah.

"Benar, jadi ingat waktu saya masih kecil. Papa saya juga sering mengajak saya makan di saung seperti ini." Mama seperti mengenang masa kecilnya ketika masih tinggal bersama Kakek sebelum hijrah ke Jakarta dan memulai membangun usaha di Jakarta.

Sejujurnya aku tidak pernah menduga jika Kakek pernah tinggal di desa ini. Sayangnya rumah peninggalan orang tua kakek, rumah dan sawah sudah dijual untuk menambah modal Kakek memulai usaha di Jakarta.

"Nanti Bu Kartika sering-sering datang ke sini, biar nanti saya siapkan menu makanan lain di sini, Bu." Umi Zaenab menyambut baik.

"Jadi kira-kira kapan enaknya acara pernikahan Wisnu dengan Nissa, ya? Biar saya bisa mempersiapkan semuanya." Mama kembali menyinggung soal pernikahan.

"Kami serahkan kepada Pak Faisal dan Bu Kartika saja," sahut Abi Umar.

"Bagaimana kalau bulan depan?" Mama memberikan saran.

Kedua alisku terangkat mendengar saran Mama yang memilih waktu begitu cepat. Bulan depan? Secepat itu? Tapi, tak apalah. Bukankah semakin cepat aku menikah, semakin cepat juga perusahaan perbankan itu jatuh ke tanganku.

Sudut bibirku tertarik sedikit ke atas, sementara ekor mataku menangkap Annisa yang termenung menatap makanan di atas piringnya. Entah apa yang ada di pikiran wanita itu. Sepertinya Annisa terlihat tidak senang dengan rencana pernikahan kami. Apa benar Annisa tidak suka dinikahkan denganku? Memangnya aku kurang apa sehingga dia tidak suka dijodohkan dengan pria sepertiku? Entah kenapa rasanya jengkel melihat sikap Annisa seperti itu.

*

*

*

Bersambung ...

Happy Reading❤️

Terpopuler

Comments

Nurjana Bakir

Nurjana Bakir

kurang ajar pak/Frown/

2025-04-11

0

gia nasgia

gia nasgia

Kurang sopan pak 😜

2024-12-14

0

Khairul Azam

Khairul Azam

kurang ramah mas Wisnu.... 🤦‍♀️

2024-03-31

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!