ANNISA
Kami sedang berbincang santai di ruang tamu sambil menunggu kedatangan tamu dari Jakarta. Ketika terdengar suara klakson mobil berbunyi, secara bersamaan terdengar suara air mendidih dari teko.
Abah, Abi dan Umi berhambur ke luar rumah menyambut tamu, sedangkan aku langsung berlari ke dapur untuk mematikan kompor dan menyiapkan minuman untuk tamu yang datang. Dan segera menyusun tujuh set mug kecil, lalu mengisinya dengan gula pasir, kemudian menuang air teh panas yang baru saja mendidih, dan mengaduknya hingga gula larut dengan air,
Aku tidak tahu berapa tamu yang datang ke rumah. Hanya menghitung empat tamu ditambah Abah, Abi dan Umi.
"Nis, sedang apa?" tanya umi saat masuk ke dapur. "Tamunya sudah datang. Ayo, ke depan dulu, temui calon suami dan calon mertua kamu," ujar umi kemudian.
Aku menolehkan pandangan ke arah umi. Tak kupungkiri, jantungku berdebar cukup kencang. Bayangkan saja, aku akan bertemu dengan orang-orang baru yang belum aku kenal sebelumnya, dan akan menjadi bagian dalam hidupku untuk ke depannya.
"I-iya, Umi. Nissa sedang siapkan minuman dulu. Berapa tamu yang datang?"
"Ada tiga, empat sama supir. Sini biar Umi saja yang bawa minumnya." Umi meminta tugas yang sedang aku lakukan.
"Ini sudah selesai, kok, Umi." Segera kupindah tujuh gelas teh itu ke atas nampan. "Umi bawa kuenya saja." Kutunjuk piring berisi kue yang sejak pagi aku buat, yang sulit aku bawa bersamaan dengan air.
Kakiku melangkah meninggalkan dapur membawa nampan disusul umi yang berjalan di belakangku. Dengan menurunkan pandangan, aku menghidangkan air teh di atas meja, tanpa berani menatap para tamu yang datang ke rumahku.
"Nissa, ini keluarga teman Abah dulu. Kenalkan, ini Pak Faisal, Ibu Kartika dan Nak Wisnu." Abah lalu mengenalkanku dengan keluarga dari teman abah.
Aku mulai menaikkan pandangan dan memperhatikan satu persatu tamu yang kelak akan menjadi keluargaku. Dari Pak Faisal, Ibu Kartika hingga Wisnu. Melihat Faisal dan Kartika tersenyum kepadaku, membuat hatiku menghangat. Namun, berbeda ketika mataku bersitatap dengan Wisnu. Pria berwajah tampan itu terlihat dingin menatapku.
"Saya Annisa, Pak, Bu. Selamat datang di rumah kami. Maaf kalau suguhannya seadanya." Aku mulai memperkenalkan diriku dengan agak kikuk, kemudian duduk di dekat Umi dengan memangku nampan yang aku bawa tadi.
"Wah, ternyata cantik sekali lihat aslinya Nissa." Kartika memuji kecantikanku, membuat semburat merah mungkin sudah mewarnai pipiku saat ini, hingga aku hanya sanggup tertunduk malu.
"Bu Kartika terlalu berlebihan memuji. Putri kami ini hanya gadis desa, Bu." Umi berusaha merendah.
"Justru karena gadis desa jadi kecantikannya alami. Bahkan Nissa dan Bu Zaenab ini seperti adik kakak, lho. Awet muda sekali lihat Bu Zaenab." Kini Umi yang giliran dipuji oleh Ibu Kartika.
"Ah, Bu Kartika ini bisa saja ..." Umi tersipu malu.
"Sepertinya kami tidak ingin berlama-lama menyampaikan tujuan kami datang kemari, Abah, Pak Umar, Bu Zaenab." Pak Faisal mulai berkata-kata serius. "Sesuai yang pernah dibicarakan dulu oleh orang tua kami, yang ingin hubungan silaturahmi di antara keluarga Atmadinata dengan keluarga abah semakin erat. Kami datang kemari ingin melamar cucu abah, Nissa untuk menjadi istri Wisnu, anak kami." Secara gamblang Pak Faisal menyebutkan maksud dan tujuan datang ke rumah ini.
Pandanganku kembali terarah pada Wisnu. Tatapan pria itu masih sama. Terkesan angkuh dan tak mendamaikan hati. Apakah benar pria ini yang Tuhan takdirkan untukku? Meskipun berwajah tampan, jika terlihat tak ramah, untuk apa? Keluhku.
"Bagaimana, Abah?" Pak Faisal ingin kepastian jika lamarannya bisa diterima oleh abah.
"Pak Atma memang pernah mengatakan hal itu pada Abah. Abah juga senang dan setuju jika hubungan kekeluarga kita bisa semakin erat. Tapi, semua itu yang akan menjalani anak-anak. Jadi Abah sendiri serahkan sepenuhnya kepada Nissa," jawab abah menatap ke arahku.
Aku balik menatap abah. Abah menyerahkan segala keputusan kepadaku. Kupikir abah sudah pasti memutuskan akan menikahkanku dengan Wisnu. Apalagi umi selalu ketat menjagaku agar tidak dekat dengan pria mana pun. Tapi, apakah aku bisa menolak? Tak mungkin aku mengecewakan kedua orang tuaku juga abah seandainya aku menolak. Walaupun abah menyerahkan semuanya padaku, pada kenyataannya aku tetap harus menikah dengan Wisnu.
"Gimana, Nissa? Kamu setuju dijodohkan dengan Nak Wisnu?" Abi ikut bertanya padaku.
"Hmmm, Nissa terserah Abah dan Abi saja." Memangnya aku bisa memberikan jawaban selain itu? Aku tidak ingin dianggap sebagai anak durhaka yang membuat malu orang tua. Meskipun sejujurnya kurang cocok di hati, aku hanya bisa pasrah menerima nasib harus menjadi istri Wisnu.
"Kalau Nissa mengatakan terserah kepada kami, artinya kami dengan tangan terbuka menerima lamaran Pak Faisal untuk meminang Nissa untuk Nak Wisnu." Abah langsung memberikan jawaban setelah mendengar perkataanku.
"Alhamdulillah ..." Pak Faisal dan Ibu Kartika berucap syukur karena lamaran mereka diterima tanpa mengalami hambatan dan penolakan dariku.
"Syukurlah kalau begitu, kita tinggal menetapkan tanggal pernikahannya saja." Ibu Kartika sangat bersemangat.
"Kalau dari pihak kami terserah Pak Faisal dan Ibu Kartika saja," jawab Abi.
"Kalau begitu secepatnya saja, ya, Pa. Biar kita bisa cepat momong cucu," sahut Bu Kartika.
Bola mataku melebar ketika mendengar Kartika membahas soal cucu. Untuk memberikan seorang cucu, bukankah harus melalui proses hubungan suami istri? Seketika wajahnya menghangat. membayangkan melakukan hubungan itu membuat bulu kudukku seketika meremang.
"Sepertinya Bu Kartika sudah tidak sabar ingin punya cucu, ya?" Umi menanggapi perkataan calon besannya dengan tawa kecil.
"Tentu saja, Bu Zaenab. Wisnu itu usianya sudah tiga puluh tahun. Seharusnya sudah dari kemarin-kemarin kasih cucu sama saya," jawab Bu Kartika terkekeh.
"Silahkan diminum dulu, Pak, Bu," ujar umi mempersilahkan tamu kami untuk menikmati hidangan yang sudah kami sediakan. "Silahkan dicoba bolunya, Bu. Ini Nissa sendiri yang buat." Umi menjelaskan jika makanan yang dihidangkan adalah buatanku.
"Oh ya? Wah, paket komplit Nissa ini, ya!? Sudah cantik, solehah, pandai memasak juga. Tidak rugi Wisnu dapat istri seperti kamu, Nissa." Bu Kartika kembali memujiku sambil mencoba bolu yang aku buat sejak pagi tadi.
Aku tersipu malu menatap Bu Kartika yang terkagum dengan apa yang aku lakukan. Sementara ekor mataku kembali mengarah pada Wisnu. Kali ini pandangan Wisnu berhenti menatapku dan mengalihkan pandangan ke arah mamanya.
Dari gestur tubuh Wisnu, sepertinya pria itu tidak menyukai apa yang dikatakan mamanya. Entah mengapa, aku pun merasa jika Wisnu seperti terpaksa menerima perjodohan kami. Tak bisa aku bayangkan akan seperti apa nasib pernikahanku nanti jika semuanya dijalani tanpa cinta. Apalagi sikap Wisnu terlihat dingin tak seperti kedua orang tuanya.
*
*
*
Bersambung ...
Happy Reading❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
gia nasgia
Next
2024-12-14
0
🐥Yay
Kalo Nisa merasakan Wisnu ga tulus, kenapa coba katakan ingin mengenal dulu gitu... ga langsung menerima lamaran. huhuh
2024-03-29
1
nuraeinieni
wisnu kaya kulkas dua pintu aja;,dingin,,😃
2024-03-14
1