ANNISA
Suara kokok ayam yang bersautan membuatku mengerjapkan mata. Tanda pagi menjelang, dan rutinitas harian harus segera di mulai.
Sementara lantunan ayat-ayat Alquran dari arah Masjid tak jauh dari rumah pun mulai terdengar. Menandakan diriku harus segera beranjak dari tempat tidur, karena waktu Shubuh akan segera tiba.
Kusingkap selimut yang menggulung tubuh seraya merentangkan kedua tangan untuk merenggangkan otot-otot. Mengeliat adalah hal paling nikmat ketika terbangun dari tidur.
Tak ingin bermalas-malasan, aku segera turun dari peraduan. Ingin melaksanakan kewajiban dua rakaat yang sejak usia dini ditanamkan oleh abah, ayah dari abi-ku.
Sempat kulihat ponsel untuk melihat jam. Aku tidak mempunyai banyak circle pertemanan, jadi tak ada pesan yang aku tunggu masuk ke ponselku. Tak juga aku melihat update story beberapa orang yang ada di kontak ponselku. Karena saat ini bukan waktu untuk bersantai dan ingin tahu apa yang dilakukan orang.
Setelah mengecek ponsel, barulah aku keluar dari kamar, beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengambil air wudhu.
"Kamu baru bangun, Nis?" Umi Zaenab terdengar menyapaku ketika hendak ke kamar mandi.
Umi sudah menggunakan mukenah dan menyampirkan sajadah di lengannya.
"Umi sudah mau ke mushola?" tanyaku menggulung lengan baju tidur sampai batas siku.
"Iya, abah, abi sama Hasbi sudah duluan ke mushola. Umi nunggu kamu," ucap umi.
"Tunggu sebentar, Umi. Nissa wudhu dulu." Tergesa-gesa masuk ke dalam kamar mandi.
"Jangan lari-lari kalau di kamar mandi, Nissa!" Terdengar suara umi menegur karena tadi aku terburu-buru masuk ke kamar mandi.
Selepas mencuci muka, menggosok gigi dan berwudhu, kami segera pergi ke Mushola tak jauh dari rumah.
Abahku seorang ustad, jadi beliau selalu berusaha mendidik aku dan adikku untuk taat dalam melaksanakan ibadah dan ikut memberikan contoh yang baik pada masyarakat desa di mana kami tinggal. Termasuk membiasakan diri pergi beribadah ke masjid.
Adzan Shubuh mulai terdengar membangunkan setiap warga kampung untuk segera melaksanakan ibadah. Suara abi yang melantunkan panggilan sholat terdengar sangat merdu di telinga.
"Umi, Nissa ...."
Seseorang menyapa kami saat kami memasuki gerbang halaman mushola yang terbuat dari pagar bambu sebatas pinggang.
Aku dan umi sama-sama menoleh ke arah suara yang menyapa kami tadi.
"Eh, Kang Jamal ...." Jamal adalah pria yang banyak disukai gadis-gadis di desaku. Selain mempunyai fisik yang lumayan memikat, dia bekerja bersama abi di balai desa karena abi menjabat sebagai kepala desa di tempatku tinggal.
"Ayo, Nis. Nanti keburu Iqomah." Sementara umi langsung menarik lenganku agar segera masuk ke dalam masjid.
Umi selalu menjauhkanku dari setiap pria yang berusaha mendekatiku, meskipun pria itu adalah anak buah abi. Padahal usiaku saat ini bisa dikatakan sudah matang untuk ukuran gadis-gadis di desaku yang rata-rata menikah di usia lima belas sampai tujuh belas tahun.
Sempat kubertanya kepada umi. Jawaban umi selalu mengatakan 'Kamu sudah dijodohkan'. Namun, aku sendiri tak pernah tahu siapa pria yang telah dijodohkan denganku. Apalagi melihat wajah dan bertemu dengan pria itu.
Aku menoleh Jamal di belakangku. Dengan tak enak hati hanya bisa mengembangkan senyum tipis dan berkata, "Aku masuk dulu, Kang." Berpamitan agar tidak dianggap sombong.
***
Sarapan pagi ini, aku dan umi menyiapkan nasi liwet. Umi memang jago memasak. Dan aku pun senang belajar memasak dari umi. Sebagai seorang wanita yang nantinya berumah tangga, pintar memasak itu penting. Suami akan senang menikmati masakan istrinya daripada membeli makanan di luar. Setidaknya itulah yang aku lihat dari sikap abi. Setiap waktu istirahat, abi selalu menyempatkan pulang ke rumah untuk menikmati makan siang menu masakan umi.
"Mar, semalam abah mendapat kabar dari keluarga Pak Atma. Katanya teman abah itu sudah meninggal seminggu lalu." Abah Rahmat menyampaikan berita duka dari pihak keluarga Atmadinata.
"Innalillahi, Wainnailaihi Roji'un ..." Semua yang ada di meja makan langsung mengucapkan kalimat istirja secara serempak.
"Pak Atma sakit apa, Abah?" tanya Abi Umar. Abah sudah menceritakan kepada abi, siapa Pak Atmadinata, jadi abi tahu siapa Pak Atma yang dimaksud dalam ucapan abah tadi.
"Katanya Pak Atma mengalami pecah pembuluh darah di otak." Abah menjelaskan penyebab kematian sahabat lamanya semasa remaja dulu.
"Menantu Pak Atma bilang, katanya pekan depan akan ke sini membawa anaknya yang rencananya ingin dijodohkan dengan Nissa." Abah juga menjelaskan tentang rencana kedatangan keluarga Atmadinata yang ingin melamarku.
Seketika aku menghentikan kunyahan saat abah menyinggung soal perjodohan. Sejak tadi aku hanya mendengarkan obrolan abah dan abi, tanpa berpikir jika orang yang dimaksud adalah orang yang ingin menjodohkanku.
Entah mengapa, tiba-tiba saja jantungku berdegup cukup kencang saat mengetahui pria yang akan dijodohkan denganku akan datang kemari. Rasa penasaranku seolah merayap hingga membuatku bertanya-tanya, seperti apakah dia? Apakah dia pria yang Sholeh dan baik hati? Hanya dua itu yang aku harapkan sebagai calon suami idamanku.
Aku hanya wanita desa, tak punya pendidikan tinggi, hanya tamat SMA. Aku juga hanya pengajar sukarela untuk mengisi kekosongan aktivitas sehari-hari. Jadi aku pun tak terlalu muluk mengharapkan seorang pendamping.
"Keluarga teman abah mau datang kemari?" Umi ikut menyahuti, "Wah, kita harus beres-beres rumah atuh, Bi." Umi langsung senewen. Sangat wajar apa yang dirasa oleh umi. Tentu umi harus mempersiapkan jika ada tamu penting datang ke rumah, apalagi yang ingin datang adalah keluarga calon besan.
"Nanti suruh Mang Usep cat rumah, Bi. Sudah mulai pudar warnanya. Pagar juga yang kayunya sudah keropos diganti saja, Bi." Umi sudah membuat planning merenovasi rumah, untuk menyambut kedatangan keluarga Atmadinata.
"Iya, nanti Abi suruh Mang Usep siang ini ke sini." Abi menyetujui permintaan Umi.
"Nis, calon suami kamu akan datang kemari. Jangan lupa rawat tubuh dan wajah kamu, agar kamu tidak mengecewakan calon suami kamu nanti." Umi pun langsung menasehatiku. "Kalau perlu kamu ke kota, coba perawatan wajah biar makin cantik." Bahkan umi menyuruhku pergi ke salon yang ada di kota.
Keningku seketika berkerut mendengar nasehat umi. Untuk apa aku harus pergi ke salon. Apa penampilanku kurang menarik? Apa wajahku tidak cantik? Padahal semua orang yang melihatku, selalu mengatakan jika aku adalah wanita tercantik di desa tempat tinggalku.
"Untuk apa pergi ke salon, Umi? Putri abi ini sudah cantik, tidak usah pergi-pergi ke salon lagi." Untung saja abi menolak saran yang dianjurkan umi.
"Abi ini ... Umi hanya tidak ingin mengecewakan calon menantu kita, Bi." Umi berkilah.
"Mengecewakan bagaimana, Umi? Nissa itu sudah cantik lahir batin. Tidak mungkin anak abi ini bikin kecewa orang."
Aku tersenyum melihat abi membelaku. Aku pun setuju dengan abi. Kencantikan wanita tidak dapat diukur dengan seberapa sering dia pergi perawatan ke salon. Tapi, dari perilaku dan kepribadian wanita itu sendiri.
*
*
*
Bersambung ...
Happy Reading ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
🖤 Yay
kok sama, udh lama ga ada temen yg chat🤣
2024-03-28
1
nuraeinieni
umi semangat mau ketemu calon besan dan mantu
2024-03-14
1
❤️⃟WᵃfRahma
betul itu kata Abah mu Nisa, cantik hati lebih bagus dan baik dari pada cantik polesan hatinya busuk
2024-02-24
4