Pagi-pagi sekali Ana bangun dan bersiap untuk segera berangkat ke bandara. Ia baru selesai merapikan kopernya ketika ponselnya berbunyi.
“Aku otw sekarang.” Bunyi pesan masuk dari Kila, sahabatnya itu memaksa untuk mengantarnya ke bandara.
“Oke,” balas Ana cepat. Hanya tinggal menambahkan buku bacaan ke dalam tas selempangnya, semua pekerjaannya beres.
Tak berapa lama kemudian Kila datang dengan mengendarai mobilnya, langkah kakinya terdengar jelas saat melangkah menuju teras rumah. Ana bergegas membukakan pintu, meminta Kila masuk dan mengajaknya sarapan terlebih dahulu. Pukul enam pagi, Ana melirik sekilas jam di dinding. Masih ada waktu dua jam sebelum waktu keberangkatan pesawat yang akan membawanya ke kota J.
“Gak ada yang ketinggalan?” tanya Kila mengamati barang bawaan Ana, sebelum membantu memasukkannya ke dalam bagasi.
“Udah semua, Aku cuman mau titip kunci kafe sama Kamu.” Ana menyerahkan kunci kafe pada Kila, sesuai pesan nyonya Astrid. Semalam Ana sudah meminta izin pergi ke luar kota untuk beberapa hari pada atasannya itu. Ia menceritakan alasan sebenarnya dan dengan bijak nyonya Astrid memberinya waktu lebih panjang karena menganggap Ana tak pernah mengambil cuti kerja selama ikut dengannya.
Setelah memastikan semua jendela dan pintu terkunci rapat, mereka segera berangkat. Meski hari masih pagi, butuh waktu satu jam untuk mereka sampai ke bandara. Lalu lintas pagi hari itu cukup padat karena berbarengan dengan jam masuk kerja karyawan juga anak sekolah.
“Sayang Aku gak bisa ambil cuti bareng Kamu. Kalau gak kan kita bisa ke sana sama-sama.”
“Terus yang ngurusin kafe siapa kalau Kamu juga ikutan pergi?” Ana menjawil gemas dagu Kila, tersenyum lebar melihat bibirnya yang mengerucut.
“Punya bos jarang ke kafe, semua diserahin anak buah. Giliran mau libur jadi ribet!” keluh Kila, ia memutar-mutar kunci di tangannya dan langsung berkelit menjauh begitu mengenai lengan Ana.
“Karena bos sangat puas dengan kinerja keras kita, makanya dia kasih kepercayaan buat kita ngelola kafenya. Udah ah, jangan ngeluh!”
Kila hanya meringis mendengarnya, ia sedih karena harus berpisah lama dengan Ana. Apalagi waktu cuti yang diberikan atasan mereka itu satu bulan lamanya. Belum apa-apa, Kila sudah merasa kesepian.
“Udah, jangan sedih gitu mukanya. Senyum, ih.” Ana menangkup wajah Kila, ia paham apa yang tengah dirasakan sahabatnya itu. Mereka bersama-sama sejak lama, susah senang sama-sama. Sekarang salah satu dari mereka harus pergi.
“Aku gak sedih,” sahut Kila sembari memeluk Ana. “Kamu baik-baik di sana. Kalau ada apa-apa, cepat kabari Aku. Aku akan datang langsung menemuimu di sana.”
Ana tersenyum mengangguk dan balas memeluk Kila. “Aku pasti akan menghubungimu. Aku pergi ya,” kata Ana melepas pelukan mereka.
“Kalau laki-laki itu macam-macam denganmu, Kau harus melawannya!” seru Kila lantang, yang dibalas Ana dengan lambaian tangan.
“Bagaimana caraku melawannya, belum bertemu saja jantung ini sudah berdegup tak keruan.” Ucap Ana dalam hati.
Burung besi itu mengudara hampir dua jam lamanya, tiba di kota tujuan saat hari belum terlalu siang. Cuaca terik menyambut Ana saat menjejakkan kakinya lagi di sana. Suasana pagi di kota kelahirannya itu tak banyak berubah, masih saja sama seperti tiga tahun lalu.
Ana menunggu di dekat pintu masuk bandara saat taksi yang dipesannya datang. Sopir turun membantu memasukkan kopernya ke dalam bagasi. Setelah menyebutkan alamat lengkap disertai kartu nama, mereka segera meluncur ke sana.
Sepanjang perjalanan Ana lebih banyak berdiam diri, pikirannya kini dipenuhi bayangan wajah pria itu. Seperti apa ia sekarang, bagaimana kabarnya kini. Apa ia sedih telah kehilangan papanya. Apa ia juga masih setampan dulu? Kumis tipis dan dagu yang dipenuhi bulu-bulu halus hingga ke bawah telinga terasa menggelitik. Membayangkan tangannya menyentuh wajah itu membuat pipi Ana memanas.
“Non kenal dengan keluarga tuan Fitra? Bukankah hari ini hari pemakamannya?” sopir di depannya itu bicara, membuyarkan lamunan Ana.
“Ya? Kok Bapak tahu, Bapak kenal juga dengan tuan Fitra?” Ana balik bertanya, ia lupa kalau kartu nama yang diberikannya memuat jelas nama dan alamat rumah mantan papa mertuanya itu.
“Siapa orang di kota ini yang tidak kenal dengan beliau? Tuan Fitra salah satu orang terkaya di kota ini, orang baik yang ringan tangan selalu membantu orang-orang lemah seperti Saya ini.” Jelas sopir itu membuat Ana hanya bisa mengangguk setuju.
“Tuan Fitra memang orang baik, tidak seperti Hugo putranya.” Gumam Ana lirih, dan otaknya langsung saja mengingat wajah pria itu lagi.
Meski pria itu sudah membuatnya harus angkat kaki dari rumahnya, Ana tetap saja tak pernah benar-benar bisa membencinya. Terkadang ia bingung sendiri dengan dirinya. Meski kerap tak dianggap, ia selalu saja bisa memaafkan sikap dingin Hugo padanya. Meski telah berpisah lama, ia bahkan tak berniat mengganti nomor teleponnya. Ia berharap suatu hari laki-laki itu akan menghubunginya.
Tanpa sadar Ana tertawa lirih, butuh waktu tiga tahun lamanya untuknya bisa mendengar lagi suara laki-laki itu. Dan kata-kata yang diucapkannya berhasil membuat Ana datang dan menginjakkan kakinya lagi di kotanya.
“Apa sebaiknya kita berhenti di sini saja ya, Non. Sepertinya jalanan menuju rumah tuan Fitra ditutup,” kata sopir itu sembari menundukkan kepala mengawasi jalanan sekitar mereka dari kaca depan mobilnya.
Ana tersentak lagi dari lamunannya, ia celingukan melihat ke luar kaca jendela mobil. Jantung Ana berdesir, mendadak tubuhnya gemetar. Rumah besar lantai tiga bercat dinding abu muda itu sudah tampak dari kejauhan. Banyak kendaraan terparkir di sepanjang bahu jalan menuju ke tempat itu, belum lagi lalu lalang orang keluar masuk. Tak mungkin memaksakan mobil masuk hingga ke halaman rumah, hanya akan menimbulkan kemacetan.
“Ya sudah. Saya turun di sini saja, Pak.” Kata Ana setelah mampu menguasai keadaan, ia memasang masker di wajah lalu bergegas turun dan membayar lebih ongkos mobil yang ditumpanginya itu.
Perlahan Ana melangkah sambil menyeret kopernya, sesekali ia menundukkan kepala membalas sapaan orang-orang yang berpapasan dengannya.
“Ana, bukan?”
Ana menghentikan langkahnya, dan wanita yang menyapanya itu langsung menghampirinya dan memegang lengannya. “Jadi benar Kamu, Ana? Apa kabar? Akhirnya Kamu datang juga.”
“Kabarku baik.” Ana menurunkan maskernya ke bawah dagu, sorot mata terkejut tampak jelas di wajah wanita di hadapannya itu. “Permisi, Saya harus segera ke sana.” Ana berpamitan, ia harus bergegas dan tak ingin berlama-lama. Mengabaikan tatapan aneh wanita itu padanya.
“Tenang Ana, bersikap rileks saja.” Ana mencoba menyemangati diri, menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Tiba di teras rumah besar itu, Ana menghentikan langkahnya. Ia taruh kopernya di balik pintu agar tidak mengganggu.
Pandangannya langsung menyapu sekitarnya, dan sosok Hugo Denis yang langsung tertangkap oleh matanya. Lelaki itu duduk dengan kepala tertunduk di depan jenazah papanya. Sementara di sampingnya duduk Leo, pria yang kemarin bertemu dengannya.
Ana mencoba tersenyum ketika Leo menyadari kehadirannya, lelaki itu langsung menyikut lengan Hugo. Ana berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup teramat kencang, terlebih saat lelaki itu menoleh lalu mengangkat wajahnya.
Pandangan mereka bertemu, tubuh Ana menggigil merasakan sorot kebencian di wajah lelaki itu. Ia bisa merasakan kemarahan laki-laki itu padanya. Leo yang menyadari hal itu segera berdiri dan menyambutnya, membawanya masuk dan duduk di dekat Hugo.
Ana tak bisa menolaknya, ia berusaha tetap tenang meski telapak tangannya mulai berkeringat. Tatapannya mengarah pada sosok papa mertuanya yang kini terbujur kaku di depannya. Wajahnya masih terlihat, sementara bagian tubuhnya yang lain sudah terbungkus kafan putih.
Tiba-tiba saja matanya memanas, dan bulir bening itu jatuh mengalir di pipinya. Bibirnya bergumam pelan, berusaha menahan isak yang membuat dadanya sesak. Ia tatap lekat wajah papa mertuanya itu sambil terus berdoa dalam hati.
“Terima kasih. Papa pasti senang mengetahui Kamu datang melihatnya.”
Ana tak kuasa menahan tangisnya dan lelaki itu menghela bahunya. Hugo berbisik di telinganya, menggumamkan kata-kata penghiburan untuknya.
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Jetva
setelah tau cerita yg sebenarx..apakah Hugo masih membenci..??????
2024-06-17
0
Seo Ye Ji
luar biasa 😱 hugo menurunkan egonya dan mau bersikap ramah dengan ana
2024-02-08
1
Kim Ye Jin
keereennn 👍👍👍 lanjut say
2024-02-08
1