One Sweet Day With You
“Argh!” Kila mengerang kecewa, melihat pemandangan di depannya. Ruangan itu terlihat berantakan sekali. Sisa makanan berserakan di atas meja. Kaleng kosong bekas minuman berhamburan di sana-sini, menyisakan gelembung-gelembung yang mengecil dan perlahan mencair mengotori lantai kafe. “Kenapa mereka terus saja melakukan hal seperti ini?”
“Tarik napas,” tukas Ana seraya mengangkat kedua lengannya lalu mengikat rambut panjangnya menjadi ekor kuda. Ia tersenyum dan menolehkan wajahnya sesaat, pada Kila yang berdiri dengan bibir cemberut di sampingnya. “Kita bereskan semua sama-sama.”
“Tidak mau!” balas Kila dengan meninggikan nada suaranya, tak terima harus pulang telat lagi malam ini karena kembali harus membereskan semua kekacauan yang terjadi usai acara pesta dadakan anak lelaki atasan mereka dengan teman-temannya di kafe Dylan tempat mereka bekerja. Kafe yang biasanya tutup jam sembilan malam itu harus molor satu jam lamanya.
“Kalau begitu, biar Aku saja yang membereskannya.” Ana menghela napas, berdebat hanya akan membuang waktu mereka percuma. Ia bergegas ke belakang dan kembali lagi dengan banyak alat di tangannya. Tak mengapa ia yang harus melakukannya, toh tempat ini memang sudah menjadi tanggung jawabnya.
Ana memasang sarung tangan dan membuka kantung plastik besar yang dibawanya, mengitari meja dan mulai memasukkan sampah-sampah yang ada.
“Renjana Maheswara!” Seru Kila lantang menyebut nama lengkap Ana yang langsung menegakkan tubuhnya sembari mengusap cuping telinganya dan bibir menahan senyum. “Aku akan melakukannya, tapi Kau harus mentraktirku makan malam ini!”
“Oke.” Ana mengangguk setuju, tak bisa menyembunyikan senyum saat Kila datang mendekat dan mengambil alih pekerjaannya. Ia tahu, Kila tak akan membiarkannya bekerja sendirian.
Satu jam berikutnya, suasana kafe kembali seperti semula. Ana mengusap keningnya yang basah, duduk sejenak berselonjor kaki di bangku pojok teras kafe yang terlindung banyak tanaman anggrek sambil menunggu Kila datang dari membeli makanan.
Langit malam tampak cerah, banyak bintang di atas sana. Embusan angin lembut mengusap wajahnya, tak terasa matanya terpejam. Bayangan wajah seseorang berkelebat dalam ingatannya membuatnya tersentak dan langsung membuka mata. Ana menggeleng kuat, mencoba mengusir kenangan pahit masa lalu yang kembali datang dan mengusiknya.
“Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Kila tahu-tahu muncul dan melambaikan tangan di depannya.
Ana mengerjap, menatap Kila yang duduk di hadapannya sembari membuka kantung plastik yang dibawanya. Dua porsi sate ayam lengkap dengan potongan lontong di dalamnya, ditambah dua kaleng minuman kini ada di atas meja.
“Kau terlihat melamun, Kau bahkan tak menyadari kalau Aku datang.” Kata Kila lalu melahap makanannya. “Jangan protes! Aku tahu Kau tak terlalu suka dengan makanan yang Aku bawa, tapi hanya ini yang mereka jual di luar sana.” Imbuhnya lagi dan kembali melanjutkan makannya.
“Aku tak akan melakukannya kali ini,” sahut Ana seraya mengulas senyum, ia mengambil satu tusuk lalu makan dan mengunyahnya pelan.
“Kau belum menjawab pertanyaanku barusan.” Kila mengusap mulutnya dengan selembar tisu, lalu menatap lekat mata sahabatnya itu. Ia sudah menghabiskan bagiannya sementara Ana masih memegang tusuk satenya tadi yang bahkan masih belum habis dimakannya.
Ana berdeham sejenak sebelum menjawab pertanyaan Kila. Makanan di tangannya ia letakkan kembali di tempatnya lalu menyambar kaleng minuman di depannya, membukanya cepat dan menegak isinya. Keningnya langsung berkerut begitu minuman itu menyentuh tenggorokannya.
Awalnya ia ingin menyimpannya sendiri. Tapi seperti yang sudah-sudah, ia tetap akan mengatakannya pada Kila. Ia tahu sahabatnya itu bisa dipercaya.
“Mantan papa mertuaku sakit keras dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kau tahu, beliau satu-satunya orang yang mau menerima kehadiranku di rumah itu.”
“Maafkan Aku.” Kila langsung berpindah tempat dan duduk di samping Ana, merengkuh bahunya dan mengusapnya pelan. “Bagaimana Kau bisa tahu. Apa mereka menghubungimu dan menyampaikan berita itu?”
Ana menggeleng, tersenyum kecut. “Aku bertemu dengan Leo tanpa sengaja saat ia tengah menemani adik perempuannya berbelanja,” jelas Ana sambil mengingat kejadian kemarin.
“Siapa Leo?”
“Keponakan papa. Dia langsung menemuiku dan mengatakan kalau papa sakit keras dan ingin sekali bertemu denganku. Belum lama kami bicara, ada yang meneleponnya dan menyuruhnya untuk segera pulang.” Ana menundukkan wajahnya, suaranya bergetar menahan sesak di dada. Kedua tangannya bertaut resah di bawah meja.
“Apa Kau ingin datang melihatnya?” tanya Kila hati-hati, ia tahu bagaimana kisah masa lalu Ana dengan keluarga itu sejak hari di mana ia bertemu dengan mereka.
Ana mengangkat wajahnya, dan Kila bisa melihat kilat duka di sudut mata itu yang kini mulai berembun. Ana ingin sekali datang ke sana dan melihat langsung kondisi papa, satu-satunya lelaki yang menyayanginya dengan tulus dan kerap mengajaknya bicara saat semua orang di rumah itu mengabaikannya.
“Aku belum memutuskannya,” jawab Ana pelan, kala keraguan melingkupi hatinya. Jika ia memutuskan untuk datang, ia akan bertemu kembali dengan Hugo, laki-laki yang membencinya yang membuatnya harus pergi dari rumah itu.
“Oh.” Kila mengangguk mengerti, ia bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Ana saat ini. “Apa Kau masih belum bisa melupakannya?”
Ana mengangguk berulang dengan bibir terkatup menahan tangis. “Kau benar, Aku belum bisa melupakannya. Bahkan hingga detik ini, Aku masih bisa mengingat jelas garis tegas wajahnya.” Kata Ana saat merasa lebih tenang dan bisa menguasai dirinya, membuat Kila langsung terdiam.
“Kalau Kau berubah pikiran, Aku bersedia menemanimu datang ke sana. Kita bisa ambil cuti besok.”
“Tidak perlu, Kila. Aku bisa datang sendiri ke sana tanpa harus Kau temani,” tolak Ana cepat, tak ingin melibatkan Kila dengan masalahnya.
“Baiklah, Aku mengerti.”
Perbincangan mereka berakhir, Kila pamit pulang dan Ana kembali ke rumahnya yang letaknya berada tak jauh dari kafe tempatnya bekerja. Ya, rumah yang ditempatinya itu milik nyonya Astrid atasannya.
Saat datang tiga tahun lalu untuk melamar kerja, nyonya Astrid langsung menerimanya karena merasa kasihan padanya. Ia memberinya tempat tinggal dan mandat penuh padanya untuk membantu menjalankan usaha kafenya. Ana menikmati pekerjaannya, ia menggunakan kesempatan emas itu dan tak menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah diberikan padanya.
Ana merebahkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya, namun sulit. Pikirannya dipenuhi bayangan wajah papa mertuanya, bagaimana kondisinya sekarang. Takut kalau terjadi hal buruk padanya. Pikiran itu menghantuinya dan membuat matanya nyalang sepanjang malam.
Saat dering ponselnya berbunyi tepat jam satu malam, Ana tersentak bangun dan melompat turun dari ranjang. Ia merasakan dadanya berdegup sangat kencang saat matanya membaca nama yang tertera di sana.
“Papa meninggal.” Suara dingin di seberang sana terdengar bergetar, hanya sebentar dan detik berikutnya langsung menghilang.
“Innalillahi wainna ilaihi raajiun.” Ana berucap lirih, lalu tersadar tapi laki-laki itu sudah menutup teleponnya. “Halo? Halo?!”
Tak ada sahutan, hanya bunyi nada sama yang terus berulang terdengar di telinganya. “Pa-pa meninggal?” ulang Ana lirih dan tanpa sadar wajahnya sudah basah air mata.
“Aku harap Kau bisa datang menemui paman. Paman ingin sekali bertemu denganmu, ia terus-terusan menyebut namamu sampai kami kebingungan bagaimana harus menjawabnya karena kami tak tahu harus mencarimu ke mana.”
Kata-kata Leo kembali terngiang di benaknya. Ana menangis mengingat wajah teduh sang papa mertua. Malam itu juga ia memutuskan untuk datang ke sana, melihatnya untuk yang terakhir kalinya.
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Bunda
ikutan mampir Thor🙏🏻
2024-05-31
0
reza indrayana
Mampir nich Thor ..., kisah yg menarik...👍🏻👍💙💙💛💙💙🫰🏻🫰🏻😘😘😘
2024-05-31
0
Keyra humaira
🤗🤗🤗
2024-02-20
2