Hugo berlari cepat menuju ruang rawat inap papanya, dilihatnya sudah banyak orang berkumpul di luar menunggunya. Begitu melihat kedatangannya, wajah-wajah itu tampak lega.
“Kau harus tetap kuat dan bersabar menghadapinya,” kata seorang kerabatnya yang langsung memeluk bahunya dan menepuknya pelan. “Hanya Kau satu-satunya harapan papamu.”
Hugo mengangguk sopan, “Aku akan selalu mengingat ucapan Paman,” sahutnya kemudian, tersenyum sebelum melangkah masuk.
Untuk menjaga ketenangan pasien, pihak rumah sakit hanya mengizinkan satu orang saja yang boleh masuk ke dalam ruang inap pasien. Ketika dokter menghubungi Hugo tadi dan menyampaikan padanya kalau jantung papa sempat berhenti berdenyut, ia langsung bergegas pergi dan meninggalkan semua urusan di kantor pada asistennya Yuda. Beruntung nyawa papa masih tertolong, berkat kesigapan dokter yang merawatnya.
Hugo menarik kursi di dekat papanya dan duduk perlahan, ditatapnya lekat wajah teduh di hadapannya itu yang kini lelap tertidur. Di genggamnya tangan papanya dan ditempelkannya di dahinya. “Aku belum menghubunginya bukan berarti Aku tak peduli pada keinginan Papa. Aku sayang Papa, tapi Aku belum bisa memaafkan semua yang telah dilakukannya padaku.”
Mata papa mengerjap, gerakan tangan Hugo barusan mengusik tidurnya. Perlahan-lahan mata itu terbuka sempurna. Papa menggerakkan tubuhnya, mencoba bangun. Tapi Hugo menahannya.
“Mana Ana? Leo katakan, dia bertemu dengannya kemarin.” Mata papa liar menatap sekitarnya, mencari-cari sosok Ana.
Hugo menahan diri dan berusaha tetap bersikap tenang, ia sudah menyuruh orang untuk mencari Leo yang entah pergi ke mana setelah bertemu dengan papanya. Ia harus bicara dengan sepupunya itu. Menurut keterangan pamannya, papa langsung merasakan sesak setelah bicara dengan Leo.
“Ana tidak ada, Pa. Dia tidak datang kemari.” Hugo membantu papanya berbaring kembali, dirapikannya selimut yang menutupi tubuh papanya hingga batas dada. “Kalau memang Ana merasa pernah berhutang budi pada Papa, dia pasti akan datang menemui Papa.”
Nama itu meluncur dengan mudahnya keluar dari bibirnya, setelah sekian lama ingin dilupakannya. Wajahnya kembali kaku, rasa bencinya pada wanita itu masih bercokol kuat dalam hatinya.
“Dia benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi,” ucap papa dengan mata berkabut. “Papa bersalah padanya. Harusnya Papa tidak melakukan itu pada kalian berdua.”
“Apa yang ingin Papa katakan?” Tanya Hugo mengernyit bingung saat tangan papa mencekal kuat pergelangan tangannya. Berulang kali papa mengatakan kalau ia yang bersalah, dan Hugo hanya mendengarkan tanpa bertanya apa maksud ucapan papanya itu.
Papa lalu meminta Hugo untuk membantunya duduk. Hugo menuruti permintaan papanya itu, meski merasa khawatir mendengar bunyi napas papa yang mulai tersengal.
“Kau ingat kejadian malam itu, saat Kau pulang dalam keadaan mabuk? Ana yang membantumu ke kamar.”
“Aku ingat.” Hugo mengangguk, ia ingat dengan jelas. Hidupnya berubah sejak malam itu, ia naik ke ranjang yang salah dan terbangun keesokan harinya dalam keadaan kacau. Dan yang memalukan lagi, pintu kamar di depannya terbuka dan papanya berdiri marah di sana.
Melihatnya tampilan dirinya yang seperti bayi baru lahir, sementara Ana meringkuk di dekatnya menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Dengan suara menggelar, papa langsung memintanya untuk bertanggung jawab.
Ia kacau, tak bisa menjelaskan apa yang sudah dilakukannya pada Ana. Ia terlalu mabuk dan lupa segalanya. Tak bisa berbuat apa-apa, apalagi dilihatnya Ana menangis dan tampak ketakutan. Ia pasrah saat itu dan tak mampu menolak keinginan papanya. Hingga berselang seminggu setelah malam kejadian, ia dan Ana menikah. Acaranya sangat sederhana dan terkesan tertutup, hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja.
Hari itu juga ia memboyong Ana ke rumah baru mereka, papa terlihat sangat senang dengan pernikahan mereka dan menghadiahi sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya. Tiga bulan usia pernikahan mereka, tak sekalipun Hugo mau menyentuh Ana lagi. Meski serumah, Hugo selalu pulang malam dan sibuk dengan pekerjaannya.
Lalu semua terungkap ketika Hugo pulang ke rumah sore hari dan tidak mendapati Ana di sana. Wanita itu sedang keluar bersama temannya dan kembali saat malam hari dengan diantar seorang pria muda. Entah apa yang merasuki pikiran Hugo saat itu, ia marah melihat Ana bersama pria lain. Mereka bertengkar dan berakhir di ranjang.
“Tidak terjadi apa-apa malam itu,” gumam Hugo dengan tatapan nanar dan suara teramat pelan. Ia mengetahui kebenaran kalau Ana masih suci dan ia merasa tertipu. Ia merasa dijebak seolah mereka telah melakukan perbuatan terlarang hingga harus menikahi Ana.
“Papa hanya ingin melihatmu menikah, dan wanita itu adalah Ana.” Papa terdiam sejenak, menghela napas dalam. “Papa yang mengatur semuanya. Papa yang meminta Ana untuk mau melakukannya, Membuat kalian seolah sedang bersama. Ana sempat menolak, tapi Papa berusaha meyakinkan dirinya karena Papa tahu Ana mencintaimu sejak lama.”
“Papa?” Hugo terkejut bukan main mendengar pernyataan papanya, ia mengira Ana yang sudah menipunya selama ini.
“Dengarkan Papa, Papa akan ceritakan semuanya. Dan setelah Kau mengetahui semuanya, tolong berhenti membenci Ana. Dia tidak bersalah, Papa yang salah. Papa hanya ingin melihatmu menikah lagi dan itu dengannya.”
Hugo tak bisa berkata-kata lagi, ia mengesah pelan dan kembali bergumam menyebut nama papanya yang perlahan menarik napas dan dari bibirnya mengalir sebuah cerita kejadian sebenarnya sebelum ia terjaga dan membuka mata di pagi hari itu.
“Papa jangan salah paham, tidak terjadi apa-apa pada kami berdua,” kata Ana dengan suara bergetar, ia terkejut melihat kemunculan papa di dalam kamarnya saat Hugo bertingkah seperti orang lupa diri dan terus berusaha memeluk dan mencium Ana. Pakaian yang melekat di tubuhnya sudah lepas semua berserakan di lantai kamar. Lalu tak lama kemudian laki-laki itu jatuh tertidur di ranjang dengan tubuh menin dih Ana.
Bukannya marah dan menarik Hugo keluar, papa malah tersenyum senang. “Memang tidak terjadi apa-apa, dia hanya berusaha memelukmu. Dan Kau tidak akan mengatakan hal ini padanya. Cukup hanya kita saja yang tahu.”
“Apa maksud Papa?”
“Sekarang Kau dengarkan Aku!” Papa mengangkat tangannya saat Ana mencoba menginterupsi, lalu bicara dengan nada lembut. “Lelaki di dekatmu itu pernah gagal berumah tangga dan ia lebih memilih mati dalam kesendirian dari pada melakukannya lagi. Hanya Kau satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari keinginannya untuk terus menyendiri seumur hidupnya. Dia tak akan pernah menikah lagi dan memberikanku penerus jika itu tergantung pada keinginannya sendiri. Hanya ini satu-satunya cara agar ia menikah lagi.”
“Aku tidak mau melakukannya, Pa.” Ana menggeleng kuat. “Aku tidak ingin menipunya. Tidak seharusnya kami menikah karena sesuatu hal yang tidak dilakukannya.”
“Aku tak memintamu untuk menipunya, yang perlu Kau lakukan hanya mengikuti apa yang Aku katakan.”
“Aku tak akan melakukannya,” sahut Ana keras kepala.
“Kau akan tetap melakukannya!” tegas papa tak beranjak dari sana, menatap tajam ke arah Ana. “Anggap saja itu balasan atas sikap baikku selama ini padamu. Menikahlah dengan Hugo dan berikan Aku cucu.”
Aargkh! Hugo mere mas kasar rambutnya mengingat semua cerita papa. Ia terus duduk menemani papanya hingga malam. Menjelang tengah malam napas papa kembali sesak, dokter segera melakukan tindakan namun sayang nyawa papa tidak tertolong lagi. Hugo langsung menelepon nomor Ana dan mengabarkan perihal papanya yang sudah tiada. Entah wanita itu akan datang melihat papa untuk terakhir kalinya atau tidak, Hugo tak pernah berharap.
▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Shanty
sebelum terlambat apa tidak lebih baik menuruti keinginan papamu sebelum menyesal nanti
2024-02-08
1
Wendy putri
Ana gak bisa nolak lagi aplg saat disinggung soal balas budi 😭
2024-02-08
1
Dewi tanjung
menurutku ini bukan sebuah solusi, hanya akan menciptakan masalah baru
2024-02-08
2