Hari itu benar-benar terjadi. Aku semakin menyadari bahwa ketika Mas Ias menginginkan sesuatu, lelaki itu akan bersikeras untuk mendapatkannya. Wajahnya tampak kusut penuh penyesalan kala Mama Medina menangis saat melepaskan kami. Mama bahkan mengantar kepindahan kami di rumah baru.
"Ma, aku sudah dewasa dan sudah menikah. Sudah selayaknya belajar untuk hidup mandiri." Mas Ias berkata dengan lembut. Dia juga memeluk Mama Medina sembari mengelus punggung sang mama.
Tadi, saat Mas Ias menyampaikan kabar ini, Mama Medina menolak. Kami baru saja menikah dan akan langsung pindah rumah. Kabar ini terlalu mengejutkan.
Papa Rafe juga awalnya menolak, tetapi mengetahui bagaimana tekad putra sulung keluarga ini, akhirnya Papa pun merestui dengan catatan bahwa kami akan sering berkunjung, minimal saat akhir pekan.
"Sudah, Ma. Biarkan Ias hidup mandiri. Dia juga akan sering menginap di rumah. Mama tidak usah khwatir." Papa Rafe menarik Mama Medina dari pelukan Mas Ias.
Aku tahu kalau Mama Medina keberatan akan sikap Papa Rafe. Namun, beliau menunjukkan sikap menurut.
Sambil menyeka wajahnya, Mama Medina menatap ke arahku.
"Tolong jaga Mas Ias, ya, Ra ...."
"Ma ...."
Mas Ias bersuara pelan, tetapi kemudian bibirnya terkatup rapat saat mendengar kelanjutan kalimat Mama Medina, "Mas Ias sering lupa sama makannya. Tolong diperhatikan yaa. Sama, ingatkan dia untuk istirahat saat bekerja. Sekarang ada kamu juga yang harus diperhatikannya."
"Iya, Mama. Ayra akan mengingat pesan Mama dengan baik." Aku mengangguk berulang kali.
Tepukan pelan di bahu membuatku menoleh. Lantas, bisikan Ameera berhasil membuatku tertegun.
"Hati-hati. Dan jagain Mas Ias dari si mantan, jangan sampai dia kabur. Aku percaya sama kekuatan cinta kamu, Ra."
Aku mengangguk berulang kali. Pesan-pesan yang mereka titipkan akan aku ingat seumur hidupku. Dan, pesan Papa Rafe cukup mampu membangun semangatku yang sempat luntur.
"Tidak ada yang sia-sia yang telah Tuhan takdirkan. Kalian menikah karena takdir itu. Dan, Papa sangat berharap bahwa kalian akan menjaga ikatan suci ini. Sebab, pernikahan bukanlah janji di hadapan manusia, tetapi janji di hadapan Tuhan."
Aku mendongak, menoleh untuk menatap Mas Ias. Rupanya, lelaki itu juga tengah menatapku.
Beberapa saat kemudian, kami benar-benar hanya tinggal berdua saja. Aku bergegas membereskan gelas dan piring kotor dari meja ruang tamu, membawa ke westafel dan langsung mencucinya. Fokus pekerjaanku mendadak harus terjeda karena mendengar suara Mas Ias yang berada di belakangku. Jantungku sampai berdetak kencang menyadari jarak kami yang tidak terlalu jauh.
Aku ingin menoleh, tetapi mendengar ucapan lelaki itu seketika membuat tubuhku menegang kaku. Ada rasa sakit yang menusuk di hati dan menjalar ke seluruh tubuh. Kalau saja kedua tanganku tidak berpegang erat ke pinggiran meja dapur ini, mungkin tubuhku ini sudah luruh ke lantai dapur yang dingin ini.
"Kamu pakai kamar utama saja, biar Mas yang pakai kamar tamu ya."
Aku menggeleng berulang kali, memajamkan mata guna mengatur helaan napas dan menenangkan detak jantung yang semakin berdegup kencang oleh kesakitan yang semakin menjadi-jadi.
Aku tersenyum, lalu menoleh pada Mas Ias yang berdiri tidak jauh dariku. Jarak kami hanya dua langkah saja.
"Biar aku yang di kamar tamu, Mas. Lagian barangku juga enggak banyak. Mas Ias butuh kamar yang luas supaya bisa lebih fokus bekerja." Aku berkata pelan masih dengan senyum yang aku pertahankan.
"Tapi--"
"Apa Mas lupa kalau aku ini masih pengangguran?" tanyaku dengan kepala miring. Aku sengaja menampilkan wajah jenaka agar lelaki itu tidak merasa tidak nyaman padaku.
"Apa kamu yakin? Bukankah biasanya wanita itu butuh ... ruangan yang luas?" Mas Ias tampak ragu dan tidak nyaman saat mengucapkanya.
Aku tergelak. "Hahahaha. Mungkin karena aku masih masuk dari bagian wanita yang aneh, Mas. Jadi beda kayak wanita yang lain."
"Kalau gitu, Mas akan minta tolong orang untuk pindahkan meja rias ke kamar kamu ya. Jangan protes," ucap Mas Ias tegas.
Aku mengangguk dua kali, pasrah pada keputusannya. Entahlah, rasanya aku tidak lagi berniat untuk menyentuh alat make up yang aku punya itu. Sebab, aku paham jika wajahku ini ... oh, bukan hanya wajah, melainkan apa yang ada pada diriku ini tidak ada yang bisa membuat Mas Ias bisa menatapku sebagai wanita pada umumnya.
Mas Ias hanya menganggapku sebagai seorang gadis teman dekat Ameera, adiknya saja.
"Mas bantu, ya?" tanya Mas Ias kemudian yang tentu saja langsung aku tolak. Bisa-bisa, aku kena serangan jantung kalau terus menerus berdekatan dengan lelaki itu.
"Tinggal dikit, kok, Mas," ujarku menolak dengan halus tawarannya itu.
Mas Ias tersenyum lembut. Oh, kalau begini terus aku bisa beneran kena serangan jantung.
"Kali gitu, biar Mas pesan makanan untuk malam nanti. Dan, Mas aja juga yang cuci piring nanti malam."
"Tapi, Mas." Rasanya sangat aneh.
"Eit, enggak boleh menolak." Mas Ias menggoyangkan jari telunjuknya di udara. "Kita di rumah ini tinggal bersama, jadi harus berbagi tugas."
"Baiklah." Aku menahan napas saat melihat Mas Ias yang kembali tersenyum.
Selanjutnya, lelaki yang baru dua hari ini menjadi suamiku itu pun melangkah meninggalkan area ini. Aku mengikuti punggung tegapnya sampai menghilang berbelok ke pintu kamarnya.
Rumah ini cukup mininalis, tetapi terasa sangat nyaman. Tatanannya begitu rapi dan mudah untuk dicari. Selain memiliki satu kamar utama dan dua kamar yang lain, rumah ini juga memiliki ruang tamu yang cukup kecil. Aku jadi penasaran, seluas apa kamar utama yang ditempati Mas Ias. Apakah dua kali lebar dari kamar yang aku tempati? Atau justru sama saja.
Aku mengedikkan bahu, kemudian melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda beberapa menit yang lalu.
***
Aku cukup terkejut saat hendak masuk ke kamar usai makan malam, ada dua orang lelaki yang bertamu. Rupanya, dua orang itu adalah orang yang dimintai tolong oleh Mas Ias untuk memindahkan meja rias ke kamarku.
"Nah, meja ini bisa kamu pakai sebaik mungkin," ujar Mas Ias saat keluar dari kamarku untuk mengantarkan dua orang tadi.
Setelahnya, Mas Ias bilang kalau dia akan pergi sebentar.
"Kunci saja pintunya, Mas bawa kunci sendiri." Mas Ias berkata sambil melewatiku yang berdiri menunggunya.
Aku hendak bertanya dia akan pergi ke mana, urusan apa, dan sama siapa saja? Namun, lidah ini kelu untuk mengatakan sepatah kata. Pada akhirnya, aku hanya bisa melihat mobil yang dikendarai Mas Ias keluar ke jalanan.
Aku duduk di ruang tamu, menunggu Mas Ias pulang, sesekali mataku melirik jam yang tertempel di dinding bercat putih itu. Entahlah, perasaanku selalu diliputi kekhawatiran kala lelaki itu pergi.
Benar saja, Mas Ias pulang tengah malam dalam keaadan mabuk berat. Tidak terasa, air mata ini meleleh melihat keadaan lelaki itu yang tampak sangat menyedihkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments