Hari ini terasa begitu melelahkan. Aku pikir, acara pernikahan ini akan berakhir begitu saja setelah akad. Namun, rupanya resepsi tetap berlangsung sampai malam.
Setelah pagi dihiasi dengan banyak emosi. Komplit sudah tubuh ini lelah juga pikiranku. Ada perasaan tidak enak kala merayu orang tuaku tadi.
Aku bersusah payah meyakinkan mereka jika diriku ini memang menginginkan pernikahan itu. Beruntung, Mas Ias mau membantu. Lelaki itu turut memohon kiranya pernikahan ini direstui. Papa Rafe juga ikut memohon. Pada akhirnya, kedua orang tuaku pun mau merestui anak gadisnya ini menikah dengan Mas Ias. Walaupun, aku sangat paham jika mereka masih tampak keberatan.
Malam ini, aku dan Mas Ias dibiarkan menginap di hotel. Setelah acara selesai, keluarga langsung berpamitan pulang dan sengaja melarangku untuk ikut. Sementara itu, Mas Ias ada acara khusus para lelaki. Tinggallah aku sendirian di kamar ini.
Ada rasa haru, tetapi banyak kesedihan yang tidak bisa aku tepis melihat ranjang kamar ini telah dihias sedemikian rupa.
Aku yakin, kalau saja yang jadi pengantin wanitanya adalah Kak Evelyn pastilah kamar ini akan menjadi kamar yang sangat berkesan dalam kebahagiaan.
Aku melihat jam dari ponsel. Sudah tengah malam. Aku juga sudah mandi, tetapi belum berganti pakaian. Pasalnya, pakaian yang ada di lemari hotel semuanya adalah pakaian kekurangan bahan. ku tidak sanggup mengenakannya.
Akhirnya, aku pun mengenakan kembali pakaian kebaya yang digunakan untuk akad nikah tadi.
Aku membersihkan ranjang, membuang kelopak mawar ke tong sampah. Tidak lupa, aku juga melipat dan menyimpan handuk yang berbentuk angsa itu. Lantas, aku pun merebahkan diri, melipat kedua tangan di atas dada dengan mata terpejam.
Ingatanku memutar ulang kejadian hari ini, dari saat aku ditelepon oleh Ameera sampai saat aku masuk di kamar hotel ini.
Aku membuka mata, menatap cincin pernikahan yang Mas Ias sematkan di jari tengahku. Awalnya, lelaki itu menyematkan di jari kelingking, tetapi terlalu longgar.
Ya, memang cincin ini bukan ukuran jariku melainkan ukuran jari Kak Evelyn. Dia adalah perempuan yang seksi, anggun dan sempurna. Berbeda denganku yang tingginya tidaklah seberapa, dengan badan kurus.
Aku terus memandangi cincin yang melingkar di jariku sampai terdengar suara pintu terbuka. Kontan aku terlonjak dan turun dari ranjang. Itu pasti Mas Ias.
Aku baru saja bernapas lega saat melihat lelaki itu, tetapi kemudian rasa sesak menghampiri saat menyadari keadaan Mas Ias yang kacau.
Bau alkohol jelas tercium dari tubuhnya. Seumur aku mengenal Mas Ias, aku belum pernah mendapatinya atau mendengar cerita tentang lelaki itu yang mabuk. Mas Ias sangat menjaga diri dari minuman yang mampu menghilangkan akal tersebut.
"Mas ... Ias." Aku memanggil pelan, berjalan cepat mendekatinya yang tengah melemparkan tuksedo yang tadi dikenakan, meninggalkan kemeja putih yang kancingnya sudah terlepas.
Aku ragu saat menahan tubuh Mas Ias yang terhuyung. "Mas ... mabuk?"
"Hai, Ayra. Eh, kamu beneran Ayra, kan, bukan Evelyn?" tanya lelaki itu, lalu terkekeh pelan.
Aku tidak menanggapi. Aku meraih satu tangan Mas Ias, merangkulkan ke pundakku. Sejujurnya, tubuh Mas Ias sangat berat dan sangat jauh perbandingannya dengan tubuh kurusku. Aku berusaha keras, menyeret lelaki itu masuk ke kamar.
Sesampainya di dekat ranjang, tenagaku terkuras habis. Alhasil, tubuhku terhuyung dan kami berdua pun jatuh ke ranjang. Mas Ias tepat di bawahku.
Jantungku berdetak kencang saat tangan Mas Ias merangkul pinggangku. Matanya mengerjap pelan, ia menatap sayu. Perlahan, tangannya naik mengelus punggungku. Desiran halus merambat ke seluruh tubuh bagai aliran listrik yang menyengat.
"E ... velyn." Lirih suara lelaki itu terucap, kemudian matanya terpejam rapat. Seketika itu juga, tangannya yang berada di atas punggungku pun terlepas.
Ada sengatan yang tidak bisa aku jabarkan dengan jelas. Sengatan tersebut membuat mataku memanas. Debaran yang tadi sempat aku rasakan, kini berubah seperti pacuan yang mengentak kesadaranku. Desiran yang mengalir ke seluruh tubuh, seketika itu juga berganti bagai ribuan jarum yang menusuk hingga ke dasar hati.
Aku menyeka buliran bening yang menitik di pipi. Tidak seharusnya aku menangis, sebab aku sendirilah yang memutuskan menerima pernikahan ini.
Tanganku secara perlahan terulur membanahi rambut Mas Ias yang acak-acakan. Jika di hari biasanya, lelaki itu terlihat selalu rapi. Kejadian hari ini, sukses membuatnya rapuh.
"Semoga kerapuhanmu tidak terlalu lama, Mas," kataku lirih. Lantas, aku pun bangun dan melepaskan satu persatu sepatu yang masih ia kenakan berikut kaus kakinya.
Aku mengangkat kaki Mas Ias ke atas ranjang, lalu membuka kemeja yang ia kenakan tertinggalah kaus putih yang melekat.
Tiba-tiba saja, Mas Ias bangkit dan memuntahkan isi perutnya mengenai pakaianku. Bau tidak sedak menguar di penjuru ruangan, sangat menyiksa indera penciumanku. Aku sampai harus menahan napas dan menutup hidung saat membersihkan muntahan itu.
Setelah melepaskan kaus Mas Ias, aku segera berganti pakaian. Beruntung kemeja Mas Ias tidak kena cipratan muntahannya. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengenakan kemejanya.
Ada rasa tidak nyaman saat harus menganakan pakaian yang terlalu pendek di hadapan seorang lelaki. Demi mengusir ketidaknayamanan ini, aku berganti pakaian mengenakan pakaian kurang bahan. Aku memilih gaun yang menutup sampai ke lutut, lalu melapisi dengan kemeja Mas Ias.
Setelah mengepel lantai, dan meminta pelayan hotel untuk laundry, aku pun beristirahat menyelimuti tubuh Mas Ias. Sementara, aku memilih untuk tidur di atas sofa panjang yang ada di dalam kamar.
Kurang beruntungnya diriku karena setelahnya aku justru tidak bisa terlelap. Padahal, berulang kali mulut ini menguap sampai mengeluarkan air mata.
Di atas ranjang, aku mendengar iguan Mas Ias yang memanggil nama Evelyn.
"Evelyn ...."
"Evelyn ...."
Beberapa menit kemudian, Mas Ias terbangun. Aku buru-buru mendekat.
"Mas butuh sesuatu?" tanyaku pelan berdiri di pinggir ranjang.
Mas Ias tampak tersentak kaget. "Ay ... ra. Maaf ... Mas mau minum. Haus," katanya tidak yakin dengan suara berat.
Aku bergegas memberikan segelas air putih. "Terima kasih," katanya yang aku balas dengan anggukan. "Ini jam berapa?"
"Mungkin jam 4an, Mas. Aku enggak tahu juga."
"Oh. Hmm, kamu tidur di mana?" Mas Ias menoleh ke kiri dan ke kanan.
"Oh, aku ...."
"Kamu tidur sini aja. Mas janji enggak akan apa-apain kamu, kok. Sini!" Mas Ias menepuk-nepuk sisi kosong di sampingnya.
Sejenak aku ragu. Namun, saat melihat wajah Mas Ias, aku pun mengangguk dan memutari ranjang, berbaring di samping Mas Ias.
Benar, Mas Ias tidak akan ngapa-ngapain aku. Dia sendiri yang meletakkan dua guling di antara kami sebagai pembatas. Dia juga memberikan selimut yang tadi dipakainya kepadaku.
"Mas aja yang pakai," tolakku halus.
"Mas enggak kedinginan, kok." Lantas, Mas Ias pun berbalik memunggungiku. Sementara aku tetap berbaring menghadap lelaki itu.
Saat aku melihat punggung Mas Ias yang naik turun secara teratur, aku pun bergerak menyelimuti tubuh itu. Walaupun ada pembatas di antara kami, setidaknya Mas Iaa tidak akan kedinginan malam ini.
Perlahan, mataku pun terpejam sampai lelap menghampiri.
Semoga saja, aku bisa bertemu dengan Mas Ias yang tersenyum walau hanya dalam mimpiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments