Pagiku

Aku pikir, kami akan berinteraksi dengan canggung pagi ini. Setelah

kejadian tadi malam, berlanjut dengan aku dan Mas Ias yang tidur berdua di

ranjang yang sama. Namun, dugaanku salah. Tampaknya, hanya diriku sendirian

yang merasa aneh. Pasalnya, ekspresi Mas Ias tampak biasa saja. Lelaki itu juga

menyapaku dengan sapaan yang ramah.

“Bagaimana tidur kamu semalam, Ayra? Apakah kamu tidur

nyenyak?” tanya Mas Ias. Ia tengah duduk di sofa, menikmati kopinya pagi ini.

Tadi, pelayan hotel sudah datang pagi-pagi sekali. Selain membawakan

menu sarapan, dia juga memberikan pakaian yang aku laundry tadi malam. Jadilah,

aku sudah mandi dan berganti dengan pakaianku sekarang ini. Tidak ada lagi

kemeja putih milik Mas Ias yang melekat di tubuh ini, tetapi herannya wangi

parfum bercampur keringat dan alkohol dari lelaki itu masih terhidu di indera

penciumanku.

“Ayra?” Suara Mas Ias kembali terdengar. Mungkin, karena

belum juga mendengar jawaban dari suaraku atas pertanyaan tadi.

Aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal, berdiri kikuk di

samping Mas Ias. Kepala lelaki itu menoleh, mendongak menatapku dengan kerutan

halus di dahinya.

“Iya, Mas? Mas sudah sarapan. Aku lapar.” Alih-alih menjawab

pertanyaan Mas Ias yang bingung harus aku jawab apa. Aku memilih mengalihkan

pembicaraan aneh ini ke topik yang lain.

“Oh, ini. Sarapannya sudah datang. Ada teh panas juga untuk

kamu. Minumlah!” Mas Ias menggser secangkir teh di atas meja ke arahku yang

kini duduk di sofa single di sampingnya.

“Terima kasih,” balasku lirih kemudian mengambil cangkir

tersebut dan menyeruput teh yang ternyata masih panas. Seketika aku

menyemburkan air dari mulutku.

“Pelan-pelan, Ayra. Tehnya baru saja diantarkan dan masih

panas.” Mas Ias menyodorkan lembaran tisu kepadaku yang langsung aku ambil.

Aku mengelap bibir dengan wajah memanas dan lidah yang

terasa terbakar. Lantas, beberapa saat kemudian Mas ias meletakkan cangkir di

tangannya ke atas meja, lalu beranjak dari duduknya. Lelaki  itu kembali dengan segelas air putih dan tanpa

sungkan langsung membantuku minum.

“Dinginkan lidah kamu yang terbakar itu.”

Aku menandaskan air di gelas itu, rasanya perutku langsung

terasa penuh. Kegugupan yang aku rasakan setiap kali berdekatan dengan Mas Ias,

selalu berhasil mengacaukan isi kepalaku sehingga menciptakan kecerobohan yang

tidak bisa aku elak.

“Makanlah! Setelah ini kita akan bicara,” ujar Mas Ian

kemudian masih dengan suara berat dan lembutnya.

Aku mengangguk patuh. Walaupun, terlalu banyak pertanyaan

dan pikiran yang bergelut di dalam kepalaku. Namun, melihat bagaimana Mas Ias

mulai menyuap sarapannya, aku tahu jika lelaki itu tidak akan mau menjawab

segala tanya dalam isi kepalaku ini.

Pada akhirnya, aku pun memasukkan sesuap demi sesuap sarapan

yang telah tersaji di atas meja. Aku memang butuh makan yang banyak karena

menghadapi kenyataan memang membutuhkan tenaga yang ekstra. Terlebih,

pembicaraan yang Mas Ias katakan tadi, mungkin aku butuh tenaga lebih untuk

memikirkannya.

Aku menumpuk piring kotor bekas kami makan, lalu menuangkan

air dari teko ke gelas yang tadi sempat disiapkan oleh Mas Ias. Mengingat setatusku

sekarang, seharusnya aku yang menyiapkan hal-hal kecil ini, tetapi justru kalah

cepat dengan pergerakan Mas Ias. Lelaki itu memang selalu unggul soal melayani

orang lain.

Aku yakin Mas Ias juga full servis terhadap Kak Evelyn. Rasanya,

sangat tidak wajar ketika wanita itu justru memilih pergi meninggalkan lelaki

sebaik Mas Ias di hari yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Aku

menggeleng berulang kali, menepis semua pikiran yang mulai semrawut.

“Ayra, bisa kita bicara sekarang?” Pertanyaan Mas Ias

mengalihkan tatapanku dari tumpukan piring kotor yang masih tergeletak di atas

meja. Sesaat aku bingung harus melakukan apa pada piring-piring itu. Haruskah

aku cuci terlebih dahulu sebelum diambil oleh petugas hotel? Atau aku akan

langsung memanggil pelayan?

“Kamu sudah siap, kan?” tanya Mas Ias lagi. Dia bersandar

pada sandara sofa dengan kaki yang terlipat dan kedua tangan yang saling

bertaut, bertumpu di atas lutut.

“Ya,” kataku singkat diiringi anggukan kepala.

Mas Ias berdeham sekali sebelum melanjutkan pembicaraan

kami. “Sekarang ... kita sudah sah menjadi suami istri.” Lantas, dia kedua

bahunya bergerak, seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. “Kamu sudah

menjadi tanggung jawab Mas Ias sekarang. Bukan lagi sekadar teman Ameera.”

Hening untuk beberapa saat. Aku sengaja diam, menunggu

kelanjutan setiap kalimat yang akan Mas Ias ucapkan. Di dalam dadaku, jantungku

sudah berdebar dengan tidak keruan. Namun, aku harus berusaha untuk tetap

menjaga ekspresi. Aku juga berdoa agar wajahku tidak serta merta memanas dengan

tidak tahu diri hanya karena telah diakui sebagai seorang istri oleh Mas Ias.

“Kamu tahu, kan, kalau pernikahan ini bukan sesuatu yang Mas

Ias dan kamu rencanakan. Jadi ... Mas juga akan berusaha untuk beradaptasi

dengan hubungan baru ini. Apa ... kamu tidak merasa aneh dengan status baru ini,

Ayra?”

Mati!

Aku memangguk. “Iya, Mas,” jawabku mendustai hatiku. Sebab,

di dasar hati ini telah lama mengingingkan status baru ini.

“Nah ....” Seperti menemukan oase di tengah padang pasir. Seperti

mendapatkan cahaya di tengah gelapnya yang tiada penerang. Wajah Mas Ias tampak

lebih lega dan becahaya. “Kita memang harus sama-sama saling beradaptasi dan

butuh secara pelan-pelan untuk menerima kenyataan ini. Dan, Mas Ias berterima

kasih sekali sama Ayra karena mau menolong Mas Ias dan keluarga dari rasa malu

ini.”

Aku menahan napas saat Mas Ias tersenyum padaku. “Makasih

ya, Ayra.”

“Sama-sama, Mas.” Aku berujar pelan. Walaupun dalam hati

menolak ucapan terima kasih itu, sebab aku merasa diuntungkan dengan takdir

ini.

Entah apa jadinya saat Mas Ias mengetahui jika aku selalu

berdoa agar bertemu dengan hari ini? Hari di mana aku dan Mas Ias dipersatukan

dalam pernikahan. Mungkin karena doaku yang kurang spesifik, aku tidak meminta

agar Tuhan mempersatukan kami dalam keadaan bahagia. Mas Ias putus dengan Kak

Evelyn kemudian berjodoh denganku, sehingga cara Tuhan mempersatukan kami

dengan cara seperti ini. Aku tidak pernah berpikir jika akan melihat Mas Ias yang

terluka seperti sekarang ini.

“Setelah dari sini. Mas Ias berencana agar kita langsung

pindah rumah—“

“Kenapa, Mas?” tanyaku secara spontan yang detik itu juga

aku sesali pertanyaan itu.

“Mas tidak ingin keluarga kita mengetahui hubungan yang

tidak normal ini. Ayra juga belum siap kalau kita sampai tidur sekamar lagi

seperti tadi malam bukan?” Mata Mas Ias menipit dengan tatapan lekat.

“Ya ... ya tentu saja aku belum siap, Mas. Rasanya sangat

aneh,” balasku kemudian yang dibalas dengan anggukan oleh Mas Ias.

“Nah, nanti kita langsung pamitan sama Pap dan Mama kalau

pindah rumah ke rumah yang sudah Mas Ias beli—“

“Rumah Kak Evelyn?” Seharusnya aku tidak bertanya karena

sudah pasti akan sakit hati.

“Ya. Tidak apa-apa, kan? Hanya itu yang ada.” Mas Ias

menjawab lirih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!