Hari Mengejutkan

Aku tahu, hari ini pasti akan tiba. Di mana, aku harus

menemani  Ameera ikut sibuk dalam

mempersiapkan pernikahan Mas Ias dan Evelyn.

Aku tahu, aku harus mempersiapkan hatiku di saat aku juga

akan ikutan sibuk. Entah sibuk dalam hal apa. Namun, yang jelas aku pasti akan

ikut andil dalam persiapan pernikahan ini.

Setiap hari, setiap mataku terbuka di waktu pagi, aku akan

mengatur napasku agar hatiku siap menerima kemungkinan terburuk akan patah

hati.

Cinta di dalam hati ini bukan hanya hitungan bulan. Bahkan,

aku telah memandam perasaan cinta sepihak ini bertahun-tahun lamanya.

Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Mas Ias. Kala itu,

aku masih mengenakan seragam putih dan biru. Tepatnya, saat aku berusia tiga

belas tahun. Untuk pertama kali, aku menginjakkan kaki di rumah besar keluarga

Jarvas.

Benarlah adanya gosip yang beredar itu ... bahwa keluarga

Jarvas adalah keluarga yang sangat kaya raya. Dan, brnar pula adanya bahwa

mereka adalah orang yang ramah lagi baik.  Dulu, aku tidak pernah menyangka jika bisa berteman akrab d engan Ameera

Jarvas, putri bungsu keluarga tersebut.

Memang, kala itu aku sempat menduga jika Ameera adalah anak

keturunan orang kaya. Dia selalu diantar jemput menggunakan mobil yang terlihat

keren nan mewah. Dan, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan kakaknya. Pada pandangan

pertama aku telah merasakan hal yang berbeda.

Adya Qias Jarvas telah berhasil mengenalkan kepadaku untuk

pertama kalinya perasaan berdesir halus dari dalam dadaku sampai mengalir ke

seluruh tubuh.  Aku ingat, kala itu aku

bahkan memegangi dada sebelah kiri saking debaran jantungku yang terus-terusan

menggila. Rasanya, aku terkena serangan jantung. Terlebih saat Mas Ias menyapa

dengan senyum ramah dan suara yang berat nan lembut.

Ya Tuhan! Saat mengingat peristiwa itu lagi pun, setelah

sekian tahun lamanya, jantung ini masih saja berdebar kencang.

Untuk pertama kalinya, aku mengenal cinta pertama. Untuk

pertama kalinya seorang Ayra menatap dengan wajah memanas, dan Mas Ias pula

yang mengenalkan aku semua rasa. Baik itu rasa cemburu, rasa kesal, rasa marah

dan rasa merelakan. S ampai pada akhirnya, aku menyadari bahwa mencintai adalah

di saat aku pun bahagia melia orang yang dicintai bahagia.

Benar kata Ameera bahwa aku adalah si budak cinta yang terus

bertahan dengan perasaan yang tidak terbalaskan. Boro-boro  akan terbalaskan, aku bahkan sangsi jika Mas

Ias tahu dengan perasaanku yang sebenarnya terhadapnya itu. Mungkin, dia bahkan

tidak pernah melihatku sebagai seorang wanita dewasa yang layak untuk

dicintai.  Aku hanya seorang gadis kecil

teman adik perempuannya. Huft!

Sejak aku menyadari perasaanku terhadap Mas Ias, saat itu

pula aku memutuskan untuk memberikannhadiah di setiap ulang tahunnya. Aku sampai

rela menabung d emi mendapatkan hadiah yang pantas untuknya.

Kata Ameera, orang akan dengan mudah membaca gelagatku yang

jatuh cinta kepada Mas Ias. Namun, dia juga bilang kalau tidak akan mungkin Mas

Ias tidak mengetahui perasaanku terhadapnya. Pasalnya, aku begitu

terang-terangan.

“Aku yakin Mas Ias tahu. Bodoh banget kalau sampai Mas Ias

enggak tahu, Ra. Cuma, Mas Ias aja yang enggak mau merusak hubungan kita. Kamu

sahabatku, d an aku adalah a diknya. Sesimpel itu. Akan sangat aneh kalau

tiba-tiba s aja, kamu jadi kakak iparku bukan?”

Itu adalah pembicaraan antara aku dan Ameera saat kami telah

berseragam putih abu-abu. Aku sering frustrasi kala itu. Terlebih saat aku

harus melihat bagaimana hubungan antara Mas Ias dan Kak Evelyn yang semakin

menjadi. Keduanya sepakat untuk berpacaran dan menjalin hubungan yang serius.

Lewat Ameera pula, aku tahu bagaimana Mas Ias sangat

mencinta Kak Evelyn. Ya, tentu saja. Siapa, sih, yang enggak bakalan tertarik

dan jatuh cinta dengan Kak Evelyn yang super cantik, menawan dan ramah itu.

Mereka adalah pasangan yang serasi. Aku yakin, saat mereka menikah nanti, anak

mereka akan menjadi anak yang sangat sempurna.

“Ra, kita jadi pakai gaun seragam, kan?” Pertanyaan Ameera

seketika membuyarkan ingatan randomku. Mata wanita itu menyipit, seperti tengah

menelisik sesuatu. “Ingat ... kamu dan aku jadi pendamping pengantin perempuan,

lho!” lanjutnya penuh penekanan.

Aku hanya mengangguk setuju. Ini sudah menjadi permintaan

spesial dari calon pengantin wanita. Seperti yang sudah aku katakan bahwa aku

akan bahagia jika Mas Ias bahagia. Dan, sepertinya perjuanganku untuk tidak

menghancurkan diriku sendiri akan lebih sulit.

Hari pernikahan yang semakin dekat, semakin meremukkan

hatiku. Aku tidak lagi nyaman memejamkan mata di malam hari. Aku juga tidak

lagi semangat membuka mata di pagi hari. Namun, aku harus sadar di mana

tempatku berada.

Seperti yang dikatakan Kak Evelyn waktu itu. Saat aku

diundang merayakan ulang tahun Mas Ias yang ke dua puluh delapan tahun. Hari ulang

tahun Mas Ias bertepatan dengan hari jadi mereka menjadi sepasang kekasih.

Aku memberikan kado untuk mereka berdua. Sebuah lukisan

senja di sore hari, dengan seorang wanita yang duduk dii pinggiran pantai.

“Ini kado yang indah,” kata Kak Evelyn. “Aku tahu, kamu akan

sangat sadar di mana posisimu berada,” bisiknya kemudian.

Ya, kado itu memang menggambarkan bagaimana diriku berada.

Aku adalah seorang wanita yang hanya bisa menatap langit sore dari kejauhan. Aku

tidak akan mampu menyebarangi pantai yang luas dengan gelombang yang tinggi.

Aku pun hanya mampu bertahan dari kejauhan menikmati pemandangan indah itu dari

tempatku berada. Langit sore dengan warna jingga itu adalah perpaduan Mas Ias

dan Kak Eveleyn.

Suara dering ponselku di nakas terus berbunyi dari tadi. Aku

baru saja keluar dari kamar mandi. Hari ini adalah hari bersejarah. Hari di

mana aku harus merelakan hatiku sepenuhnya untuk hancur dan harus aku benahi

sendiri.

“Iya ... iya, aku sebentar lagi datang,” kataku sebelum

Ameera yang mengeluarkan kata.

“Oke.” Satu kata singkat cukup membuatku mengerti bahwa aku

harus segera bersiap.

Tidak ingin membuang waktu lagi, tidak pula ingin Ameera

semakin kesal. Aku bergegas bersiap-siap. “Ma, Pa, aku berangkat duluan ya.

Ameera udah sibuk banget teleponin terus. Sampai jumpa di gedung ya,” kataku

sambil mencium pipi kekdua orang tuaku secara bergantian.

Setengah jam kemudian, aku telah sampai di gedung. Benar saja,

Ameera sudah siap menghadangku di parkiran.

“Gila banget tahu enggak?” sembur Ameera dengan wajah kesal.

“Ya, sorry. Aku juga butuh mempersiapkan diri, Meera,”

kataku sungguh-sungguh.

“Kak Evelyn enggak bisa dihubungi dari semalam. Mas Ias udah

putus asa. Aku enggak pernah lihat dia sekalut ini. Tadi pagi dia sudah mau

pergi jemput Kak Evelyn secara langsung, tapi Papa larang. Nah, pagi ini ...

nomor Kak Evelyn belum juga bisa dihubungi. Terus, ini barusan Mas Ias dapat

pesan singkat kalau Kak Evelyn mau batalin pernikahan mereka.”

Penjelasan panjang lebar Ameera membuat aku syok. Lebih syok

lagi saat Pap Rafe dan Mam Medina datang menghampiriku. Mereka mengajakku ke

ruang ganti pengantin laki-laki.

Aku sangat terpukul saat melihat Mas Ias yang tertunduk

dalam dengan kedua tangan yang mengepal erat. Sekarang hanya tinggal kami

berdua. Sampai beberapa menit berlalu, tidak ada kalimat yang keluar di antara

kami. Aku juga bingung bagaimana cara menenangkan lelaki itu.

“Ayra ....” Suara Mas Ias akhirnya terdengar, begitu berat

dan sarat akan kesedihan. “Kamu mau enggak kalau jadi pengantinnya Mas Ias hari

ini?” tanya lelaki itu dengan sorot terluka.

Dan, entah setan dari mana yang kini merasukiku. Kepalaku begitu

saja mengangguk. Namun, bukan kebahagiaan yang aku rasakan saat ini, melainkan

kehancuran hatiku ketika Mas Ias mengucapkan kata ‘maaf’ berulang kali.

Aku tahu, Mas Ias tidak menginginkan pernikahan kami.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!