Bab 4

Pukul 14.00 WIB,

Matahari bersinar cerah di Desa Suka Warna.

Hari Jum'at. Mila Asyari pulang lebih cepat dari hari-hari biasanya. Suasana Puskesmas sudah terlihat sangat sepi. Perempuan itu tengah berada diatas sepeda motor hendak bersiap pulang.

"Mau cari kerja sampingan, tapi dimana? Kasihan mbak Wita. Belakangan penjualan skincare dan Body wash nya menurun. Aku harus cari usaha sampingan lain. Buat bantu perobatan ibu?" gumam Mila.

Sepanjang perjalanan. Mila melihat beberapa petani beramai-ramai berkumpul di depan posko yang dihiasi papan-papan iklan bertuliskan;

"Program Tani unggulan membangun maju desa Suka Warna bersama Bagas dan Yoga!"

Foto kedua pria itu terpampang jelas dengan senyuman yang tampan dan menawan.

Tanpa terasa, Mila tiba di rumahnya dan memarkirkan sepeda motor dengan rapi.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam!"

Jawab Wita sedang sibuk membungkus paketan skincare usaha yang baru dia rintis.

Mila duduk masih dengan seragam kerjanya. Tertegun memandangi Wita dan bergumam dalam hati;

"Kasihan si Mbak. Sejak kepergian Bapak, ia menjadi tulang punggung kami. Bekerja keras mencari usaha harian. Mulai dari catering pesanan hajatan, jualan dan berkebun sayur di pekarangan belakang."

"Alhamdulillah ada pesanan. Mba coba-coba posting di Instagram!" senyum bahagia Wita menatap Mila.

"Oh!" Jawab singkat Mila tidak banyak berkomentar.

"Ada apa?" Wita memperhatikan wajah lesu adiknya.

"Beberapa Minggu ini, warga desa sedang heboh-hebohnya membicarakan program Tani Mas Yoga dan Mas Bagas. Dua pria yang dulu dihina habis-habisan oleh Bapak. Kini sangat sukses dan berjaya!" celoteh lambat Mila dalam tatapan yang jauh ke masa lalu.

"Yah, itulah nasib, siapa yang sangka!" komentar singkat Wita tetap asyik membungkus rapi dagangannya.

Mila bangkit menghampiri Wita lalu berbisik manja ditelinga kakaknya.

"Mas Yoga itu yang dulu suka banget memperhatikan mbak dan kabarnya sampai sekarang dia masih lajang. Hihi!" Mila langsung kabur menuju kamarnya.

Wita hanya bersikap dingin. Tidak merespon celotehan genit adiknya sampai Mila kembali keluar dari kamar dengan pakaian rumahan.

"Cie, sepertinya masih ada peluang!" Mila kembali menggoda Wita.

"Mila, itu tidak benar, kamu jangan ngomong sembarangan. kalau orang lain dengar, bisa jadi salah paham. Apalagi sekarang, Mas Yoga itu sudah menjadi orang terpandang di desa ini. Memangnya kenapa, kalau dulu Mas Yoga sering memperhatikan aku, apa ada yang salah? Bapak saja yang terlalu berlebihan!" Jawab kesal Wita.

"Karena dua bola mata si mbak itu , membalas tatapan Mas Yoga sangat berbeda. Kalau balasan tatapan kakak biasa saja. Mas Yoga tidak mungkin diperlakukan sangat kasar oleh Bapak. Cinta itu tidak bisa ber-dus-ta, Hihi!"

"iii, Mila!" Celetuk Wita begitu kesal.

Wita mengejar gemes adiknya. Kedua perempuan bersaudara itu berlari-larian dengan riang. Fenomena kebahagiaan yang begitu sederhana.

Ditengah keceriaan mereka. Terdengar suara memanggil dari seseorang di pintu utama.

"Assalamualaikum, Witaaa...Milaaa."

"Eh, siapa itu!" Wita berlari mendapati tamu yang datang.

"Oh! Bu Dewi!" senyum manis Wita.

Tetangga depan yang hanya berjarak dua rumah dari pekarangan Heru.

"Mari duduk Bu!" Ajak Wita dalam sambutan hangatnya. Tidak berapa lama, Mila ikut duduk bersama mereka.

Kematian Heru, perceraian. Membuat Wita dan Mila lebih banyak berdiam diri di rumah. Karena kedua wanita itu sering menjadi pusat bahan gossip yang buruk oleh perempuan-perempuan di desa.

Kebanyakan dari mereka, bahagia atas kesulitan hidup yang menimpa putri-putri Heru Susanto serta rasa iri karena paras cantik dan akhlak mereka masih menjadi idaman pria di desa itu.

"Ada apa yah Bu Dewi?" tanya Wita penasaran.

"Sekarang, di desa kita kan ada program unggulan Tani dari Yoga dan Bagas. Dua hari lagi, seluruh para petani di desa ini akan mendapatkan bibit unggul berkualitas dan pupuk secara gratis plus tehnik-tehnik menggunakan alat tekhnologi canggih. Apalah namanya. Ibu kurang paham itu."

"Oh, Alhamdulillah!" ucap serentak Wita dan Mila ikut berbahagia.

"Kalau kalian mau ikut. Ayo segera daftar ke balai desa. Jangan lupa bawa KTP dan Kartu keluarga!" ajak Dewi terlihat bersemangat.

"Sebelumnya terima kasih banyak yah Bu atas informasinya. Tapi sekarang ini, lahan Bapak kan sudah tidak banyak lagi. Selain itu selalu saja gagal panen. Jadi kami memilih dikontrakkan saja. Saya dan Mila juga tidak sempat untuk mengolahnya. Di tambah lagi pekerja lahan dan agen suka berbohong kepada kami terhadap hasilnya," keluh Wita.

"Dan yang membuat aku malas, mereka suka genit bersikap tidak sopan terhadap aku dan Mila!" batin menggerutu Wita menunduk sedih.

"Aduh...Sayang sekali yah! Kalau disewa, harganya sangat murah. Itulah karena mungkin Bapak kalian sudah meninggal. orang lain menjadi semena-mena dan ditambah lagi tidak ada pria di rumah ini, sehingga kalian kesulitan!" komentar Polos Dewi.

"Iyah Bu, tapi tidak apa-apa!" jawab lembut Wita. Mila hanya terdiam menyimak obrolan itu dengan jelas.

"dan...kedatangan ibu kesini juga mau pamitan kepada kalian?"

"Pamitan?" Wita dan Mila sontak terkejut.

"Ibu mau pindah. Alhamdulillah Bapak terpilih oleh Yoga menjadi ketua regu pengurus Tani unggulan di desa ini, jadi kami pindah ke ujung dekat lahan. Pindah sedikit saja, kita masih satu desa kok, Hehehehe!" tawa sumringah Dewi.

"Jadi rumah Bu Dewi?" tanya Mila begitu penasaran.

"Hehehehe. Rumah Ibu itu sudah dibeli oleh Yoga dengan harga tinggi dan mulai besok para tukang akan bangun rumah itu dengan rumah yang cantik."

"Sudah dibeli Mas Yoga?" ucap serentak Wita dan Mila begitu terkejut dan saling berpandangan.

"Bukan itu saja. Yoga dan Bagas sudah membeli sawit dan karet 20 hektar di desa kita. Belum lagi sawah dan ladang. Siapa saja yang mau jual sawah, pasti langsung dibeli oleh si Yoga!"

Wita dan Mila sempat melompong mendengar ocehan dari tetangga mereka itu. Keduanya merasa tidak percaya.

"Terkejut kalian kan! Di desa ini sekarang yang memegang kekuasaan itu Bagas dan Yoga tapi mereka enggak sombong dan pelit seperti Bapak kalian dulu. Justru sekarang mereka ingin membangun perekonomian desa kita, mensejahterakan para petani. Yoga akan menetap di kampung ini sedangkan Bagas tetap di Jakarta karena Bagas sudah menikah dan masih banyak usaha lain yang harus dia kerjakan. Si Yoga Kuli Bapak kalian dulu, yang paling miskin itu, sekarang sudah sangat hebat, kaya raya, kerjanya keliling kota bahkan ke luar negeri. Adiknya sekarang kuliah di Malaysia, tapi sayang, Bapak dan Ibunya sudah meninggal."

Wita dan Mila hanya terdiam mendengarkan celotehan pujian Dewi yang begitu heboh dan bersemangat terhadap dua pemuda yang sudah berhasil itu. Nama Yoga dan Bagas begitu viral dan penuh pujian membanggakan dari para warga di desa Suka Warna.

"Aneh? Begitu banyaknya rumah di desa ini. kenapa Mas Yoga harus membeli rumah Bu Dewi sampai menggeser keluarga Bu Dewi ke ujung lahan. Seharusnya Mas Yoga lah yang lebih cocok tinggal di ujung lahan karena disana tempat tinggal dia dulu sekaligus dekat bersama posko-posko para Petani" gumam Mila bertanya-tanya setelah mereka berpelukan kecil dengan Dewi sebagai salam perpisahan tetangga.

Terpopuler

Comments

Kᵝ⃟ᴸ🤡

Kᵝ⃟ᴸ🤡

wah yoga masih tungguin mila ya

2024-07-14

3

bulan5

bulan5

mau deket ke kalian mungkin?!

2024-05-19

0

bulan5

bulan5

menyedihkan sekaligus miris 😶

2024-05-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!