Bab 5

Satu Bulan telah berlalu.

Progres pembangunan program pangan milik Yoga Hardian dan Bagas Angkara telah berjalan 50% di desa Suka Warna.

Yoga Hardian merupakan founder dari proyek tersebut sedangkan Bagas adalah Owner pendukung program Yoga dan sudah berhasil mendirikan sebuah kantor di Jakarta pusat bernama Future Food.

Terlihat Yoga sedang memberikan penjelasan detail tentang progres kerja pangan di desa Suka Warna mulai hari itu hingga target yang diinginkan.

Ada 10 investor yang ikut bergabung dengan proyek pangan Yoga Hardian.

Investor-investor tidak hanya berasal dari Indonesia melainkan dari Thailand, Singapura bahkan Australia.

Setelah rapat penting itu selesai dan berjalan dengan sukses. Bagas menemani Yoga berbelanja di Mall untuk membeli keperluan Yoga selama menetap di Desa.

"Mas. Gimana kalau berangkat ke desa setelah Tyas melahirkan saja?" pinta Bagas dengan raut wajah yang sedikit kusut.

Kedekatan keduanya sudah seperti Abang beradik. Bagas hanya memiliki seorang kakak perempuan yang sudah berkeluarga dan tinggal menetap di desa, sebagai penerus usaha keluarga mereka yaitu home industri pembuatan selendang. Sejak usia 10 tahun. Bagas sudah tidak memiliki seorang Ayah.

"Apa kalian bertengkar lagi?" Tanya Yoga yang tanpa sengaja beberapa kali sudah mendengar pertengkaran-pertengkaran Bagas dengan Tyas.

"Entahlah! Aku capek banget Mas. Tyas selalu saja menuduh ku jika aku ini memiliki simpanan wanita lain di luar. Rasanya tidak ingin pulang ke rumah! Aku juga tidak mengerti. Kenapa dia tidak suka dengan program pembangunan lahan di desa. Bahkan dia suka ngomel jika aku memberikan perhatian lebih dengan ibuku. Padahal semua keinginan dan kebutuhannya sudah aku penuhi," keluhan Bagas tentang rumah tangganya semakin hari semakin tidak memberikan kenyamanan.

"Huuuft!" tarikan nafas kelelahan Bagas.

"Kenapa wanita itu menyebalkan!" gerutunya.

"Bagas! Jangan terlalu dipikirkan, kamu sabar saja, mungkin itu pengaruh dari kehamilan Tyas!" ucap Yoga memberikan semangat kepada Bagas.

"Baiklah, Mas!"

"Ok! Mas akan pulang kampung setelah Tyas melahirkan!" ucap Yoga tidak tega melihat Bagas.

"Terima kasih banyak ya Mas!" senyum sumringah Bagas merasa lega.

Tiba-tiba kedua bola mata Yoga tertuju kepada suatu benda di pusat perbelanjaan itu.

"Yes, ini yang aku cari!" batin Yoga berjalan cepat mendapati sebuah teropong yang bisa melihat jelas benda kecil dari jarak yang jauh.

Pria itu begitu fokus memilah dan memperhatikan spesifikasi teropong satu per satu agar mendapatkan teropong yang paling sesuai dengan keinginannya.

"Teropong, buat apa Mas?" Tanya Bagas penasaran.

"Rasanya Jika malam hari begitu nyaman melihat suasana desa dari atas Balkon lantai dua!" ucap santai Yoga.

"Melihat suasana desa?" Bagas merasa aneh dengan jawaban Yoga.

"Rumah yang baru, rumah yang lama kan?Tidak jauh dari kebun lahan dan pematang sawah," celoteh Bagas.

"Bukan!"

"Terus, dimana?" tanya Bagas yang belum mengetahui letak rumah baru Yoga di desa.

"Nanti kamu juga akan tau, dimana rumahku yang baru," senyum manis Yoga menepuk lembut pundak Bagas lalu menenteng keranjang belanjaannya menuju kasir.

Setelah berbelanja. Kedua pria itu kembali pulang dan Bagas tidak mempermasalahkan soal teropong yang dibeli oleh Yoga. Bagas berpikir jika Yoga memang terkadang memerlukan teropong untuk memantau para pekerja dari kejauhan.

Hari terus berganti.

Pagi yang sejuk. Udara yang sangat segar di Desa Suka Warna. Desa Indah dikelilingi oleh hamparan pematang sawah sejauh mata memandang serta lahan perkebunan baik milik perorangan maupun pemerintah yang luasnya mencapai puluhan hektar.

Seperti biasanya. Pagi itu Mila bersiap-siap hendak berangkat bekerja.

Saat sedang memanaskan sepeda motor. Kedua bola mata Mila menyoroti detail rumah baru milik Yoga Hardian dari bawah sampai atas. Perempuan itu baru menyadari jika Rumah Bu Dewi yang dulu telah berubah menjadi mini istana.

Rumah Yoga memiliki disain bangunan dan disain interior kekinian dari bahan berkualitas. Membuat siapa saja yang melihatnya langsung terpikat. Rumah Yoga rumah kedua termewah, tercantik di desa itu setelah rumah orang tua Bagas. 5 tahun yang lalu rumah Heru Susanto menjadi rumah paling mewah di desa namun seiring waktu berjalan kehidupan berganti disaat rumah-rumah warga desa sudah banyak yang cantik. rumah Heru justru menjadi rumah yang terlihat buruk dan jadul.

"Masya Allah rumahnya bagus banget!" puji Mila sampai termehek-mehek memandanginya.

"Uuh. Hanya wanita beruntung yang mendapatkan pria seperti Mas Yoga, tinggal duduk, tinggal nyantai tinggal selonjoran. Pantas saja perempuan-perempuan desa tidak sabar menunggu kedatangannya dan menjadi pusat perbincangan karena ia masih single!" gumam Mila.

"Mila!" Tegur Wita.

"Eh, sini deh mbak!" Mila reflek menarik tangan Wita.

"Mila yakin, disain rumah Mas Yoga pasti mengunakan desainer profesional terkenal, rumahnya keren banget!" puji senang Mila. Ada pemandangan rumah estetik baru di desa mereka.

"Alhamdulillah, rezekinya Mas Yoga. Mila, mba mau bicara sama kamu!" Wita balik menarik tangan Mila. Rumah keren Yoga tidak ada dalam list pikiran Wita.

"Tunggu-tunggu. Mila matikan motor dulu sebentar yah!"

Mila masuk dan duduk menghadap Wita.

"Ada apa sih mbak! Mila mau berangkat kerja. ini sudah hampir telat!"

"Hari ini tidak masalah kamu terlambat!" ucap Wita.

"Tapi nanti tidak dapat uang sarapan!"

"Nanti mbak ganti!" Jawab cepat Wita.

"Ada apa?" tanya Mila.

"Calon pembeli kilang Bapak kemarin batal membelinya. Alasannya karena mereka lebih memilih membangun sendiri," ucap pupus Wita.

"Tidak jadi ya!" Mila mulai berpikir.

"Mila. Mbak mau izin ke kamu, setiap pukul 1 siang, Mbak mau kerja ke desa seberang?"

"Kerja apa?" tanya Mila penasaran dan terlihat senang.

Wita tampak ragu mengatakannya.

"Cuci gosok. Ada tiga rumah!" jawab Wita.

"Cuci gosok?" raut wajah Mila seketika berubah buruk mendengar ucapan Wita.

"Gajinya lumayan Mil. Bisa dapat 3 juta perbulan," jawab semangat Wita.

"Tidak!" Jawab tegas Mila.

"Kenapa?"

"Apapun Alasannya? Jawabnya tetap tidak! Jangan coba-coba mbak mengambil pekerjaan itu. Mila berangkat dulu."

Wita berdiri cepat menarik tangan Mila.

"Kenapa, kamu malu? Mbak mu ini menjadi tukang cuci gosok di rumah orang?"

Mila terdiam masam menatap sang kakak.

"Kamu sama seperti Bapak. Kebesaran gengsi! Seharusnya kamu sadar Mila, tidak ada lagi gengsi diantara kita. Kita ini sudah hidup melarat. Ibu tidak mau dioperasi juga tidak mau di kemo. Ibu hanya mau minum pil obat cina saja. Kakak harus mengeluarkan uang 5 juta per bulan untuk beli obat ibu. Apakah kamu masih berpikir tentang gengsi!" ucap tegas Wita.

"Huuuft!" Tarikan nafas lelah Mila masih menatap wajah kakaknya.

"Kalau mbak kerja? Siapa yang jaga ibu, siapa yang jaga Alika (putri tunggal Wita)"

"Yah kamu harus bantu mbak! Kita kerja sama," hentak Wita mulai emosi kepada Mila.

"Apapun alasannya. Mila tidak pernah setuju, titik!" ucap tegas Mila menantang Wita.

"Kalau begitu kamu cari uang lebih!" ucap geram Wita kepada Adiknya.

"Ok, Mila akan cari uang?" Perempuan itu pergi dengan cepat menggunakan sepeda motornya.

Wita hanya terduduk lesu menunduk dan menangis, seraya berkata;

"Ya Allah. Berikanlah aku kekuatan untuk menjalani ujian demi ujian yang Engkau berikan!"

Wita semakin hancur setelah ia mendapatkan pesan singkat dari Reno si mantan suaminya;

"Wit, Mas minta maaf. Tidak bisa lagi memberikan uang bulanan buat Alika karena sekarang ini keuangan Mas juga tergantung dengan Shelia (istri baru Reno)"

Terpopuler

Comments

Kᵝ⃟ᴸ🤡

Kᵝ⃟ᴸ🤡

uhuuk ada yang belum bisa moveon

2024-07-14

2

bulan1

bulan1

bapak lupa sama anaknya, dih...

2024-05-19

0

bulan5

bulan5

hmm...teropong buat ngeliat mantan dr jauh ya, biar keras deket wkwkwk

2024-05-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!