Sebuah mobil Audi hitam berhenti di pelataran mansion. Dua orang lelaki tampan ke luar dari dalam mobil.
Mereka adalah Darian Mahesa Avalon dan asistennya yang bernama Alvino Narendra.
Kacamata hitam bertengger manis di hidung mancung Darian. Rahang tegas dan badan proporsional menambah kesan dewasa dan manly. Definisi pria matang memang cocok disematkan untuk Darian.
Keduanya berjalan menuju pintu mansion yang terbuka. Memasuki istana megah itu dengan langkah tegas dan wajah yang begitu dingin tak tersentuh.
Darian melihat semua anggota keluarganya sedang duduk di ruang tamu. Mereka seperti sedang terlibat sebuah perdebatan sengit.
“Apa ini penyambutan kalian para orang tua?” tegur Darian dengan suara rendah dan menyindir.
Mereka serempak menoleh ke asal suara. “Darian?”
Mommy Bella segera menghambur ke pelukan putra tersayangnya. Darian membalas pelukan mommynya tidak kalah erat. Rasa rindu yang ditahannya serasa melebur begitu saja.
“Jangan lama-lama memeluknya. Kamu bukan bocah lagi. Sudah saatnya cari istri. Pergi sana!”
Daddy Darian melepas paksa pelukan ibu dan anak itu. Ia selalu cemburu melihat anaknya yang masih saja bermanja dengan sang istri. Padahal dari segi umur dan badan sudah pantas untuk mencetak anak sendiri.
Sudah bosan sekali Darian melihat tingkah daddynya. Padahal ia juga anak kandungnya sendiri. Rasa cemburunya itu benar-benar tidak masuk akal.
Tanpa memperdulikan suaminya. Mommy Bella membawa Darian menuju ruang makan. Setelah, meminta suami dan sang mertua untuk segera menuju ke meja makan juga.
Suasana makan siang itu begitu khidmat. Obrolan ringan tercipta dengan santai di antara semua anggota keluarga.
Table manner memang penting bagi golongan konglomerat seperti mereka. Akan tetapi, bagi keluarga Avalon, membangun suasana hangat ketika berkumpul dengan keluarga inti itu sangat berharga. Mengingat kesibukan mereka sebagai pengusaha yang menyita banyak waktu.
Selesai makan siang. Kakek William meminta Darian untuk menuju ruang kerjanya. Ada beberapa hal yang ingin disampaikan.
*
*
“Ada apa, Kek?” tanya Darian. Ia duduk di salah satu sofa yang ada di ruang kerja kakeknya.
Pandangannya lurus menatap ke arah lawan bicaranya yang duduk di depannya. Sorot mata yang tajam menjadi ciri khas untuk pengusaha muda itu.
Kakek William tersenyum melihat perubahan sang cucu. Ia bangga dengan kemajuan perusahaan yang sangat pesat, ketika berada di tangan Darian.
Ia memberikan sedikit arahan untuk Darian. Ini berhubungan dengan posisinya besok yang akan diresmikan sebagai CEO di perusahaan pusat.
Sudah cukup lelah ia di usia tuanya jika harus aktif mengurus seluk beluk perusahaan. Yang diharapkannya saat ini adalah bisa menimang cicit dari Darian.
“Semua harta warisan akan Kakek berikan ke tangan kamu. Asal dengan satu syarat. Berikan cucu menantu secepatnya!”
Darian mengangkat satu alisnya. Seringai meremehkan terlukis indah di sudut bibir pria tampan itu.
Ia tidak sebodoh itu. Selama jauh dari keluarganya. Darian punya beberapa sumber penghasilan yang akan membuatnya tetap kaya. Salah satunya perusahaan IT yang berpusat di Amerika.
Tanpa harta warisan pun. Ia akan tetap berdiri kokoh di kakinya sendiri. Soal wanita? Ah, itu bukan prioritas yang penting bagi Darian. Hatinya masih belum berhasrat dengan makhluk yang satu itu.
“Aku tidak butuh warisanmu, Kakek. Jadi, jangan berharap dapat cucu menantu secepatnya dariku.”
Ia berdiri dan pergi meninggalkan kakeknya. Melihat kepergian Darian. Membuat Kakek William tersenyum kecut.
“Pasti gara-gara gadis itu,” cicit sang kakek sambil menghela napas pasrah.
*
*
Benturan sepatu pantofel dan lantai menggema di sepanjang lobi perusahaan. Kedatangan Darian disambut seluruh karyawan perusahaan yang berjejer rapi di sepanjang jalan yang dilewati sang CEO.
Mereka menundukkan kepalanya. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah bos baru mereka. Paras yang sempurna mengundang decak kagum para karyawan wanita. Kecuali, Elena.
Ketika sang CEO sudah memasuki lift khusus. Mereka membubarkan diri dan saling melontarkan pujian untuk bosnya itu.
“Oh my ... my. Pak Darian benar-benar idaman para ciwi-ciwi. Iya, ‘kan, El?”
Naya menaik turunkan kedua alisnya dengan maksud menggoda sang sahabat. Akan tetapi, itu sama sekali tidak berpengaruh untuk Elena.
“Aish … dasar Putri Es! Untung cantik,” gerutu Naya. Ia berjalan cepat menyusul langkah Elena.
*
*
Akhirnya, jam makan siang pun tiba. Segala aktivitas berhenti sejenak untuk memberikan ruang para karyawan memulihkan energi yang terkuras sejak pagi.
Elena beserta teman satu divisinya berjalan menuju kantin perusahaan. Berbagai makanan berkualitas sudah tersedia di sana.
Mereka memesan makanan masing-masing dan mengambil tempat duduk yang dekat dengan jendela.
Terlihat cuaca di luar sedikit mendung disertai dengan rintik-rintik hujan. Membuat suasana hati Elena menjadi sedikit memburuk.
“Aku membenci hujan,” batin Elena
Mereka menikmati makan siangnya dengan diselingi berbagai macam obrolan random.
“El, emangnya bener kamu gak pernah pacaran?” celetuk salah satu teman divisinya yang bernama Mira.
“Hmm,” dehem Elena. Dia sudah terbiasa dengan gosip yang menyebar di perusahaan tentang dirinya yang dikira seorang lesbi.
“Aduh … El. Perawan tua bersegel dong kamu. Zaman sekarang itu jangan jual mahal kalau cari pasangan. Lihat deh akibatnya. Sampai sekarang kamu masih jadi jomblo karatan.”
Mira dan teman di sebelahnya tertawa terbahak-bahak. Dua orang itu memang selalu tidak menyukai Elena sejak dulu. Entah apa alasannya. Hanya mereka berdua yang tahu.
Elena menghentikan suapan makannya dan menatap ke arah mereka berdua sambil tersenyum sinis.
“Ya, karena aku orang yang mahal. Tidak seperti seseorang yang rela melemparkan tubuhnya di atas ranjang demi sebuah status dan pengakuan. Bukankah zaman sekarang banyak perempuan gatal berlapis baju mahal. Bukankah begitu, Nona Mira?”
Suasana menjadi hening. Teman yang lainnya hanya bungkam dan fokus melanjutkan makan. Mira yang merasa tersindir hanya diam menahan kekesalannya tanpa membalasnya lagi.
Bukan rahasia lagi. Bagaimana perangai Mira yang sudah terkenal buruk di perusahaan sebagai wanita penggoda para atasan.
Sementara itu, mommy Bella membawakan bekal makan siang untuk putra tercintanya.
“Yuhuu sayangnya, Mommy. Ini makan siang untuk kamu. Jangan lupa dimakan ya.”
Mommy Bella meletakkan satu bekal makan siang di atas meja dan menatanya. Lalu, matanya melihat Darian dengan binar mata yang begitu bahagia.
Darian berjalan mendekat dan duduk di sebelah mommy nya. Menerima suapan demi suapan dari orang yang telah melahirkannya itu.
“Son, harusnya ini tuh tugasnya istri, bukan mommy lagi. Cepatlah kamu cari kemana gitu! Jangan cuma kerja aja. Apa jangan-jangan pesonamu sudah luntur, Boy?” selidik mommy Bella.
Ia menelisik sang putra dari atas sampai bawah.
“Oh my … Mom. Putramu ini masih tetap mempesona, Oke,” jawab Darian sedikit jengkel.
“Iya juga sih. Kamu masih sangat tampan, tapi kenapa gak ada satu wanita pun yang terjerat pesonamu ya? Wah, ini gawat, pasti ada yang sengaja menutup auramu, Son. Kamu harus segera mandi kembang tujuh rupa.”
Mommy Bella keluar dari ruangan Darian dengan tergesa-gesa. Ia akan mengajak suaminya untuk mencari orang pintar.
“Oh my God, Mommy. Ini zaman sudah modern masih percaya begituan. Kolot banget sih!” gerutu Darian karena tingkah aneh sang mommy.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments