“Your Highness!” teriak Daisy ketika melihat Viviane muncul di kejauhan. Berjalan dengan susah payah mengemban beban yang dipapahnya.
Daisy terbelalak. Bukankah sang princess sedang berburu hewan, kenapa malah membawa pulang seorang manusia?
“Daisy, bantu aku. Kita harus membawanya ke pondok dan mengobatinya,” kata Viviane dengan suara sepenuhnya cemas. Pandangan Daisy beralih kepada pria asing yang tampak lunglai. Rembesan darah terlihat dari balik jubah hitamnya.
“Ba-baik, yang mulia.” Daisy bergegas membantu Viviane. Menuju ke pondok di pinggir hutan. Tubuh pria itu lebih besar dan tinggi dari dua gadis yang memapahnya. Tentu saja itu sangat menyulitkan.
Setelah bersusah payah menyeret langkah, akhirnya mereka tiba di sebuah pondok kayu tempat yang biasa Viviane gunakan untuk beristirahat dari aktivitas berburu. Gadis itu membaringkan si pria di dipan kayu yang ada di sana.
Pria itu masih tidak sadarkan diri, dan bukan karena luka nya, melainkan racun di panah Viviane yang membuatnya seperti itu. Demam, muntah, bahkan bisa sampai meninggal. Itu hal yang pasti terjadi jika pria itu tidak segera ditolong.
“Daisy, cepat kembali ke istana. Cari obat penawar racun di kamarku.”
“Mengapa kita tidak membawanya ke istana, yang mulia?”
“Dan membuat kita dihukum lagi?” potong Viviane, membungkam pelayannya. Tentu saja membayangkan cambuk ratu yang akan mengenai kakinya sekali lagi membuat Daisy bergidik.
Ratu pasti akan sangat panik jika melihat anaknya kembali berburu, terlebih menyebabkan seseorang terluka. Masalah akan membesar jika ia membawa pria itu ke istana. Begitu pikir Viviane.
Daisy mematuhi perintah sang princess. Bergegas ia kembali ke istana, sedangkan Viviane memutuskan mengambil air untuk membersihkan luka si pria dan beberapa daun obat sebagai pertolongan pertama sembari menunggu Daisy kembali.
Di luar gubuk suasana semakin gelap, matahari mulai mundur ke peraduan, selain itu hujan rintik-rintik mulai turun, tetapi tak menggoyahkan bayangan hitam yang berdiri tegak di atas sebuah cabang pohon yang kokoh. Sedari tadi mengawasi pondok dengan seksama. Dengan kekhawatiran yang terlihat jelas di mata mereka.
“Barran, kita harus menolong Nicholas.” Seorang laki-laki dengan penutup wajah berujar kepada rekannya.
“Tidak, kita harus menunggu, gadis itu sedang menolongnya,” balas Barran pelan. Ia sendiri sudah dari tadi menahan keinginan untuk menyerbu pondok itu dan meminta pertanggung jawaban si gadis karena telah membuat tuannya terluka, tetapi sinyal yang diberikan sang tuan saat terkena panah tadi sudah cukup mengisyaratkan bahwa mereka sama sekali tidak boleh mendekat. Tuannya itu memang gila, tetapi ini melampaui ekspektasi Barran, Nicholas bisa segila ini hanya karena rasa penasaran terhadap seorang gadis. Untuk sekarang, tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan selain menunggu.
“Begitu mereka pergi, kita akan masuk ke pondok itu,” desis Barran diakhiri helaan nafas berat.
...****...
Suara kain robek memenuhi seisi pondok. Viviane terpaksa merobek pakaian usang pria itu, dan berjanji akan menggantinya dengan pakaian lebih baik esok pagi.
Ketika baju atasan si pria terbuka sepenuhnya. Rasa hangat tiba-tiba menjalar di pipi Viviane. Tubuh orang itu membuyarkan fokus sang gadis. Itu jauh dari kata jelek dan melampaui ekspektasinya selama ini terhadap tubuh laki-laki. Bahu lebar, lengan berotot tapi tidak berlebihan, torso ramping di lengkapi barisan otot perut. Pria itu nampaknya sering beraktivitas.
Akan Tetapi kalau ditilik dari pakaiannya yang lusuh, Viviane meragukan jika pria itu seorang pemburu atau rakyat jelata sekalipun. Terlebih ketika ia menyingkirkan topi jubah yang sedari tadi menyembunyikan wajah si pria,
mustahil wajah itu dimiliki seorang pemburu. Wajah halus, dengan rahang tegas. Bibir berbentuk hati dan mata terbingkai bulu mata yang lentik, ditambah alis yang tebal mempertegas kemaskulinan penampilannya. Itu adalah wajah pertama yang bisa dibandingkan dengan Valentine, kakaknya.
Viviane berdehem, menepis pikiran-pikiran aneh yang mengembang di otaknya. Tangannya mulai dengan cekatan membersihkan luka menganga yang disebabkan oleh panah yang sebelumnya telah ia cabut sewaktu di dalam hutan.
Ketika kain basah menyentuh lukanya. Mata yang tertutup itu tiba-tiba terbuka dengan sayu.
Mencengkram tangan si gadis hingga tubuhnya jatuh ke tubuh si pria karena gerakannya yang tiba-tiba.
"Ah, maafkan aku," gumam Viviane ketika ia berpikir telah menyakiti pria itu.
Viviane merasakan tenggorokannya tercekat. Dadanya menempel lekat dengan dada bidang pria itu sementara tatapan sayu milik si pria mengunci matanya, dalam dan menghanyutkan. Viviane bisa mendengar jantungnya sendiri yang melompat tak karuan. Baru saja ia ingin mengumpulkan suara untuk bertanya kembali, pegangan pria itu pada lengannya mengendur lalu ia kembali tak sadarkan diri dengan wajah menahan sakit.
Viviane lekas menarik tubuhnya dari si pria dengan gerakan kikuk. Menelan ludahnya gugup, kemudian kembali membersihkan luka. Viviane membalutnya menggunakan pita rambut miliknya yang cukup panjang. Selang beberapa lama Daisy kembali dengan penawar racun dan kabar bahwa waktu makan malam telah tiba, raja dan ratu memintanya untuk makan malam bersama. Maka dari itu, Viviane tidak memiliki pilihan lain selain bergegas meminumkan penawar racun yang di bawa Daisy kepada pria asing itu, memastikannya terbungkus selimut tebal, kemudian pergi kembali ke istana. Ia berjanji akan kembali keesokan pagi. Meski suaranya mungkin tak terdengar oleh si pria.
...****...
Sepeninggal sang princess dua bayangan yang tadi mengawasi merangsek masuk ke dalam pondok. Memperhatikan tubuh yang terbaring dengan mata yang tertutup sempurna.
Jonah mengambil tempat duduk di meja makan kayu yang ada di ruangan itu dengan posisi tidak jauh dari ranjang. Sedangkan Barran tetap berdiri kaku.
Jonah tertawa mengejek. Mungkin sang princess tertipu, tapi mereka yang mengenal pria itu sejak lama tentu saja tidak.
“Nicholas, berhentilah berpura-pura!” sentak Jonah mulai kesal.
Pria yang merasa di sebut namanya langsung membuka matanya dan mendecakan lidah. “Apa sih? Kan sudah kubilang jangan mendekat?” katanya dengan kening berkerut sebal.
“Kau benar-benar gila. Aku pikir kau mati tadi,” omel Jonah.
“Well, Kapan lagi bisa dirawat wanita secantik itu.” Nicholas mendesah menatap langit-langit yang tertumpah cahaya dari lampu minyak. Otaknya kembali memutar bayangan-bayangan wajah sang princess di sela-sela kesadarannya yang masih tertinggal. Rambut merahnya, dada ranumnya yang menempel padanya dan harum tubuhnya seperti bunga peony. Memabukan seluruh inderanya.
Apa yang dikatakan rumor yang ia dapat setibanya di negeri ini tentang keluarga kerajaan Bellerick sepenuhnya benar, terutama tentang keindahan-keindahan keturunan raja. Hari ini ia memiliki kesempatan untuk memastikannya sendiri, dan itu bukanlah hal yang sia-sia. Ada bayaran berharga dibalik luka ditubuhnya.
“Gila,” umpat Jonah, sementara Barran tidak berani berkomentar apa-apa.
“Tapi racunnya lumayan kuat. Aku bisa saja mati jika wanita itu tidak memberikan penawar.” Nicholas mengingat bagaimana tubuhnya terasa tercabik dan perutnya terkocok ketika racun mulai mengalir ke pembuluh darahnya. Rasa yang sama sekali tidak menyenangkan untuk dirasakan kedua kali.
Nicholas mencoba duduk. Selimut yang menutupi tubuhnya jatuh ke paha. Pikirannya kembali memutar kejadian saat gadis berambut merah merobek bajunya, itu cukup memalukan untuk Nicholas.
“Apa jadinya jika dia tidak membawa penawar racunnya?” tuntut Jonah tak habis pikir.
“Maka aku akan mati di pangkuannya,” ucap Nicholas lagi tanpa beban dilengkapi senyuman lima jari.
“Sinting,” umpat Jonah sekali lagi. Dia mendengus ke arah sahabatnya yang telah dikenalnya sejak di akademi militer.
“My lord, kami menemukan jalan masuk rahasia ke istana Bellerick.” Barran, pengawal setia Nicholas menginterupsi keduanya.
“Jalan masuk?”
“Ya. Itu sebuah terowongan di pinggir hutan. Princess dan pelayannya masuk melalui tempat itu,” ujar Barran menjelaskan.
“Kurasa terowongan itu bisa kita gunakan untuk menyusup kedalam istana." Jonah ikut menimpali.
Istana Bellerick memiliki tembok tinggi dengan benteng-benteng yang dilengkapi prajurit bersenjata lengkap. Akan sulit melawan jika mereka hanya mengandalkan jalan utama. Mereka harus memiliki jalan alternatif lain untuk menyerang dari dalam.
“Pakai ini. Kita harus pergi sekarang.” Jonah melemparkan jubahnya sendiri pada Nicholas yang bertelanjang dada.
“Kenapa buru-buru. Aku bahkan belum menanyakan nama gadis itu.”
“Duke Wilde ada disini, dia meminta kita bertemu,” ujar Jonah dengan wajah serius.
“Paman?” Senyum di wajah Nicholas pudar ketika Jonah mulai menyebutkan orang yang memiliki nama belakang yang sama dengan miliknya. Ekspresinya menggelap seolah nama itu adalah hal yang paling enggan dia dengar di hari yang menurutnya menyenangkan ini.
“Bukan kah masih ada beberapa hari sebelum rencana dilaksanakan?”
“Ya, tapi kaisar meminta duke menyelesaikan urusan Bellerick secepatnya. Karena tidak tahan dengan godaan tambang emas Bellerick. Selain itu kaisar ingin memusatkan pertempuran di selatan Helias, keberadaan pemberontak mulai terendus,” Jonah berujar dengan raut wajah serius.
“Apa kita juga?”
“Tidak, mereka berhasil memakan umpan.”
“Bagus.” Nicholas menyeringai. Rencananya mulai menunjukan kemajuan, tapi sebelum fokus ke sana, mereka harus menyelesaikan urusan di tempat ini. Berakting jadi anjing penjaga yang baik, sebelum balik menggigit tuannya. “Lalu dimana pamanku sekarang?”
“Duke menunggu Anda di penginapan, My Lord,” Lapor Barran.
Paman Nicholas saat ini menjabat sebagai jenderal kekaisaran, jika dia sudah datang ke tempat ini, maka sudah pasti jalan yang ditempuh tidak dengan jalan damai.
...****...
Keesokan paginya, ketika langit dilukis oranye dari matahari yang baru setengah terbangun, Viviane sudah berjalan melalui terowongan bawah tanah, yaitu jalan rahasia yang menghubungkan istana dan hutan Philea. Jalan itu sepertinya sudah ada sejak puluhan tahun lalu dibuat oleh nenek moyang Bellerick.
Viviane berjalan sendiri melewati lorong-lorong yang gelap, berbekal dengan obor kecil ditangan. Ia sengaja meninggalkan Daisy agar pelayannya itu dapat meyakinkan orang-orang bahwa sang princess tidak ingin diganggu hingga siang.
Kali ini gadis itu tidak membawa busur dan panahnya dan juga tidak mengenakan pakaian berburu. Ia hanya mengenakan gaun sutra warna salem dengan balutan jubah coklat yang menyembunyikan rambut merahnya. Tidak ada waktu untuk berdandan karena ingin secepatnya memeriksa keadaan pria yang terluka di pondok.
Viviane sampai di ujung terowongan yang ditutupi tanaman merambat. Membuat mulut terowongan tak terlihat dari luar. Ia keluar tepat di pinggir hutan yang letaknya tidak jauh dari pondok.
Tangannya yang lain menenteng keranjang rotan berisi pakaian, obat-obatan, beberapa potong roti dan camilan. Setidaknya ia ingin menebus kesalahannya karena melukai pria yang telah menyelamatkan hidupnya.
Sesampainya di pondok sesuatu membuat Viviane terkejut. Pria yang terluka semalam, tidak ada di sana. Dipan kayu nya kosong. Selimut terlipat dengan rapi. Viviane berlari keluar pondok, memeriksa sekitar, kalau-kalau masih ada jejak yang tersisa. Sayangnya, Pria itu tidak di temukan di mana-mana. Si penyelamat pergi tanpa sempat Viviane menyampaikan rasa terimakasih atau sekedar menanyakan namanya.
...Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Eka Agustiana
kok keren crt ny 😍😍
2024-01-29
3