...Seperti spiritus, jiwa pemuda kan terus berpijar hebat....
...Seperti spiritus, candu dari bau darah dan dendam....
...Seperti spiritus, segala yang tersentuh kan hangus tersulut....
Itulah pesan yang kutinggalkan kepada sepasang sejoli yang nantinya akan menjalani hidup baru dengan nama baru, begitupun juga dengan diriku yang akan menaiki kereta menuju destinasi baru.
Meskipun kuyakin bahwasanya mereka itu takkan pernah mengenal diriku, walaupun mereka melihat kereta yang kuambil, juga stasiun yang kudatangi, kedua hal tersebut takkan pernah diketahui oleh sejoli itu.
Dikarenakan, diriku adalah sosok yang biasa disebut oleh orang-orant sebagai "sang narator", tapi diri ini lebih memilih untuk menyebut diriku sebagai seorang pengamat.
Dan, bagian "narator" inilah catatan² yang kutuliskan di kertas coklat—mereka daur ulang, sehingga warnanya coklat—yang dibalut oleh sampul berwarna coklat pula.
Tapi tak seterang coklat kertas, bahannya juga tak sekasar kertas, bahannya ialah kulit, entah sapi atau kambing.
Dengan catatan² ini yang kutuliskan di atas kertas berukuran B5, dapat kau baca mengenai cerita sepasang sejoli yang baru saja berpindah dari tempat mereka berada, sebagaimana kisah satu dari sepasang sejoli itu dimulai.
Juga kisah² lainnya yang sudah kudokumentasikan dengan bolpoin bertinta gel berwarna biru—kupilih biru karena itu warna favoritku.
Ini kulakukan agar kalian, para pembaca memoar hidup objek observasiku, dapat mengingat mereka dengan jelas, ataupun bilamana kalian tidak ingat, setidaknya ada satu-dua hal yang akan melekat.
Namun, motif semacam itu terdengar terlalu mulia, atau terlalu egois, tergantung dari sisi mana kalian melihatnya, tapi sebetulnya motif yang kutuliskan itu—yang menjadi prolog dari kisah sang sejoli ini—adalah sebuah dusta.
Kupilih menulis di atas kertas daur ulang itu karena itulah kertas yang kumiliki.
Kupilih menulis di buku bersampul kulit karena itulah pemberian dari seseorang di awal perjalanan lintas duniaku.
Kronologi awal diriku menjadi "sang narator".
Asal muasal dari nasib nahasku.
Mengenai warna biru dari tinta itu, bagian itu adalah kejujuran.
Biru adalah warna favoritku.
Sebagaimana langit yang biru.
Sebagaimana laut yang biru.
Sebagaimana hatiku yang sudah lama membiru.
Sebagaimana kaca yang mengizinkanku untuk melihat kedua hal itu.
Sebagaimana terowongan lintas dunia yang membawaku kepada sepasang sejoli itu.
Sepasang sejoli yang tak cocok.
Layaknya minyak dan air.
Yang membakar dan yang memadamkan.
Namun, ternyata, di akhir kisah, lebih dari cocok.
Api dan Es, tercampur menjadi air; sumber dari kehidupan.
Mungkin sejoli itu yang dinamakan jodoh.
Atau mungkin hanya perasaan fana sementara—kecocokan sementara.
Sebagaimana kisah mereka yang memiliki awal dan akhir.
Di kasus ini, 'kan kunyatakan pendapatku.
Kepada seorang petarung dan seorang pasifis.
Matahari dan Bulan.
Saling melindungi—itulah perspektifku.
Apapun yang terjadi, bagaimanapun nasib memberi.
Baik sehat maupun sakit, senang ataupun sedih.
Berjanjilah, tak perlu sekarang, nanti saja bilamana sudah waktunya.
Sebab hanyalah kalian berdua yang mampu saling melindungi.
Juga, sebab keinginan kalian yang meminta, tetapi bukanlah hakku untuk menyatakan isi hati kalian.
Sehingga, mengakhiri prolog ini, kunyatakan pendapatku.
Kepada dirimu, sepasang sejoli bertolak belakang, yang kisahnya akan menjadi kenangan abadi di kereta lintas-dunia ini, semangatlah!
Karena layaknya spiritus, diingatkan kepada dirimu, bahwasanya kamulah api berkobar.
Dan layaknya spiritus, semua disekitarmu akan ikut terbakar.
Karena layaknya spiritus, diingatkan kepadamu, bahwasanya kamulah api berkobar.
Dan layaknya spiritus, semua disekitarmu akan ikut terbakar.
...----------------...
Dua belas jam telah lewat semenjak kuturun di stasiun sama di mana diriku naik kereta itu.
Dengan logika sehat, bilamana dicerna olehku, atau oleh orang lain, pastinya diriku tak pernah berpindah dari stasiun tersebut, dikarenakan nama stasiun tempat diriku turun sama dengan stasiun yang kunaiki.
Namun, sudah kubuktikan dengan mata dan kepalaku sendiri, juga dengan cubitan pipi, paha, juga kuping untuk memastikan bahwa diriku tak tertidur, juga membuktikan bahwa ini juga bukan mimpi.
Lucunya, ini terasa seperti mimpi.
Mimpi yang takkan berakhir.
Kedipan dua kali kulakukan untuk membersihkan kedua mataku yang kering karena begitu banyaknya putih yang kulihat.
Tak di stasiun awal, tak juga di stasiun kini, hanyalah putih yang terlihat baik di cakrawala ataupun di langit maupun di tanah.
Pengeras suara memanggil para penumpang yang berada di gerbong itu, gerbong ke-87. Sang masinis memberitahu bahwa kereta ini telah mencapai destinasi akhirnya.
Diharapkan kepada para penumpang untuk mengecek kembali barang bawaan anda.
Yang kemudian diikuti dengan peringatan untuk berhati-hati memperhatikan celah diantara gerbong dan peron stasiun.
Di akhir pengumuman itu, kuangkat kakiku melewati pintu gerbong dan tibalah diriku di destinasi selanjutnya.
Tidak ada lanjutan peringatan mengenai pintu akan tertutup.
Sebuah taman di tengah kota.
Dirimu tak salah membaca.
Permukaan yang kuinjak setelah lantai besi adalah tanah merah yang dikelilingi jungkat-jungkit juga peralatan kebugaran yang menjadi fasilitas umum (fasum).
Ini berarti keretaku berhenti di tengah-tengah taman itu.
Lebih tepatnya, gerbong ke-87—dalam kata lain, kereta yang setidaknya membawa 87 gerbong berhenti di tengah-tengah taman itu.
Kuulangi kembali, taman yang berada di tengah kota.
Taman yang dikelilingi oleh jalan raya.
Namun, tak ada satupun kasus tabrakan, terlindasan, ataupun adu banteng yang terjadi diantara kereta dan mobil; kereta dengan mobil boks, kereta dengan bus sekolah, kereta dengan motor, maupun kereta dengan pejalan kaki dan pesepeda.
Karena, seperti yang kukatakan, ini adalah taman yang berada di tengah kota, dikelilingi jalan raya, dan diikerumuni oleh berbagai macam kendaraan roda dua hingga delapan.
Namun, tak ada satupun kecelakaan lalu liintas yang terjadi ketika kereta itu berhenti di sini.
Singkat cerita, itulah latar belakang dari proses bagaimana kusampai di kereta ini dua belas jam silam semenjak ak keluar dari gerbong ke-87.
Dan di dalam dua belas jam itu, tak banyak hal yang terjadi, walaupun ada beberapa hal menarik, seperti seorang penjual gulali bermotif ayam jago.
Juga anak² yang bermain di jungkat-jungkit hingga salah satu dari mereka terjatuh dan mulutnya menghantam gagang besi.
Tentu ada isak tangis.
Namun, ia segera reda ketika temannya—yang ukurannya dua kali lebih besar darinya—datang dengan gulali berbentuk ayam jago di tangan.
Gigi yang terhantam hilang, tetapi ditambal dengan gulali gratis yang diberikan oleh temannya.
Sang penjual juga mendapatkan selembar kertas berwarna coklat terang—lebih terang daripada kertas yang kugunakan.
Di akhir cerita, sang penjual menuju arah barat, sedangkan kedua anak itu berjalan lain arah, Surya juga mengantuk, Luna pun dibangunkan untuk berganti jaga.
Di atas kursi taman diriku melepas lelah, di atasnya ialah dewi rembulan yang menjaga malam.
Kendaraan² mulai berkurang, orang² mulai pulang.
Enam jam telah lewat semenjak berpisahnya diriku dengan gerbong 87, dua jam semenjak berpisahnya para bocah dengan pedagang gulali.
Kemudian, tanpa kusadari (itu sebuah kebohongan, sebetulnya kusadari, tetapi tak kupedulikan) transisi kewajiban dari sang Surya telah sukses dilaksanakan oleh Luna.
Memasuki jam ketujuh, taman itu ramai kembali, penuh oleh mereka-mereka yang ingin mencari makan malam yang tersedia d gerobak--gerobak kaki lima.
Beberapa pasang sejoli, sekian kelompok keluarga, begitupun puluhan orang² berhimpunan melingkar mengikuti bentuk taman itu.
Di titik tengah, tak jauh dari kursi yang nantinya kutempati, sebuah kolam yang awalnya kosong, kini mulai terisi oleh aliran aiir yang ditembakkan melalui lubang² di bawah dan sekitarnya.
Sebuah pementasan mulai digelar di jam kedelapan.
Tembakan² itu membentuk banyak ukiran, dimulai dari struktur sederhana seperti kotak, lingkaran, segitiga, lalu lanjut ke bentuk lebih kompleks.
Burung, pohon, dan yang tak kusangka, logo daerah berhasil mereka bentuk dengan tembakan air itu sebagai bagian akhir dari pertunjukan.
Penampilan itu berakhir dengan tepuk tangan, tepat di jam sembilan.
Satu jam kemudian, keluarga² beserta anak² mereka sudah tak lagi ada di tempat, tapi beberapa dari sejoli itu tetap di mana mereka berada.
Beberapa lainnya sudah tiada, entah pulang atau menikmati keberduaan di tempat lainnya.
Ketika jam mencapai angka dua belas, tak ada lagi orang, yang terakhir mangkat tiga puluh menit sebelumnya.
Itupun seorang petugas taman yang patroli keliling sebanyak dua kali.
Petugas itu meninggalkan taman dengan motor bebek yang sudah berpenyakit—knalpot dan mesinnya batuk sebagaimana petugas itu yang sudah paruh baya lebih.
Batok lampunya sudah rabun, sebagaimana pandangannya, tak terang dan tak jelas, sedang lampu belakang tak lagi menyala.
Tibalah di mana, sebagaimana diriku katakan, dua belas jam semenjak diriku berpisah dengan kereta lintas-dunia.
Di kala itu, segalanya hening, suara jangkrik dan serangga beserta hewan taman memanggil.
Luna memandang dari kejauhan, diriku yang bersandar melepas penat di kursi besi yang sudah karatan—pemandangannya adalah kolam yang kering dan absennya manusia.
Demi mengisi keheningan itu—juga rasa bosan—sebuah pemikiran terlintas.
Sebegitu banyak orang yang datang dan berkumpul, tak ada satupun dari mereka yang sadar akan diriku yang mencelupkan diri ke dalam kolam ketika atraksi itu tengah terjadi.
Mungkin mereka terlalu fokus terhadap keindahan dari pentasnya, atau mereka sibuk menikmati waktu dengan orang² yang mereka sayangi dan cintai; tak ada kulihat lirikan yang tertuju kepada diriku.
Di satu sisi, inilah sebuah kejanggalan, tetapi anomali ini sudah lama kuterima.
Bahwasanya inilah sisi dari "sang narator", tak terlihat, tak diketahui.
Perannya hanya sebatas menceritakan.
Hanya kata²nya saja yang diperlukan, aspek lainnya tak masuk hitungan.
Tak dihiraukan, bahkan.
Walaupun, memang, ini membuat se-akan² ada rasa sedih, iba, atau semacam mengenai risalah ini, pada intinya, sang narator yang ini tak banyak peduli.
Toh pula, kisah ini hanya akan menjadi bagian sejarah dari gerbong 87 dan kereta lintas-dunia.
Keduanya akan menghilang suatu hari.
Sebagaimana kedua sejoli yang meninggalkan taman ini.
Sama halnya seperti petugas paruh baya lebih.
Layaknya keluarga yang telah lama angkat kaki.
Di tempat ini, baik itu gerbong 87 atau taman ini, diriku kan selalu sendiri.
Hidup begitu sepi.
Seribu hati tanpa relasi.
Di sana, langit kartika.
Tiga ribu, semua bernama.
Namun.
Apakah saling kenal?
Demikian sebuah pertanyaan.
Demikian saja, bilamana demikian.
Demikian awal, karena demikian.
Di bawah Luna diriku bernaung menunggu, kepada kisah yang akan dimulai.
Tiga jam setelah segalanya dimulai.
Di tengah diriku yang duduk, kudapati seorang lelaki menghantam—menembus—diriku dan mencium badan dari kursi besi itu.
Mulutnya merah, begitupun kulitnya, tertutupi merah, tak selaras lagi dengan bagian manapun dari badannya.
Biru² terletak di kedua lengan, hitam di mata, juga merahnya bibir. Lelaki yang semestinya berwarna putih bengkoang itu tersungkur.
Dirinya berada di bagian dudukan kursi, mulut mencium bagian itu, di mana kedua pahaku semestinya terletak, sedang dirinya menembus kedua objek itu.
Dan langsung mendarat di jeruji² besi berkarat bersamaan dengan kedua pundak, rusuknya terayun kepada ujung dari dudukan, tetapi tak ada tanda² retak, dikarenakan kecepatan dirinya menghantam juga tak begitu cepat.
Namun, tetaplah luka demikian tak dapat dianggap enteng, fisik lelaki ini terluka dan dirinya tengah tersimbah darah di bagian muka, bersamaan dengan cedera bengkak yang dialaminya nyaris di seluruh tubuh.
Namun, entah mengapa, tak satu erangan dikeluarkan olehnya.
Hanyalah tatapan kosong tanpa emosi yang diberikannya.
Se-akan² inilah hal wajar.
Walau ini se-tidak²-nya wajar.
Sayangnya, mata sang lelaki itu mengatakan seperti itu.
Sayangnya, tiga orang dibelakangnya juga mengatakan seperti itu.
Walau, tatapan mereka berbeda.
Bukanlah rasa pasrah atau lemah, tidak, mereka adalah makhluk buas yang siap menyantap mangsanya.
Tidak, definisi demikian juga bukanlah benar.
Merekalah tentara yang mendapati seorang tawanan perang.
Mereka tengah melihat seorang penjajah.
Seorang "pembawa rasa sakit".
Tempat pelampiasan yang berseragam sama.
Keempatnya, tiga pemburu, satu mangsa, putih-abu warnanya.
Mungkin kalau ingin dijabarkan lebih teliti lagi, tiga kemeja putih dengan corak abu-coklat dari titik² debu dan keringat, dan satu kemeja putih berkerah aksen merah darah, walau tanpa cacat sobek, juga dengan corak abu dan coklat di segala bagian.
Begitupun juga warna dasar abu dari keempat celana mereka, corak abu-coklat menghiasi dan mengitari seluruhnya.
Sang lelaki bercorak darah itu tampak tertidur, sedang ketiga lainnya—dengan karakter berbeda tapi juga sama—menatap kepadanya. Tanpa dialog, tanpa komunikasi.
"Sini!" salah satunya teriak, seorang dengan kepala bertopi tak karuan, badannya gempal tak karuan, kerah bajunya dinaikkan tak karuan.
Muka lelaki merah itu tergesek badan kursi karena tarikannya.
Diberinya bogem mentah dengan tangan kanan ke pipi sang lelaki yang kembali tersungkur ke tanah—kini mencium lantai bebatuan.
"Bangun, anjing, bangun! Gini doang udah lembek, mana katanya yang menang lomba provinsi!? Begini doang menang provinsi? Bah!" teriak lain dari mereka.
Seorang tiang listrik, jangkung, berambut mekar, dengan otot tak terlihat. Nampaknya tiang listrik ini hanyalah ranting kering yang akan hanyut terbawa angin.
Terlihat bahwa fisik seperti itu pastinya tak akan bisa memberikan kerusakan yang besar, tapi itu semua diantisipasikan oleh sepatu konstruksi berplat besi yang dipakainya untuk menendang.
Menendang apa?
Mulut dari lelaki merah itu, tentunya.
Buk!
Ayunan kaki kanannya mengenai bibir yang sudah mengalirkan darah, energi kinetik yang dipindahkan dari sang tiang listrik ke lelaki merah membuatnya berputar hingga punggung menyentuh tanah, memandang Luna di atas, juga diriku yang melihatnya—kalau ia bisa melihat.
Yang ketiga dan terakhir iialah seorang yang tak gempal juga tak kurus, justru, dirinya terlihat yang paling bagus, tampan, kalau bisa dibilang.
Rambutnya pirang, matanya biru, layaknya blasteran Eropa, entah Belanda, entah Jerman, entah Perancis atau Amerika.
Dibalik kaus kerah yang tak lagi dikancing hingga bagian bawah dada, kumpulan otot kekar menyelimuti tubuh, pertanda bahwasanya dirinya berolahraga.
Hehe, dirinya tercekikik sedikit.
"Akh!" lelaki merah itu mengerang.
Kaki yang diperkuat otot paha yang setidaknya berdiameter empat puluh centimeter meneruskan seluruh beban tubuh kepada sepatu keds kanvas berwarna hitam yang berada di atas perut sang lelaki merah.
"Lu tau enggak sih, gue, sebagai cowok, ngerasa gimana gitu ngeliat lu," komentar sang lelaki pirang. "Lu atletis enggak, kuat enggak, tinggi juga enggak, tapi bisa²nya lu jadi inceran incerannya gue.
"Bayangin, gue, gue yang udah berjuang sampe badan gue bagus begini, harus kalah sama lu yang enggak ada apa²nya, sakit tau enggak sih?"
"Kkkh!" sang lelaki merah menahan erangannya, sebab beban yang ditopangnya kian berat.
"Mana mungkin lu ngerti, pastinya. Mana mungkin lu ngerti perjuangan gue, fisik sama batin, demi cewek ini, bisa²nya lu jadi penghalang gue. Gue anak aktris, apasih yang enggak bisa gue dapet?"
Dan lu dapetin cewek gue, idaman gue, pujaan gue!
Sang blasteran mengamuk.
"—gue enggak ada hubungan sama dia—" jawab sang lelaki merah, ter-sengal².
"Gue enggak peduli lu ada hubungan atau enggak," injakannya diperkuat, sang anak aktris ini semakin kesal, "yang jelas kehadiran lu itu yang ngebuat gue enggak bisa jadian sama idaman gue. Jadi. Gara² lu lah. Gue enggak bisa. Makanya lu harus tanggung jawab,"
Ngerti enggak, nyet?
Si Gempal menyahut, "Iya, betul tuh, nyet. Lu tanggung jawab lu, si abangnya ini jadi enggak dapet pacar gara-gara lu, udah betul dia mukulin lu. Salah lu soalnya."
Sedang sang tiang listrik mengangguk di paling belakang, ia menyandarkan diri kepada tiang lampu yang jauh lebih tinggi darinya.
Mulutnya mengeluarkan asap setiap dirinya megisap batang rokok yang disulut menyala. Aestetik yang keren menurutku, hanya saja, mengetahui latar belakang serta tindakannya, itu hanyalah tindakan yang diambilnya agar terlihat keren.
Di mataku, dirinya, juga si gempal, apalagi sang lelaki cakap yang tindakannya bak hewan, adalah secocoknya anjing²—tidak. Anjing jauh lebih mulia dari mereka. Mereka tak menggigit kecuali merasa terancam.
Sedang, rasa terancam itu sama sekali tak ada di mereka bertiga. Mereka lah ancaman itu.
Kalau saja diriku mampu, akan kuberikan kepada mereka setimpal. Tidak, akan kuberikan lebih dari itu, kutahu diriku sosok yang dermawan.
Dari satu yang diberikan, kan kukembalikan empat. Kuanggap hal itu sebagai kedermawanan, kalau bisa.
Dengan basis itu, dari satu injakan—yang mungkin meretakkan satu potong rusuk—akan kukembalikan empat, yang sudah pasti akan mematahkan satu dan meretakkan beberapa.
Namun, apa dayanya diriku yang sama sekali tak dapat dilihat?
Juga tak bisa disentuh.
Dirikulah sang narator.
Sebatas penonton.
Dengan segala emosi yang naik turun.
Dengan segala amarah dan kesenangan yang ber-ubah².
Diriku diminta untuk netral, tak bergeming, tak merespon.
Hanyalah melalui catatan² ini emosiku diketahui, juga eksistensiku.
Namun, pemikiran seperti itu—harapan untuk ikut campur—diharuskan sirna.
Karena itu tak akan membuat jalur kisah mereka berubah.
Tugas—yang ku-buat²—hanyalah sebatas menonton apa yang sedang terjadi lalu mencatatnya di kertas coklat di tengah perjalanan menuju stasiun selanjutnya.
Atas perlakuan yang didapatkan oleh lelaki merah dari ketiga bajingan anak haram, tidaklah di dalam kuasaku untuk mengintervensi.
Namun, setelah selesainya kisah ini, kutemukan bahwasanya itu adalah hal yang baik.
Karena, diketahui nanti, oleh diriku, bahwasanya lelaki inilah yang akan menjadi titik putar—juga titik klimaks—dari kisah sejoli ini.
Karena diketahui nanti, oleh diriku, bahwasanya lelaki inilah yang akan menjadi titik putar - juga titik klimaks dari kisah sejoli ini.
...----------------...
Sang lelaki merah masih ditekan, sang blasteran bertanya, "enaknya diapain nih anak?"
"Tendang aja lagi. Toh, punya lu kan ada besinya," saran si badan gempal.
"Ahh," tiang listrik terusik, "entar, lagi enak nyebat," kata tersebut keluar berasamaan dengan asbak rokok, "atau lu timpuk aja, ndut."
"Boleh juga, tumben lu pinter, gue kira otak lu udah kanker gara² sebungkus tadi," lalu si gempal tertawa.
"Mana ada gue kanker otak gara² sebat," rokok itu diacungkan kepada lawan bicaranya, ujung merah membara, "ngaco lu."
Kebanyakan ngocok lu mah, makanya kagak ngotak.
"Bacot!" si blasteran teriak, "gimana kalau begini, kita injekin aja bareng², biar ngerti dia."
"Yok²" si gempal antusias, mulutnya sumringah didandani senyuman besar dari kedua sudut muka. Dirinya lakukan itu sembari bertepuk tangan, lalu mendekati sang blasteran.
Sungguh menjijikkan penampilan si gempal, basis pendapatku tak lain adalah tubuhnya yang terlalu besar, terlalu gemuk, tak normal, kujamin dirinya tak bisa melihat sepatu apa yang dipakainya dengan dimensi tubuh sedemikian.
Nyaris mengalahkan perut seorang calon ibu di bulan ketujuh kehamilan.
Ditambah, dengan kerahnya yang naik tak karuan, dirinya ingin terlihat sebagai seorang jagoan, seseorang yang ditakuti. Tak sepeserpun diriku mengalami rasa takut kecuali terhadap kancing² baju yang berjuang mati²-an untuk menghubungkan kain yang menutupi kulit berwarna putih;
Dimana kain itu juga setengah gagal melaksanakan tugas. Dikarenakan ukuranya yang begitu abnormal, diantara jarak dari kancing ke kancing, perut yang tak sedap dipandang itu harus terpadang dari segala arah.
Dari kiri, kanan, atas, bawah, segala arah.
Namun, penampilan sedemikian dengan sikap yang dibawakan, rasa heran tak tumbuh di dalam hati.
Dengan penampakan jorok itu, dengan perut terlalu besar yang sudah masuk kategori abnormal, ditambah dengan pembawaan yang tak mungkin tak kujelaskan sebagai menjijikkan.
Dialah paket komplit seorang berandal, seorang calon rampok, seorang yang - mungkin - diberi makan uang rampok.
Walakin, bukanlah dirinya yang paling kubenci, yang paling kutidak sukai, yang sudah pasti akan kuhajar dan - bilamana dimungkinkan - kubiarkan ia mencium besi rel kerta sambil dilindas hingga terpotong dua.
Tidak. Itu takkan cukup.
Dengan kedua tanganku inilah - bilamana diberi kesempatan - akan kubuat kaca sang masinis berwarna merah segar.
Di mana leher anak itu akan kuangkat dan ku akan berhenti di salah satu sisi rel.
Ya, akan kubuat sang masinis menghantam dirinya sebagaimana dirinya telah menghantam sang lelaki merah.
Namun, kembali kepada orang yang paling kubenci.
Ya, orang yang paling kubenci itulah sang serigala dibalik kulit domba. Orang yang berusaha menjaga penampilan demi sebuah niat jahat. Niat untuk merugikan orang lain.
Ya, orang itulah yang mengakui dirinya sebagai anak artis, anak terkenal, anak yang memiliki segala yang diinginkannya, anak mami yang manja.
Ya, itulah sang blasteran bangsat yang kini tengah mematahkan satu rusuk dari lelaki merah, yang tak lama lagi si gempal ikut juga.
"Cepat geraknya!" blasteran itu meghadap belakang, memperhatikan si gempal yang masih di tengah perjalanan.
"Sabar elah!" balasnya menggerutu.
"Lagi, makan udah kayak apa lu. Hamil lu ya?"
"Kagak lah, mana bisa!" teriak si gempal.
"AKH!" si lelaki merah mengerang.
Kini kaki si gempal - yang terselimuti sepatu lari berwarna hitam, entah cocok atau tidak - menghantam dada si lelaki merah, "hahaha!" dirinya teriak girang.
"Teriak lagi dong! LAGI!"
Senyum lebar mereka berdua, dengan gigi² - satu bersinar putih, satu berantakan total - yang terlihat begitu jelas.
Mata² memantau, dari mataku yang hitam gelap kulihat kegelapan yang sama di dalamnya.
Meskipun warna mereka adalah biru, bagi blasteran, dan coklat, bagi gempal. Kegelapan itu terlihat jelas, begitu jelas.
Di dalamnya, dari pandangan, sebuah jiwa, sebuah nyawa. Nyawa gelap yang diselimuti sebuah alasn.
Di dalam sang blasteran ialah kegelapan yang ber-putar², persis seperti alam semesta, dengan dirinya berada di tengah, segalanya memutar diantara dirinya.
Dirinya sebagai pusat, sebagaimana ia melihat dirinya sendiri.
Bagai seorang malaikat, dirinya melihat cerminan bahwasanya segalanya begitu terang, tidak, dirinya yang paling terang.
Karena terangnya ini semuanya ikut terang.
Dikarenakan dirinya yang ada di situ, semuanya ada. Bilamana dirinya tiada, maka semuanya tiada.
Tidaklah disadarkan oleh dirinya, sang makhluk terang yang dianggapnya sebagai dirinya sendiri, adalah makhluk tergelap di tempat itu.
Dirinya terlihat dikarenakan keterangan yang lainnya, tanpa yang lainnya, dirinya tak akan terlihat. Tak terlihat maka tak diketahui, tak diketahui berarti tak dikenal.
Tak kenal maka tak sayang.
Namun, disayangkan sekali olehku, sebagai observator, bahwasanya sang blasteran ini tergelapkan, terbutakan oleh dirinya sendiri.
Begitupun juga sang gempal.
Bagi sang gempal, kegelapan ini menumpuk dirinya hingga ia tak terlihat, bahkan secuil kulit sawo matang yang sangat kontras dengan dirinya tak terlihat sama sekali, hanya sebuah tawa, tawa yang menggelegar menyelimuti kegelapan itu.
Dirinya merasa puas, merasa tertumpuk dan ia senang.
Sekali kucoba menarik kegelapan itu darinya, dan sebuah makhluk mengerikan muncul dari dalam, sebuah raut amarah dan emosi tak terima, mata terpicing tajam dan mulut menunjukkan taring - hanya ada taring di mulutnya.
"Milikku³!" teriak muka itu kepada diriku, sebuah peringatan, sebuah kesedihan, sebuah kerakusan. Itulah kegelapan yang menyelimuti sang gempal.
Sedang untuk sang tiang listrik.
"Woi! Gece sini!" sang gempal memanggil, "jangan sebat mulu ela—" sambutannya itu pun terhenti di tengah jalan.
Semua karena fakta yang dihadangkan kepadanya ketika ia memutar kepala untuk melihat sang tiang listrik yang - tadinya - tengah menikmati sebatang rokok.
Tanda tanya, tanda seru, segala tanda baca yang dapat ia keluarkan dari kepalanya muncul bersamaan, ia terheran, terkaget, terkejut, takut.
"Ngapa lu, kayak ngeliat pocong ae lu," si gempal tetap terdiam seakan tuli dari ucapan si blasteran.
"Ngapa sih—" kemudian sang blasteran memandang kepada arah yang sama dengan sang gempal.
Tekanan yang diberikan kepada sang lelaki yang tengah diinjak oleh mereka berdua pun berkurang, sehingga dirinya juga menyempatkan diri untuk memutar kepalanya ke arah mereka melihat.
Melalui sela² diantara penyerang, ia melihat objek yang sama yang dilihat kedua orang di atasnya.
Dimana ia menemukan, di bawah lampu taman yang lebih tinggi darinya dan juga mereka yang menginjaknya, sosok yang hilang.
Si tiang listrik tak ada di tempatnya.
Ia melirik atas-bawah (kiri-kanan bagi sang blasteran dan gempal) mencoba untuk mencari keberadaan dari orang yang baru saja lenyap.
Sepercik cahaya kecil lah targetnya, percikan api rokok yang akan menyala bilamana sang tiang listrik menghirup batang itu.
Namun tidak, tak ada sepercik api yang terbakar terang yang akan diikuti oleh kepulan asap.
Di tanah, di tempat di mana sang tiang listrik tadinya berdiri, digantikan oleh objek yang tadinya dicari oleh mereka bertiga, yakni, puntung rokok yang tak lagi menyala. Itulah sisa dari sang tiang listrik.
"Lagi ke toilet kali?" sang gempal menebak.
"Mana mungkin, orang udah kita cek kan tadi," ditepis tebakan itu oleh si blasteran.
Kembali dengan sebuah tebakan lagi, "Mungkin aja kan, toh pintunya yang bulet gitu."
"Emang kenapa kalau pintunya bulet?"
"Suka macet pintu kayak gitu, gue dulu pernah kekunci di dalem."
"Oh, yaudah sana cari."
Si gempal angkat kaki, baik kaki yang diangkat dari badan si lelaki, juga kaki yang dipakainya untuk pergi mencari si tiang listrik berjalan menjauh ke arah depan, ke arah toilet yang disangka tempat si tiang listrik berada berdasarkan tebakan semata.
Sedang, tebakan itu jauh terlalu salah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!