Munculnya Setan Emas

Sedang, tebakan itu jauh terlalu salah.

...----------------...

Kan kuberikan jawaban sebenarnya.

Si penikmat rokok itu tak ada di sana, dirinya masih bersama dengan mereka. Artinya bahwa dia masih hidup, masih di alam yang sama.

Dirinya belum menjadi seorang dengan gelar almarhum, kupilih belum karena setiap orang pastinya akan mati di waktunya - tapi itu di luar topik.

Nyatanya adalah bilamana si blasteran bodoh itu mau se-kali² mau merendahkan dirinya dan melihat ke arah atas, mugnkin si tiang listrik yang tadinya mengisap stik nikotin itu bisa saja diselamatkan.

Mengapa diselamatkan?

Karena rokok itu pastinya masih dapat digunakan.

Seperti mulutnya.

Juga pipi.

Juga hidung.

Empat benda itu sudah rusak.

Dirusak oleh siapa? Barangkali kalian bertanya.

Kerusakan itu disebabkan oleh—

Bruk!

Tak kusangka akan dijatuhkan badan orang itu kepadaku - menembus ragaku - kepada kursi yang kududuki, di depan mata si blasteran itu sendiri.

Diriku yakin bahwasanya apapun yang jatuh di kursi tempat kududuk inilah badan - mungkin saja jasad - dari seorang perokok yang tadinya tengah merokok, kini kyyakin kalau dirinya tak mau merokok lagi seumur hidupnya.

Dekorasi tambahan yang sekarang ada di mukanya ada tiga, hidung yang patah dan darah mengalir, bibir sobek tapi tak ada darah mengalir, dan sebuah titik hitam seakan dirinya adalah seorang pendeta India dengan titik merah yang berada di tengah dahi.

Namun bukanlah titik merah ataupun yang diyakini sebagai mata hati atau batin, tidak, itulah sebuah titik bakar yang sudah menghitam, gosong, sebagaimana luka bibir yang tidak lagi mengalirkan darah.

Diakhiri oleh jiwa yang tak sadarkan diri.

Sebab dirinya jatuh dari pohon atas menuju kursi besi di bawahnya, di mana titik tengah dirinya menghantam sisi senderan dari kursi itu - waktu di saat hidungnya patah - lalu berputar ke arah kiri dan mendarat di tanah emrah, dirinya berakhir di belakang kursi taman.

Mata si blasteran itu megnilap, di dalamnya sebuah refleksi akan apa yang ia lihat. Dirinya tak sempat untuk berkomentar, tak juga bereaksi. Kurang dari sekejap mata dirinya itu menghilang.

Di bawahnya, seorang lelaki yang dirundung merasakan beban yang ditekan kepada tubuhnya berkurang signifikan, lagipula, kaki si blasteran brengsek itu tak lagi ada di atasnya.

Namun, beban itu bobotnya tak lagi signifikan, apa yang tercermin di kehitaman bola matanya adalah hal jauh lebih penting baginya. Apa yang ia sekarang lihat adalah prioritas utama.

Dipikir lagi oleh sang lelaki, selama ini dia selalu berada di bawah, semestinya ia tahu kemana si perokok itu pergi, yaitu di atasnya, bukti konkret adalah badannya yang baru saja jatuh ke bawah, tapi bagaimana bisa?

Siapa yang membuatnya bisa ke sana?

Atau mungkin apa - layaknya hewan atau makhluk - yang membuatnya berada di atas sana?

Jawaban dari pertanyaan itu terpampang di depan mata.

Di posisi tiduran di atas jalan batu, ke kiri si lelaki itu memalingkan pandangan. Dilihat si blasteran itu tak berdaya dan akan sadarkan diri, kepalan tangan mendarat di hidung dan batang itu pun patah - mengalirlah cairan merah.

Namun, siapakah - atau apa - yang mampu melakukan hal demikian kepada si blasteran, bogem mentah mana yang mampu mematahkan hidung mancung khas Eropa dari si blasteran?

Tidak, siapa - yang masih memiliki akal sehat - berani melukai anak seorang aktris terkenal senegara (atau bahkan sedunia) yang pastinya memiliki teman² kuat.

Teman² yang mampu menghilangkan, atau menghancurkan reputasi seseorang yang berakhir dengan dirinya yang tak diinginkan, diasingkan, dan akan berakhir bergelantungan dengan sebuah tali yang mengikat lehernya, tanpa surat perpisahan.

Orang macam apa yang berani melakukan hal sedemikian?

Mungkinkah itu bukan siapa, mungkin saja itu 'apa', sebuah makhluk yang jelas bukan manusia. Barangkali demit, atu semacam siluman, atau setan, atau semacamnya.

Setan yang barus aja melepas cengkraman leher anak orang terkenal dan memberinya kesempatan untuk mendarat di jalan bebatuan sesama halnya dengan orang yang sedari tadi dirundungnya - si lelaki yang emnonton pembantaian oleh sosok siapa (atau apa) - yang tidak dikenal.

Kemudian, sosok 'apa' itu mendekatinya.

Di dalam bulatan matanya, sebuah refleksi, sebuah ajri yang menutupi cermin yang melihatnya kembali layaknya kaca satu arah.

Kaca yang memanjang dari daerah kening hingga melebihi dagu, pandangan yang diberi tahu oleh matanya ialah dirinya sendiri - dan sebuah jari telunjuk yang memotong segalanya di titik tengah secara vertikal.

Si lelaki itu mengedip, mencoba untuk mencari tahu apakah yang dirinya lihat memang betul adanya.

Bukanlah dirinya yang mulai berkhayal sedari tadi karena luka² yang dirasakan olehnya semenjak jam tiga pagi - atau mungkin sebelum dari jam itu - sebelum dirinya dilempar ke kursi taman dan diinjak di atas lantai bebatuan.

Sekali kedipan, dirinya tetap melihat sosok 'apa' itu masih di depannya, kaca satu arah yang lebar tetap merefleksikan dirinya. Bibir terluka, dan dua garis aliran darah mengalir darinya.

Matanya, biru, indah, kini lebam di bagian kiri dari mukanya, hasil dari antara bogem mentah atau tabrakan dengan kursi besi taman.

Terakhir ialah kulit putih yang tak lagi putih, kini ungu-merah merona, tak lupa dengan aliran darah lainnya. Beberapa titik luka dan cairan merah terang meluncur keluar pelan.

Pemandangan itu sempat membuat dirinya terkaget, betapa hancur fisiknya, tapi kesempatan itu tak berdurasi lama, tak selama kedipan matanya.

Kutangkap itu sebagai tanda bahwasanya ini bukan pertama kali, bukan pula kedua, untuk seseorang yang baru saja dipukuli hingga mencium tanah dan ber-darah², dirinya masih tenang, bahkan terlalu tenang.

Kemudian dirinya mengedip kedua kalinya, pengamat terakhir ialah seorang pemuda bermata biru dan berkulit putih, lengkap dengan segala macam luka, sebelum matanya tertutup dan terbuka kembali.

Diperlihatkan kepadanya seorang murid berbadan gempal yang me-manggil² nama anak aktris yang juga mencium tanah.

Dirinya tak begitu jelas mendengar apa yang dikatakan olehnya, mungkin karena rasa sakit kepala yang luar biasa, juga buram pandangan, alasan dari bagaimana ia bisa tahu bahwasanya itulah si gempal didasarkan oleh topi dengan ujungnya yang mengarah ke belakang.

Namun, bagaiaman bisa? Dirinya baru saja melihat anak aktris itu dihantam oleh makhluk entah apa dan kini tersungkur di lantai bebatuan yang sama, sedang kecepatan sang gempal tidaklah hebat, lemah, bahkan.

Tidak mungkin bagi sang gempal untuk dapat segera mencapai tempat mereka dalam waktu satu kedipan mata.

Tentu, hal demikian tidak masuk akal.

Namun, makhluk itu - yang ketika dilihat olehnya, hanya dipertunjukkan gambar akan dirinya seakan ia melihat ke cermin, apakah hal demikian juga masuk akal?

Untuk apa berpikir demikian - justru, apakah dirinya dapat berpikir demikian, paragraf sebelumnya hanyalah asumsiku akan pemikiran yang terjadi di dalam pikirannya.

Lagipula, dirinya jelas tak sadar bahwa kedipan kedua yang diambilnya itu berjarak sekitar 30 menit dari kedipan pertama, selama itulah dirinya melaksanakan kedipan kedua.

Lelaki itu, yang tertidur di tempat yang semestinya menjadi lokasi kaki berpijak - sedang tembus oleh dirinya, tak terasa olehnya - yang sekarang penuh dengan bercak darah dan luka, tengah menonton seorang siswa gempal yang sedang memanggil nama dari anak aktris yang telah tumbang.

Kuyakin bahwa lelaki di bawahku ini melihatnya, meskipun bagian kanan mukanya membengkak, diriku masih mampu melihat matanya yang condong keluar sedikit, dan mata itu tidak dalam posisi tertutup oleh kelopak, ia terbuka lebar.

Dan hal inilah yang diperhatikan pula oleh sang gempal yang memutarbalikkan posisinya, mencoba untuk mencari pelaku yang berani menyerang anak aktris terkenal.

"Woi!" gempal itu melolong, "keluar lu! Berani-beraninya lu ngehajar anak orang! Keluar lu sekarang!"

Sekumpulan nama binatang disebutnya, jalang salah satunya.

Tak ada yang mengindahkan - mungkin juga tak akan ada yang mendengar tantangan dari seorang anak SMA di sebuah taman di jam tiga pagi - omongannya.

Dan ini pun membuatnya kesal, kekesalan itu ia kembalikan kepada sang lelaki lagi.

Ia berlari ke arah diriku, yang ia tuju ialah badan dari sang lelaki yang berada di bawahku, kecepatannya tak signifikan, tapi energi dari tiap langkahnya dapat terasa.

Jarak diantara diriku dengannya, dirinya dengan targetnya, tak lebih dari dua puluh langkah.

Langkah pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima diambilnya dengan cepat, perut besar yang menjijikkan itu ikut naik turun dengan ritme pergerakannya, sangat tak sedap dipandang oleh ku, juga mungkin oleh sang lelaki yang berada di bawahku.

Keenam, ketujuh, hingga kesepuluh, keringat turun dari leher juga kening, tanda² kelelahan mulai terlihat di postur larinya, napas tersengal - padahal baru sedikit itu jaraknya, bersisa setengah (sepuluh kurang langkah lagi) dan dirinya dapat meraih apa yang dirinya inginkan.

Menyentuh angka belasan, dari sebelas hingga tiga belas, dirinya sudah tinggal dua langkah dari sang lelaki - yang secara total hitungan, jarak si gempal dan targetnya adalah lima belas langkah.

Dua langkah lagi, dan dirinya akan mendarat di dada yang sudah terluka dan akan membuatnya tambah terluka. Sebuah senyuman tersembunyi diantara kegarangan dan amarah yang menyelimuti tubuhnya.

Namun, dari pandangannya saja, dari sorot matanya, dapat kulihat keinginan untuk menghancurkan, niat yang sama yang kutemui pertama kali dirinya melempar lelaki luka ini ke kursi besi yang kemudian jatuh dan diinjak oleh anak aktris.

Si gempal itu, sebagaimana badannya yang besar, memiliki tenaga sedemikian rupa.

Tenaga itulah - kini dalam bentuk injakan - yang akan dipindahkan dari raganya kepada raga dari sang lelaki, dan dari situ dirinya melihat senang, matanya membesar, seakan macan yang akan mendapat santapan; santapannya ialah sang lelaki yang terkapar.

Matanya tajam - terarahkan pada si mangsa semata, tapi bila saja dirinya mau memperhatikan.

Bilamana saja dirinya mau sabar.

Bilamana dirinya mau lebih ber-hati².

Dirinya tak akan diberhentikan mendadak karena kepalan tangan yang menabrak bagian tengah dan membuat dirinya jatuh tersungkur ke belakang.

Momentum sedemikian besar dikembalikan kepada dirinya, dan ia harus mengalami perpindahan energi potensial menjadi kinetik, dan itu berarti bagian belakang kepala menggempur lantai bebatuan.

Si gempal pun tak sadarkan diri setelahnya, tak akan ada yang mampu masih sadar diri bilamana seperti itu terjadi kepada mereka, bahkan diriku juga.

Itulah perspektif yang dilihat oleh sang gempal, jelas berbeda dengan apa yang disaksikan oleh si lelaki targetnya.

Di titik benturan itu, adalah sebuah tangan yang menjotos hidung, bibir, dan sedikit bagian mata dari si gempal.

Warnanya ialah hitam; hitam kulit.

Bukan kulit manusia, semacam kulit hewan, sebuah sarung tangan.

Menelusuri sarung tangan itu, warna hitam dengan aksen kuning emas, bukan kulit manusia pula, semacam kulit hewan, bagian dari jaket nampaknya.

Dan dari bagian lengan itulah sang lelaki melihat makhluk yang baru mengalahkan ketiga perundungnya.

Di bawah sinar lampu taman, makhluk itu terlihat dengan jelas, tetapi juga tak jelas, dirinya terlihat manusia, tapi mungkin juga bukan manusia, sebab makhluk itu tak memiliki wajah, wajah yang dipertunjukkan oleh makhluk itu adalah apapun yang berada di refleksinya.

Apa yang melihat dirinya akan diperlihatkan dirinya kembali dalam bidang dua dimensi - wajah dari makhluk itu ialah cermin.

Observasi demikian tidaklah menjawab apakah makhluk itu betul manusia atau bukan, tapi sebatas itulah pandangannya, setelahnya.

Sang lelaki itu - yang baru saja melihat makhluk tak berwajah - kemudian menutup matanya, pemandangan terakhir ialah sebuah tangan terbalut sarung tangan hitam, lengan yang lurus terbalut jaket hitam beraksen kuning emas, juga wajah cermin.

Kemudian dirinya tertidur.

Kemudian semuanya berhenti.

Runtuh.

Mereka semua menghilang.

Selanjutnya yang kulihat ialah kursi merah dan sebuah jendedla, di luarnya adalah cahaya terang benderang.

Sebuah pemandangan yang sudah terlalu kukenal - gerbong 87, kereta lintas dunia.

Diriku telah dikembalikan kepadanya begitu saja dan begitulah akhir dari bagian pertama dari kisah spiritus, kisah tentang segala yang tersentuh kan terbakar hangus.

Sedang, segalanya, mengenai sang lelekai, mengenai perundungnya: si gempal, si anak aktris, si tiang listrik, sedikit sekali diketahui tentang mereka - sedikit sekali mengenai mereka yang ditunjukkan kepadaku.

Tapi begitulah cara kerja dari kereta lintas dunia, dari gerbong 87.

Pada suatu saat diriku akan diturunkan di tempat di mana ada sesuatu yang harus kulihat, dan ketika apapun itu yang harus, sudah kulihat, maka diriku akan langsung dikembalikan, baik diriku menginginkan ataupun tidak menginginkan.

Dan seringkali pemandangan itu akan berakhir menggantung sebagaimana demikian yang sudah kutuliskan.

Tentu, rasa penasaranku juga tinggi, akan siapakah sang lelaki itu, akan apa hubungannya dengan tiga perundung hingga dirinya diberlakukan sedemikian, dan pastinya dengan makhluk yang mampu mengalahkan ketiga lelaki itu dalam sekejap mata.

Namun, diriku tahu bahwasanya kesabaran harus kuterapkan (karena tak ada gunanya memaksa, terutama dengan kereta lintas dunia dan gerbong 87).

Sehingga, dengan ini, kuakhiri bagian pertama dari observasiku terhadap dua sepasang sejoli, juga tentang spiritus, kisah mengenai jiwa pemuda yang tak akan pernah berhenti berkobar.

Terpopuler

Comments

Nurqaireen Zayani

Nurqaireen Zayani

Makin penasaran! 🤔

2024-01-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!