#4 Teringat Padanya

...Bab. 4...

...TERINGAT PADANYA...

Ariana mengambil banyak tangkai Lili putih. Ia memberikannya pada Keith untuk dibungkus jadi dua buket.

"Maaf, kamu harus pulang terlambat lagi," ucap Ariana.

"Tidak apa-apa. Pelanggan adalah raja apalagi pelanggan setia," jawab Keith dengan senyum ramah. Meski ia sibuk membungkus bunga.

"Ada lagi, Ariana?" tanyanya begitu selesai.

"Ini saja," jawab Ariana.

"Apa untuk persembahan kuil?" tanya Keith lagi.

"Bukan. Untuk ziarah ke makam orang tuaku," jawab Ariana.

"Oh, maaf," ujar Keith pelan.

"Tidak apa-apa. Orang tuaku suka Lili putih, terutama ibuku. Aku selalu membawakannya saat ziarah. Dan aku sering ke sana bila aku rindu padanya," terang Ariana.

Setelah bunga terbungkus rapi Keith menyerahkannya sambil memberi pesan. "Setelah pulang jangan lupa taruh di vas berisi air supaya tetap segar sampai besok."

"Tidak perlu. Aku akan langsung ke sana sore ini," ujar Ariana.

"Sore ini? Sendiri? Bukankah sebentar lagi senja?" tanya Keith tak percaya.

"Ya. Aku sudah biasa. Tempatnya tidak terlalu jauh dan masih berada di tengah kota. Kadang aku pulang sampai malam," jawab Ariana sambil tersenyum manis.

"Oh." Keith agak kagum pada gadis yang cukup berani itu. Meski ia sendiri tidak yakin dengan adanya mahkluk yang disebut hantu itu.

Ariana justru tertawa. "Kenapa? Apa kamu pikir akan ada mahkluk yang bergentayangan di sana saat malam?" ejeknya.

Keith menggeleng. "Aku hanya sedikit heran. Aku juga tidak begitu yakin adanya hal-hal semacam itu," ujar Keith.

"Memang tidak ada. Kalau tidak percaya ikut saja denganku," tantang Ariana.

"Boleh?" tanya Keith. Ariana mengangguk.

"Oke. Tapi kita mampir ke rumah Edeline sebentar, ya! Aku harus mengembalikan kunci tokonya," kata Keith. Ariana mengangguk.

...🌻🌻🌻...

Aku sedang sibuk di depan layar laptop saat Keith dan Ariana datang. Keith langsung menyerahkan kunci toko padaku. Ariana hanya tersenyum padaku. Kemudian Keith mengenalkan Ariana secara ringkas sebagai pelanggan setia. Setelah itu mereka berdua pergi. Aku lanjutkan kembali kegiatanku.

...🌻🌻🌻...

Keith dan Ariana sudah berada di depan makam orang tua Ariana. Ariana meletakkan Lili putih itu di atas makam ibu dan ayahnya. Ada raut kesedihan namun ada juga seutas senyuman di wajahnya. Dia tidak berkata apapun, hanya diam menatap kedua makam itu. Walau sebenarnya dia tidak benar-benar diam. Dia berbicara dalam hati. Ariana mengusap foto ibunya, setelah itu mengajak Keith pulang karena Keith terlihat was-was dengan area sekitar pemakaman yang sepi dan minim penerangan.

Hari memang sudah gelap, lampu-lampu jalan menyala menerangi jalan. Keith dan Ariana berjalan pulang.

"Tadi kamu terlihat tidak tenang? Apa melihat sesuatu?" ejek Ariana.

"Aku tidak melihat apa-apa. Aku hanya cemas di sana sangat sepi saat hari gelap. Seharusnya kamu tidak ke sana sendirian apalagi jika hari sudah senja," tutur Keith.

"Jadi, kamu mencemaskan ku?" tanya Ariana. Ia senang kalau Keith cemas padanya.

Keith nampak salah tingkah. "Bagaimana pun kamu perempuan. Harus lebih berhati-hati," ralat Keith. Ia tak ingin Ariana salah sangka.

"Seharusnya kamu tidak perlu takut. Aku bisa merasakan kehadiran orang tuaku di sana dan mereka seperti menjagaku," jelas Ariana. Ia nampak senang. Berjalan sambil melompat-lompat kecil. Keith tak begitu memahami maksudnya. Sejak kenal Ariana, ia merasa kalau gadis itu agak berbeda.

"Maaf kalau boleh tahu, apa yang menyebabkan orang tuamu pergi?" tanya Keith dengan halus.

"Kecelakaan. Apa kamu punya rencana setelah ini, Keith?" tanya Ariana sembari mengalihkan topik.

"Tidak, kenapa?" jawab Keith.

"Mau jalan-jalan sebentar?" tanya Ariana lagi.

"Ke mana?" Keith balik tanya.

"Ikut saja. Ayo!" Ariana berjalan lebih dulu. Sementara Keith mengikuti sambil mendorong sepedanya.

Tak lama keduanya tiba di teluk. Ariana membawa Keith menyusuri jembatan. Bukan jembatan umum yang penuh kendaraan, tapi area pejalan kaki yang merupakan kawasan wisata di tepi teluk. Ariana berdiri di tepi jembatan sambil membentangkan tangannya menikmati indahnya pemandangan malam. Lampu-lampu dari gedung tinggi di seberang terlihat berkelap-kelip penuh warna.

"Kamu pernah ke sini?" tanya Ariana. Keith menggeleng.

"Aku suka tempat ini. Pemandangannya indah apalagi kalau malam hari seperti sekarang ini," lanjut Ariana. Ia mulai bercerita. "Dulu ketika aku kecil, ibu sering mengajakku ke sini. Dia akan memarahiku kalau aku berdiri di tepi pagar dengan kepala menjuntai ke bawah seperti ini. Dia bilang tidak akan membawaku ke sini lagi kalau aku tidak menurut. Jadi, aku tidak pernah melakukannya lagi." Ariana tertawa mengenang kisah itu. Keith hanya mendengarkan.

"Bagaimana denganmu, Keith? Kamu tidak banyak bercerita tentang dirimu," tanya Ariana.

"Aku tidak punya banyak kenangan. Orang tuaku berpisah sejak aku kecil. Ibuku meninggalkanku. Aku tinggal bersama ayahku yang tak lama menikah lagi. Aku tidak suka tinggal bersama mereka, mereka sering mabuk dan bertengkar. Mereka tidak mempedulikan ku. Aku pergi dari rumah saat berusia 15 tahun. Mencari pekerjaan untuk bertahan hidup sendiri. Aku bertemu tuan Willen saat tidak sengaja tidur di depan toko bunganya. Saat itu aku sudah seperti gelandangan yang tidak terurus. Tuan Willen kemudian memberiku pekerjaan di toko bunga, dia juga memberiku tempat tinggal. Sampai sekarang kebaikan tuan Willen tidak akan aku lupakan," kenang Keith.

"Setidaknya hidupmu sudah lebih baik sekarang. Semua kenangan buruk di masa lalu harus dilupakan. Kita tidak bisa memilih terlahir dalam keluarga yang sempurna. Tapi kita punya kesempatan untuk mengubah nasib yang kurang beruntung. Kita bisa menentukan jalan hidup kita sendiri. Tak ada yang ingin selamanya hidup dalam keterpurukan, iya kan?!" kata Ariana. Keith mengangguk.

"Oleh sebab itu kita harus melupakan masa lalu dan mulai membangun kehidupan yang baru," lanjutnya dengan semangat.

"Iya, kamu benar," timpal Keith sambil memeriksa jam tangannya.

"Sudah cukup malam, kita harus segera pulang. Ayo, kuantar sampai ke rumah," ajak Keith. Ariana menurut.

...🌻🌻🌻...

Aku letakkan tas laptop dan buku-buku ke atas meja. Lalu masuk ke restroom. Disebut restroom karena ruangan ini sering dipakai untuk menerima tamu tertentu yang datang ke toko dan juga tempat beristirahat pegawai. Dengan sekat dinding kaca di bagian atas agar tetap bisa memantau keadaan toko dari dalam. Ada sofa panjang yang diletakkan di dua sudut ruangan. Adapun gudang, ruang kecil penyimpanan alat kebersihan, kamar mandi dan wastafel.

Aku mengambil pot-pot kecil yang kemarin ku bersihkan. Sudah kering semuanya lalu kubawa kembali ke depan. Ku letakkan di atas meja.

"Keith, apa kamu punya ide untuk pot-pot kecil ini?" tanyaku.

Keith berpikir sebentar lalu berkata. "Mungkin ada."

"Bagus. Aku serahkan padamu. Segera kerjakan begitu kerjaanmu beres. Katakan saja jika ada yang kurang atau kamu butuh sesuatu," kataku bersemangat.

"Baik."

Aku kembali ke mejaku. Mengeluarkan laptop dan buku-buku, mulai serius dengan layar di depanku. Beberapa saat kemudian Keith datang menyodorkan segelas teh hangat. Ia menarik kursi dan duduk di depanku sambil memeriksa tiap pot. Pandanganku tetap fokus pada layar.

"Serius sekali. Apa yang kamu buat?" tanya Keith.

"Sesuatu yang baru," jawabku sambil tersenyum namun tatapan tak lepas dari layar.

"Apa itu termasuk bagian dari 'keajaiban'?!" tebak Keith teringat ucapanku kemarin.

"Bisa jadi," jawabku.

Akhirnya selesai. Aku tersenyum puas pada hasil karyaku. Aku memutar layar laptop dan menunjukkannya kepada Keith.

"Bagaimana menurutmu?" tanyaku.

Keith memperhatikan dengan serius. Aku menatap Keith sambil menunggu pendapatnya. Wajah seriusnya yang menawan kembali membuatku tertegun.

"Simple tapi kesannya ceria dan penuh warna. Serasa memberi semangat baru. Kamu membuatnya begitu hidup." Keith berpendapat. Lalu beralih menatapku, saat tatapan kami bertemu ia nampak salah tingkah dan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Aku memutar kembali layar laptop.

"Sempurna!" kataku sembari menyimpan hasil karyaku yang ada di layar laptop.

"Jadi, bagaimana dengan pot itu?" tanyaku kemudian.

"Pot ini bisa digunakan untuk tanaman hias seperti Kaktus bunga, Lidah buaya, Lavender atau Rhododendron," jawab Keith, salah tingkahnya nampaknya sudah hilang.

"Mungkin kaktus bunga lebih cocok. Aku ingin kamu mengurusnya," kataku. Kemudian aku menyerahkan beberapa lembar uang kepadanya. "Ini untuk membeli bahan yang diperlukan. Jika kurang katakan padaku."

"Baik, akan ku kerjakan secepatnya," ujar Keith.

"Sepertinya kamu sedang dekat dengan ... siapa itu ... oh iya Ariana," godaku pada Keith.

"Tidak, kami hanya berteman," sanggah Keith.

"Benarkah hanya teman?! Kamu sepertinya senang sekali melayaninya." Aku mengejek sambil senyum-senyum.

"Karena dia pelanggan setia tentu harus dilayani dengan baik kan, Nona!" timpal Keith.

"Berhentilah memanggil nona. Aku tak suka dipanggil seperti itu," protesku.

"Aku pikir tidak salah memanggil bosku yang masih muda dengan panggilan nona atau kamu mau dipanggil nyonya?!" kata Keith dengan nada menggoda.

"Aku bukan bosmu, aku hanya meneruskan tanggung jawab. Sama sepertimu. Jika aku tidak buka toko ini aku juga pengangguran. Jika aku tidak dapat pembeli, kamu juga tidak dapat penghasilan," terangku dengan agak ketus.

"Aku hanya bercanda, Edeline. Kenapa kamu jadi serius sekali?" tanya Keith.

Aku tidak menjawab. Telepon toko berdering. Aku mengangkatnya, dari kakakku Celine. Keith beranjak dari kursinya saat aku berbicara di telepon beberapa saat. Telepon ditutup. Aku belum sempat memikirkan rencana Celine. Ada pekerjaan yang harus ku selesaikan dulu. Aku menghubungi beberapa nomor telepon. Membuat janji pertemuan untuk esok hari.

Keesokan harinya, karyawan advertising datang. Aku berdiskusi beberapa hal dengan mereka sambil menunjukkan beberapa sketsa gambar yang sudah ku buat. Begitu selesai mereka pergi, aku tinggal menunggu hasilnya datang. Keith sibuk melayani dua orang pembeli. Aku membantunya begitu urusanku selesai. Setelah pembeli pergi Keith kembali bergelut dengan pot-pot kecil yang baru ia isi. Wajahnya kembali serius. Ia sangat serius ketika melakukan pekerjaan tetapi selalu tersenyum saat melayani pembeli. Ia memang pegawai yang bisa diandalkan. Aku tidak tahu sampai kapan dia akan tetap terus seperti itu. Aku diam-diam memperhatikannya dari mejaku. Rasa penasaran tiba-tiba muncul. Pikiran isengku mulai menghitung, jika tahun ini aku berusia 28 tahun berarti Keith sudah 30 tahun. Selama setahun ini tidak pernah melihatnya bersama perempuan. Tidak pernah mengeluh atau minta cuti libur. Padahal toko bunga buka setiap hari dari pukul 7.30 pagi hingga pukul 4 sore, libur hanya hari besar saja. Jika dipikir memang tidak ada waktu untuk berkencan. Dipikir-pikir apa aku yang egois, karena tak punya teman kencan pegawai pun jadi tak punya kesempatan mencari pasangan. Aku tertawa sendiri memikirkan hal itu. Keith melihat ke arahku.

"Edeline, kalau kamu tertawa sendiri seperti itu aku jadi takut...," ejeknya.

"Memangnya aku bisa melakukan apa?" tanyaku masih merasa lucu.

"Aku takut kamu akan mengacak-acak rambutmu sendiri. Sebelum itu terjadi ku sarankan sebaiknya kamu pergi berlibur saja," ejek Keith.

Aku meremas selembar kertas menggulung jadi bola dan ku lempar dengan keras ke arah Keith. Keith menghindar sambil tertawa.

Aku sedang mengunci pintu toko. Kemudian menatap ke atas papan nama toko yang warnanya sudah pudar. Sambil berjalan mundur menatap kagum usaha yang dibangun papa bertahun-tahun. Tanpa sengaja menabrak Keith yang berdiri di belakang sedang meregangkan otot pinggangnya.

"Ups ... Maaf!" ucapku.

"Untung saja aku yang ditabrak bukan tiang," ejek Keith sambil nyengir.

Aku melotot padanya.

"Maksudku kalau yang kamu tabrak tiang kan sakit, Edeline!" Keith segera meralat ucapannya.

Aku membalikkan badan berjalan pergi. Keith mengejar menyelaraskan langkah.

"Pacarmu tidak datang hari ini?" kataku sengaja memancingnya.

"Bukan pacar, hanya teman. Lagipula aku dan Ariana baru kenal tidak lama." Keith meluruskan.

"Oh, calon." Aku juga tak mau menyerah.

"Bukan, Edeline," sanggah Keith sedikit meninggi. Namun merasa tak enak, ia berbicara dengan pelan. "Mau jalan-jalan sebentar?"

"Jalan... Hmm, boleh. Ke mana?" tanyaku.

"Ikut saja," jawab Keith penuh rahasia.

Perasaanku mulai tak enak ketika Keith mengambil jalan ke arah teluk. Benar, tak salah lagi. Ia melangkah dengan semangat menuju jembatan. Kemudian ia berbalik menatapku.

"Tadaaaaa ... Ini dia!" serunya senang sambil membentangkan tangannya.

Tepat saat itu yang ku lihat bukan diri Keith. Kalimat dan gaya itu begitu persis. Bayangan dirinya seolah menyatu dengan Keith. Aku diam membeku.

"Edeline, kamu kenapa?" tanyanya melihat ekspresiku yang tiba-tiba berubah.

"Tidak apa-apa," jawabku. Aku berusaha tak mengingat tapi ini terlalu nyata. Seperti deja vu hanya saja itu Keith bukan dia.

"Lihat! Bukankah pemandangan di sini sangat indah? Kamu bisa melihat matahari terbenam di sana. Edeline, kemarilah!" seru Keith dengan penuh semangat.

'Edeline, kemarilah! Edeline, kemarilah!' kata-kata yang juga sama persis itu. Terus terngiang kembali di telinga. Pertahananku goyah. Aku yang harusnya melupakan dia justru kembali mengingatnya. Aku langsung berbalik pergi, ingin pergi dari sini. Keith melihatku mendadak pergi lalu mengejarku.

"Edeline, kamu kenapa? Kamu takut ketinggian? Atau kamu takut laut?" tanya Keith dengan polosnya namun jelas ia cemas.

"AKU TIDAK TAKUT KETINGGIAN ATAUPUN LAUT. AKU HANYA TIDAK INGIN BERADA DI SINI! AKU TIDAK INGIN DATANG KE TEMPAT INI LAGI!" Aku berteriak pada Keith. Keith terdiam sekaligus kaget dengan sikapku.

Aku mengambil nafas untuk menenangkan diriku sejenak.

"Maaf! Aku ingin pulang saja," kataku pelan. Lalu berjalan pergi dengan cepat. Keith masih mengejar.

Sepanjang perjalanan pulang hanya saling terdiam. Keith masih membuntutiku hingga sampai di rumah. Sesampai di depan rumah, ia berkata padaku. "Maaf, membawamu ke tempat yang salah. Lain kali aku akan bertanya dulu. Sampai bertemu besok, Edeline!"

Aku diam saja. Keith mulai naik ke sepeda dan mengayuhnya pergi. Aku masih berdiri menatap kepergiannya. Aku rasa aku memang masih belum bisa melupakan dia. Jika ucapan dan gaya Keith barusan tidak begitu mirip dengannya, mungkin aku tidak akan begitu marah. Ya, itu hanya kebetulan. Aku harus lebih mampu mengontrol diri. Aku masuk ke dalam rumah. Saat itu suara mama mengagetkanku.

"Keith mengantarmu pulang? Tidak biasanya."

"Mama...," sungutku. Entah sejak kapan mama jadi suka mengintip. Mama tersenyum dengan aneh lalu melenggak pergi.

^^^bersambung...^^^

Terpopuler

Comments

Zey ✨️

Zey ✨️

Sepertinya Keith adalah petugas yang setia.

2024-04-19

0

💙 Ɯιʅԃα 🦅™ 📴

💙 Ɯιʅԃα 🦅™ 📴

Ariana adalah gadis yang tangguh, dia tetap ceria walaupun orang tuanya udah gak ada.

2024-04-18

0

աílօ⁰⁵

աílօ⁰⁵

Wih Mama Edeline senyum aneh, pas Edeline pulang di anter Keith. Apa mamanya mengharapkan Edeline bisa bersama dengan Keith ya🤔

2024-04-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!