Heart Blossom
Pertemuan terakhir. Langkah kaki itu berjalan meninggalkan sepasang mata yang diam menatapnya yang semakin menjauh. Bibir yang tertutup rapat tak mampu berteriak ataupun berucap walau hanya memanggil namanya. Diam namun hati enggan merelakan. Dia yang telah memilih jalannya sendiri. Dia yang mencintai kebebasan. Dia yang kemudian memutuskan pergi tanpa memberikan kesempatan.
Lima tahun berlalu hanya sekejap mata. Seuntai rindu yang tersisa masih sering datang dan mendorongku kembali ke dalam mimpi yang sama. Terperangkap dalam buaian kenangan yang menggodaku untuk terus berharap dan tenggelam dengan perasaan masa lalu.
...🌻🌻🌻...
...BAB 1...
...TOKO BUNGA EDELWEIS...
Ketukan bunyi pulpen di atas meja terdengar lantang di ruangan yang sepi. Rasanya amat membosankan bekerja di toko yang semakin hari semakin sepi pembeli. Ditambah lagi cuaca di luar yang begitu panas terik. Siapa yang akan ke luar rumah hanya untuk membeli seikat bunga? Belum sampai di rumah mungkin bunga sudah layu. Begitulah pemikiranku setiap kali.
Mula-mula perkenalkan, namaku Edeline, usia 28 tahun, dan masih single. Sejak papa meninggal setahun yang lalu, akulah yang menjadi penerus toko bunga "Edelweis" ini. Sementara kakakku satu-satunya, Celine; sudah menikah. Dia bersama suaminya mengelola toko mereka sendiri. Mamaku punya alergi serbuk sari bunga jadi dia tidak bisa berlama-lama di ruangan tertutup yang penuh dengan bunga seperti ini.
Ketika papa sakit, usaha toko bunga segar kami ikut mengalami krisis. Beberapa pegawai toko mengundurkan diri karena omset menurun drastis. Untungnya masih ada seorang pegawai toko papa yang masih setia mau bekerja di sini, namanya Keith. Pemuda ramah dan murah senyum yang lebih tua dua tahun dariku. Bagiku yang masih kurang pengalaman, Keith sangat membantu terutama dalam hal merawat dan menjaga kesegaran bunga yang kami jual. Kupikir Keith jugalah alasan mama tidak mau menutup usaha yang selama beberapa tahun belakangan ini tidak mengalami kemajuan.
Secangkir teh hangat yang baru diseduh disodorkan ke hadapanku. Aku menghentikan kegiatan 'ketuk pulpen' yang kulakukan sejak tadi. Beralih menatap ke arah pemuda yang kini berdiri di depan mejaku sambil memamerkan senyum termanisnya.
"Kamu memberiku minuman hangat di saat cuaca di luar sedang panas begini?" tanyaku terheran-heran.
"Aku tahu kamu tidak tahan di ruangan ber-AC dingin terlalu lama. Kamu memakai kaos kaki di siang hari dan terkadang mengenakan cardigan rajut meskipun cuaca di luar sangat panas," jawab Keith dengan senyum lebar.
Aku melongo mendengar jawabannya dan berhenti bertanya lagi. Keith memperhatikan kebiasaanku dengan begitu detail.
"Terima kasih. Kamu sangat perhatian," pujiku.
"Sama-sama. Katakan padaku kalau kamu membutuhkan sesuatu yang lain," pesan Keith. Ia berjalan ke sisi lain untuk merapikan bunga-bunga.
"Tidak ada," sahutku.
"Kamu terlihat sangat bosan," ujar Keith lagi.
"Iya. Aku tidak mengerti, kenapa mama tidak menutup toko bunga ini saja? Kamu lihat! Sejak pagi tadi hingga sekarang belum ada satupun pembeli yang datang. Haa...," keluhku dengan wajah bosan.
"Kamu harus lebih bersabar. Kita belum pernah mendapati satu hari kosong tanpa satupun pembeli yang datang. Meskipun setelah duduk seharian tidak ada yang datang, akhirnya selalu ada seorang pembeli yang datang saat toko hendak tutup. Iya, kan?" hibur Keith mengingatkan. Ia juga selalu memberi semangat.
"Ya, kamu benar. Tapi, bukankah tetap saja kita rugi? Dilihat dari omset penjualan setiap bulan dengan biaya bulanan yang harus dikeluarkan, benar-benar tidak sebanding," paparku sambil melihat jejeran angka-angka yang tersusun rapi di buku yang kini berada dalam genggaman.
Keith lalu maju mendekat beberapa langkah. "Edeline, apa mamamu pernah mempertanyakan untung rugi yang kamu dapatkan setiap bulan sejak kamu mengurus toko ini?" tanyanya dengan serius.
Aku menggelengkan kepala. Keith tersenyum. "Berarti untung rugi bukan alasan utama mamamu tetap mempertahankan toko bunga ini," lanjutnya.
"Apa kamu bertahan di sini juga karena satu alasan?" Aku balik bertanya dengan iseng sekaligus penasaran apa yang membuat Keith betah di toko bunga ini.
Keith diam sesaat. Lalu ia menjawab, "Ya. Atau mungkin juga tidak."
Aku mengerutkan dahi tidak mengerti maksud jawabannya. Keith menjelaskan, "Anggap saja ini sebuah dedikasiku kepada mendiang papamu." Dia tersenyum tapi aku hanya diam menatapnya saja.
...°...
Toko bunga tutup jam empat sore setiap hari. Lumayan setelah seharian menunggu dengan bosan masih ada dua orang yang datang membeli. Usai mengunci pintu, aku menatap ke atas papan nama besar dengan tulisan "Edelweis" yang tergantung di atas toko. Tulisannya sudah hampir memudar.
"Abadi seperti Edelweis," gumamku sambil berpikir.
Kring... Kring... Sepeda Keith berhenti tepat di depanku.
"Perlu tumpangan?" tanyanya menawari.
Aku melongo. Memperhatikan sepeda Cruiser-nya yang tak ada kursi penumpang. Bagaimana aku mau duduk?
"Kurasa tidak. Terima kasih. Aku mau mampir ke beberapa toko dulu," tolakku halus.
"Mau kutemani?" tanya Keith lagi. Aku menggeleng.
"Oke, sampai bertemu besok," pamit Keith lalu meluncur pergi. Aku pun melanjutkan langkah.
...°...
Aku masuk ke sebuah minimarket. Berjalan ke rak penyimpanan minuman, mengambil sebotol minuman isotonik kemudian berjalan ke rak tempat makanan ringan. Saat sedang asyik memilih tiba-tiba seorang anak kecil yang berlari dari arah depan menabrakku. Anak kecil berusia sekitar 3 tahunan itu terjatuh. Aku segera membantunya berdiri. Kemudian anak kecil lain yang lebih tua lari mendekat. Pikirku mereka pasti sedang bermain kejar-kejaran.
"Kamu tidak apa-apa, Adik kecil?" tanyaku sambil memeriksa lututnya kalau-kalau ada lecet.
"Tidak apa-apa, Bibi," jawab anak kecil yang tampan itu.
"Jangan main kejar-kejaran lagi, ya! Bahaya kalau jatuh nanti bisa terluka," pesanku.
Anak kecil itu mengangguk lalu pergi dengan temannya. Aku menatap kepergian mereka. Sekilas aku merasa tidak asing dengan wajah anak kecil itu.
Ketika aku sedang membayar di kasir aku melihat dua anak kecil tadi di samping pintu masuk sedang bergurau. Entah kenapa aku sangat suka anak kecil yang menabrakku tadi. Setelah urusan pembayaran selesai aku menghampiri kedua anak itu lalu menyodorkan kantong berisi dua buah es krim kepada mereka. Kedua anak itu menerimanya dengan senang hati.
"Terima kasih, Bibi," ucap kedua anak kecil itu.
"Sama-sama. Jangan lari-larian lagi, ya!" pesanku kemudian berjalan pergi.
...🌻🌻🌻...
Seorang pria mendekati kedua anak kecil yang sedang asyik menikmati es krim.
"Joan, Mika, siapa yang memberikan kalian es krim?" tanya pria itu.
"Bibi yang tadi ditabrak Joan, Paman Ray. Itu dia sudah pergi," jawab Mika sambil menunjuk ke arah Edeline yang sudah sangat jauh. Pria itu hanya menatap sekilas dan tak ambil pusing.
"Ya sudah. Ayo, pulang!" ajak pria itu.
^^^bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
ℛᵉˣArleta shin𝐀⃝🥀●⑅⃝ᷟ◌ͩ
kenapa harus terperangkap dengan masa lalu .. sesakit apapun seindah apapun dulu jadikan semua itu pelajaran berharga karena hidup terus berjalan ke depan bukan ke belakang.
2024-08-22
1
𝐀⃝🥀𝐌𝐀𝐗
sepi seperti hatiku hari ini tanpa sapaan dr kekasih pujaan hati
masih nyangkut masa lalu jgn mulai buka halaman baru
bisa aja qm yg selanjutnya menyakiti perasaan nya 🙄 pahamkan itu jgn asal hdup aja🙄
2024-08-22
1
𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆🌹♕ ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
gak pernah tahu bunga Edelweis kayak apa 🙃🙃🙃
2024-08-22
2