Pukul 11 malam, tiba-tiba saja terjadi mati lampu. Daniel, yang terbiasa tidur dengan ruangan ber penghangat, merasa tidak nyaman dan terbangun.
"Mati lampu? Aneh, biasanya sangat jarang ada mati lampu di area ini," ujar Daniel sambil terduduk di atas ranjangnya.
Namun, samar-samar dia mendengar suara sesenggukan dari luar kamarnya. Karena penasaran, akhirnya dia keluar untuk memastikan suara itu dengan menggunakan senter dari handphonenya. Begitu keluar, dia yakin suara itu berasal dari kamar sang adik. Dengan panik, dia langsung masuk ke kamar Ghania, dan mendapati sang adik tidak ada di atas kasurnya. Daniel langsung mencari-cari Ghania.
"Ghania? Kamu di mana? Ghania!" teriak Daniel.
"Ka-kak... Di... Sini, kak..." suara Ghania terdengar dari arah balkon.
"Ghania, ngapain di sini? Ghania, kenapa?" tanya Daniel sambil langsung memeluk Ghania.
"Kak... Ghania takut... Gelap," jawab Ghania sambil menangis.
"Kenapa Ghania tidak datang ke kamar kakak? Kenapa malah ke sini, hmm?" tanya Daniel lagi sambil menggosok-gosok punggung Ghania untuk menenangkannya.
"Ghania, ga mau ganggu kakak. Kakak kan capek, mau istirahat," jawab Ghania sambil menahan air matanya.
"Kakak tidak capek kok, tidak masalah lain kali kalau Ghania takut atau ingin apa pun. Ghania boleh ke kamar kakak. Kakak tidak masalah," balas Daniel.
"Ya sudah, kita ke bawah yuk, kita hidupkan lilin yang banyak, biar Ghania ga takut lagi," ajak Daniel.
"Iya, kak," jawab Ghania kemudian digendong di dada Daniel.
...
"Nah, sekarang sudah terang nih. Duduk dulu ya. Kakak ambilkan minum," ujar Daniel sambil menurunkan Ghania di sofa.
Setelah mengambil segelas air, Daniel mendapati sang adik sudah tertidur lelap di sofa, entah karena memang sudah sangat larut atau sang adik lelah karena habis menangis. Daniel kemudian mengangkat sang adik menuju kamarnya dan tidur mendampingi sang adik.
Pagi hari berikutnya, Daniel membangunkan sang adik untuk bersiap-siap pergi ke sekolah. Sebelumnya, dia sudah menelepon penjahit langganannya untuk menjahitkan seragam untuk sang adik. Memang, sekolah itu membebaskan murid untuk membeli seragam di sekolah atau menjahit sendiri di luar.
"Ghania, bangun sayang. Kamu kan mau sekolah, siap-siap sana," ucap sang kakak.
Ghania dengan bersemangat langsung bangun dan mandi. Di sisi lain, Daniel juga bersiap karena dia juga harus bersiap untuk bekerja. Pagi yang cerah dengan sedikit keribetan yang mereka alami untuk bersiap-siap.
Setelah drama keribetan itu akhirnya, Daniel mengantarkan Ghania ke sekolah juga mengantarkan berkas pendaftarannya.
"Kakak pergi kerja dulu ya. Kamu sekolah yang baik, dengarkan teacher-nya," nasihat Daniel.
"Oke kak, kakak hati-hati ya. Ghania sayang kakak," ucap Ghania memberi pelukan.
"Kakak lebih sayang Ghania. See you, Tuan Putri."
"See you kak," jawab Ghania.
"Ayo Ghania, kita masuk ke kelas," ajak Teacher Sindy.
"Baik, Teacher."
Ghania dan gurunya melalui lorong kelas yang tampak sangat berkelas itu. Memang hampir semua anak di sekolah ini adalah kelas menengah ke atas, jadi tidak heran ini menjadi salah satu sekolah elite di seluruh negeri.
"Semuanya, tolong duduk," perintah Teacher Sindy.
"Hari ini kita kedatangan murid baru, mulai hari ini dia akan bergabung dengan kelas kita. Jadi mohon kalian yang akur ya? Silakan perkenalkan diri dahulu, Ghania," ucap Teacher Sindy.
"Halo, aku Ghanisya Ashya, ah tidak, aku Ghanisya Ashya Arnatha, tetapi kalian bisa panggil Ghania saja kok. Salam kenal ya," ucapnya dengan senyum imutnya.
"Halo, Ghania," safa seisi kelas.
Sebenarnya tidak terlalu banyak murid di kelas, hanya sekitar 20 orang, karena jarang ada yang mengikuti kelas intensif sekolah. Kebanyakan orang akan memilih mengikuti kelas tambahan di luar karena biaya yang cukup mahal dan cukup menguras waktu.
"Silakan, Ghania, duduk di sebelah sana. Oh iya, karena Teacher Kevin tidak masuk hari ini, jadi kelas pertama kosong ya. Silakan ber literasi mandiri saja," perintah Teacher Sindy.
Ghania duduk di bangku belakang, selisih satu bangku dari jendela. Begitu dia duduk, seorang anak perempuan yang duduk di depannya memutar badannya dan menyapa Ghania.
"Hai, aku Bianca, nama belakangku Ghicelon," sapanya.
"Halo, Bianca. Aku Ghanisya, panggil saja Ghania," balas Ghania.
"Kamu dari keluarga kaya juga ya?" tanyanya blak-blakan.
"Kenapa kamu tanya begitu?" tanya Ghania bingung.
"Kelas intensif kan mahal, kata mamaku yang bisa masuk ke sini cuma yang kaya saja. Nevermind, let's be friends. Sesama orang kaya harus saling berteman, bukan?" ujarnya dengan nada sombong.
"Eumm, oke," jawab Ghania ragu.
Bianca pun pergi begitu saja setelah mengatakan hal itu.
"Jangan terlalu dipikirin, dia memang sombong. Jangan mau temenan sama dia," sahut salah seorang anak yang duduk di sebelah Ghania.
"Eh, kamu?" tanya Ghania bingung.
"Aku Alea, nama belakangku Devon Shalion. Salam kenal ya," sapanya sambil mengulurkan tangan.
"Aku Ghania. Salam kenal," jawab Ghania membalas uluran tangan Alea.
"Pita mu bagus, kamu beli di mana?" tanya Alea.
"Ini kakakku yang beli," jawab Ghania.
"Benarkah? Lucunya... kakakmu pasti sangat penyayang. Andai saja kakakku seperti kakakmu, pasti manis sekali," ucapnya dengan memanyunkan bibir.
"Hahaha, sepertinya kakakmu sangat menyebalkan ya," jawab Ghania sambil tertawa.
"Benar, dia benar-benar menyebalkan. Jika bisa ku tukar, pasti lebih baik menukarnya dengan sepotong roti," ejek Alea.
"Hahaha, memangnya berapa usia kakakmu?" tanya Ghania.
"Dia 15 tahun."
"Wah, sangat muda ya," balas Ghania.
"Memangnya berapa usia kakakmu?" tanya balik Alea.
"Kakakku usianya 21 tahun."
"Wah, kakakmu pasti sangat tampan, karena Ghania pun sangat cantik," puji Alea.
"Tidak, Alea lebih cantik kok," balas Ghania.
"Baik, Teacher Sindy."
Keduanya tampak bahagia bicara satu sama lain dan menjadi akrab dalam sekejap.
Di lain sisi, Daniel baru saja sampai di kantor. Dia langsung membuka berkas-berkas kasus yang menumpuk di mejanya. Di sela-sela bekerja, dia tiba-tiba berpikir untuk mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membantunya mengurus keperluan Ghania. Sehingga dia pun menelepon seorang kenalannya untuk dicarikan asisten rumah tangga yang baik.
Namun, sedari tadi ternyata atasannya tidak sengaja mendengarnya membicarakan asisten rumah tangga untuk mengurus anak. Dengan penasaran, akhirnya Pak Kepala bertanya.
"Maaf sudah menguping pembicaraan, kudengar kau mencari asisten rumah tangga untuk mengurus anak. Bukankah kau tinggal sendiri?" tanya Pak Kepala.
"Ah, tidak Pak. Sebenarnya saya mengadopsi seorang anak sebagai adik saya. Karena dia sudah mulai sekolah, jadi saya pikir untuk mencari seseorang untuk membantu," jelas Daniel.
"Apa? Kau mengadopsi seorang adik? Bukankah itu keputusan yang terlalu besar. Membesarkan seorang anak tidaklah mudah, apalagi dia bukan darah daging keluargamu," ucap sang atasan kaget.
"Saya juga sudah berpikir dengan matang Pak, dan saya yakin untuk membesarkannya. Lagi pula, saya tidak punya siapa-siapa untuk merasa keberatan dengan kehadirannya," jawab Daniel dengan yakin.
"Yaahh, itu kembali kepadamu, tetapi jika kau butuh saran apa pun, kau bisa bertanya kepadaku. Aku punya 2 orang anak, hahaha," kata Pak Kepala.
"Baik Pak," jawab Daniel sambil tersenyum.
"Lalu anak itu, apa dia perempuan atau laki-laki? Berapa usianya?" tanya Pak Kepala.
"Dia perempuan Pak, usianya 8 tahun," jawab Daniel.
"Kau harus banyak bersabar, Nak. Anak perempuan cukup sulit untuk diurus, apalagi jika kau sudah sangat menyayanginya. Rasanya bahkan kau tidak bisa melepaskannya, meski hanya 1 meter jauhnya, hahaha," canda Pak Kepala.
"Itu akan menyulitkan ya Pak, tapi tidak masalah. Aku bisa mengikutinya ke mana saja, hahaha," balas Daniel.
Keduanya saling tertawa dengan ceritanya masing-masing dan kemudian kembali bekerja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments